Aksi Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) untuk kembali mengurangi dana pembelian obligasinya sebesar US$ 10 miliar membuat lembaga keuangan tersebut seolah acuh pada kekacauan ekonomi yang terjadi di beberapa negara berkembang.
Tetapi dari kacamata para analis, hanya karena The Fed tidak membahas volatilitas negara berkembang pada rapat direksinya, bukan berarti bank tersebut tidak mengawasi gejolak ekonomi yang global yang tengah terjadi.
Seperti dikutip dari CNBC, Kamis (30/1/2014), setelah melakukan pertemuan pada Selasa dan Rabu, 28-29 Januari 2014, The Fed memutuskan untuk menurunkan pembelian obligasinya menjadi US$ 65 miliar per bulan. Keputusan tersebut berbeda dengan prediksi para analis yang menilai The Fed akan memperhatikan gejolak ekonomi di negara berkembang dan menunda pengurangan dana stimulusnya.
Saat ini karena aksi The Fed tersebut, Turki, Argentina, Afrika Selatan dan berbagai negara berkembang lainnya mendapat hentakan penarikan dana asing keluar dalam jumlah besar.
"Dari sudut pandang kondisi ekonomi AS keputusan The Fed benar-benar obat pemulih. Akan tetapi dari kacamata negara-negara berkembang, The Fed baru saja mengatakan hasta la vista, baby," ungkap pimpinan bagian strategi mata uang global di Citi, Steven Englander.
Pasar modal Asia dan AS melemah tajam mengikuti keputusan The Fed tersebut. Mata uang negara-negara di Asia juga ikut melemah. Mengantisipasi langkah tersebut, bank sentral India, Turki, dan Afrika Selatan telah menaikkan suku bunga acuannya pekan ini.
"The Fed sama sekali tak menyinggung negara berkembang dalam pernyataannya. Dari perspektif AS, apa yang terjadi di negara berkembang sejauh ini tak berdampak signifikan bagi perekonomiannya," ungkap pimpinan ekonom Moody's Analystics, Mark Zandi.
Namun menurut sebagian analis, negara berkembang tidak menjadi bahasan The Fed bukan sebagai tanda ketidakpeduliannya. Akan tetapi menurut pengamatannya, itu bukan merupakan risiko sistemik yang dapat menganggu proyeksi ekonomi AS.
"Saya tidak terkejut melihat The Fed tidak berkomentar apapun soal negara berkembang karena memang tidak mencerminkan keterkaitan apapun dengan pemulihan ekonomi AS," pungkas CEO Old Mutual Asset Management, Peter Bain. (Sis/Ahm)
Tetapi dari kacamata para analis, hanya karena The Fed tidak membahas volatilitas negara berkembang pada rapat direksinya, bukan berarti bank tersebut tidak mengawasi gejolak ekonomi yang global yang tengah terjadi.
Seperti dikutip dari CNBC, Kamis (30/1/2014), setelah melakukan pertemuan pada Selasa dan Rabu, 28-29 Januari 2014, The Fed memutuskan untuk menurunkan pembelian obligasinya menjadi US$ 65 miliar per bulan. Keputusan tersebut berbeda dengan prediksi para analis yang menilai The Fed akan memperhatikan gejolak ekonomi di negara berkembang dan menunda pengurangan dana stimulusnya.
Saat ini karena aksi The Fed tersebut, Turki, Argentina, Afrika Selatan dan berbagai negara berkembang lainnya mendapat hentakan penarikan dana asing keluar dalam jumlah besar.
"Dari sudut pandang kondisi ekonomi AS keputusan The Fed benar-benar obat pemulih. Akan tetapi dari kacamata negara-negara berkembang, The Fed baru saja mengatakan hasta la vista, baby," ungkap pimpinan bagian strategi mata uang global di Citi, Steven Englander.
Pasar modal Asia dan AS melemah tajam mengikuti keputusan The Fed tersebut. Mata uang negara-negara di Asia juga ikut melemah. Mengantisipasi langkah tersebut, bank sentral India, Turki, dan Afrika Selatan telah menaikkan suku bunga acuannya pekan ini.
"The Fed sama sekali tak menyinggung negara berkembang dalam pernyataannya. Dari perspektif AS, apa yang terjadi di negara berkembang sejauh ini tak berdampak signifikan bagi perekonomiannya," ungkap pimpinan ekonom Moody's Analystics, Mark Zandi.
Namun menurut sebagian analis, negara berkembang tidak menjadi bahasan The Fed bukan sebagai tanda ketidakpeduliannya. Akan tetapi menurut pengamatannya, itu bukan merupakan risiko sistemik yang dapat menganggu proyeksi ekonomi AS.
"Saya tidak terkejut melihat The Fed tidak berkomentar apapun soal negara berkembang karena memang tidak mencerminkan keterkaitan apapun dengan pemulihan ekonomi AS," pungkas CEO Old Mutual Asset Management, Peter Bain. (Sis/Ahm)