Liputan6.com, Jakarta - Sebagian besar dari kamu pasti sudah tidak asing lagi dengan love language atau bahasa cinta yang dipopulerkan oleh Dr. Gary Chapman. Ya, istilah ini cukup dikenal luas karena bisa meningkatkan keintiman dan pemahaman antara pasangan.
Namun, bagaimana dengan istilah fight language atau bahasa pertengkaran? Pernahkah kamu mendengar istilah tersebut? Jika belum, kami akan membahasnya dalam artikel ini.
Sebagaimana melansir dari Forbes, Selasa (6/8/2024), fight language dapat menentukan sikap dan lintasan emosi kita selama perselisihan, membentuk cara kita memproses konflik, mengelola emosi, dan terlibat dalam diskusi dengan pasangan kita.
Advertisement
Kenapa mengetahui fight language kamu dan pasangan sangat penting? Alasannya cukup sederhana. Sebab, ketidaktahuan tentang fight language ini dapat menyebabkan miskomunikasi yang berulang, konflik yang tidak terselesaikan, jarak emosional, dan akhirnya putusnya hubungan asmara yang sudah dibangun oleh kalian berdua. Tentunya kamu tidak mau hal ini terjadi, kan?
Oleh karenanya, hal ini tidak kalah penting dengan love language, lho. Maka dari itu, dengan memahami fight language saat kalian berdua terlibat dalam pertengkaran bisa bertindak sebagai peta jalan untuk penyelesaian konflik, memberikan wawasan tentang bagaimana individu mengatasi perselisihan.
Nah, seperti apa bentuk fight language itu? Berikut adalah lima fight language yang berbeda, berdasarkan cara Anda memilih untuk mengekspresikan sudut pandang dan emosi Anda dan pasangan dalam suatu konflik.
1. Reflection-Action
Pendekatan ini dianut oleh individu yang lebih suka mengatasi konflik dengan memprosesnya secara internal sebelum terlibat dalam diskusi. Individu yang introspektif seperti itu menunjukkan kecenderungan untuk menarik diri sementara, menggunakan waktu ini untuk merenungkan emosi dan pikirannya.
Meskipun penampilan luar mereka mungkin tampak tenang, penting untuk menyadari bahwa keheningan ini bukan merupakan indikasi ketidakpedulian atau penghindaran, melainkan jeda yang disengaja untuk refleksi diri.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam British Journal of Psychotherapy menyatakan bahwa keheningan bukan sekadar ekspresi perlawanan, tetapi berfungsi sebagai pelengkap kata-kata.
Namun, studi tersebut memperingatkan terhadap keheningan yang bersifat pembalasan, dengan menekankan potensi jebakan dalam menanggapi keheningan dengan keheningan diri sendiri, yang mungkin merupakan reaksi defensif atau menghukum.
Selain itu, studi tersebut juga mencegah penafsiran dini atas keheningan pasangan tanpa pertimbangan yang matang.
Untuk mengubah saat-saat yang tidak nyaman menjadi kesempatan untuk terhubung dan tumbuh bersama dalam hubungan Anda di antaranya:
- Bersabarlah untuk memberi ruang bagi dialog internal agar terungkap.
- Bangun lingkungan yang aman untuk dialog terbuka dan dorong pasangan Anda untuk berbagi refleksi dan perasaan mereka saat mereka merasa siap.
Advertisement
2. Deflection
Deflection adalah strategi yang dicirikan oleh kecenderungan untuk mengalihkan perhatian dari isu utama. Mereka yang menggunakan taktik ini dapat menggunakan humor, mengalihkan pokok bahasan, atau menyalahkan faktor eksternal, semuanya dengan tujuan menghindari konflik inti.
Penelitian menunjukkan bahwa lelucon yang mengganggu atau komentar yang tidak pantas dapat merusak keharmonisan yang diperlukan untuk membangun lingkungan yang aman selama konflik. Tindakan mengalihkan diskusi dapat menjadi membingungkan, menciptakan pemutusan hubungan antara pasangan.
Kesadaran bahwa seseorang memilih untuk mengalihkan perhatian di saat-saat konflik dapat membantu menciptakan lingkungan di mana kejujuran lebih diutamakan daripada pengalihan perhatian, memfasilitasi dialog yang tulus dan penyelesaian masalah yang mendasarinya.
Memahami deflection sangat penting untuk mengungkap akar penyebab konflik, menghindari diskusi yang tidak penting, dan mendorong pendekatan yang lebih konstruktif terhadap tantangan hubungan.
3. Suppression-Explosion
Fight language ini melibatkan penyembunyian emosi seseorang selama konflik di balik kedok ketenangan. Namun, di balik ketenangan permukaan ini, emosi mendidih dan meningkat seiring waktu, yang mengakibatkan ledakan yang mengejutkan kedua pasangan.
Penelitian menggarisbawahi bahwa upaya untuk menekan emosi tidak hanya gagal meredakan perasaan negatif dalam jangka panjang, tetapi juga dapat berkontribusi pada eskalasi keseluruhan pengalaman emosional negatif dari waktu ke waktu.
Mengenali pola ini sejak dini sangat penting karena berfungsi sebagai kompas yang membimbing pasangan melalui medan konflik yang penuh gejolak dalam menavigasi dan menyelesaikan konflik.
Untuk mengatasi penekanan awal:
- Buka saluran komunikasi untuk mencegah penumpukan masalah yang belum terselesaikan yang dapat muncul secara eksplosif di kemudian hari.
- Bangun ruang yang aman untuk pelepasan emosi secara bertahap ke atmosfer tempat kedua belah pihak dapat mengekspresikan diri mereka tanpa takut dihakimi atau eskalasi.
Advertisement
4. Aggressive Confrontation
Fight language ini ditandai dengan pendekatan yang tegas dan terkadang agresif terhadap penyelesaian konflik. Orang yang menggunakannya cenderung mengendalikan percakapan, meninggikan suara atau menggunakan bahasa tubuh yang mendominasi untuk memaksakan perspektif mereka.
Di tengah panasnya perselisihan, pasangan yang mendominasi mungkin secara tidak sengaja mengabaikan suara pasangannya, sehingga mereka merasa tidak didengarkan atau tidak dihargai.
Mengenali dan mengatasi fight language yang mendominasi ini penting untuk menciptakan lingkungan yang harmonis di mana kedua pasangan merasa sama-sama didengarkan dan dihargai.
Pasangan yang menghadapi dinamika ini harus fokus pada pengembangan keterampilan mendengarkan secara aktif dan menemukan keseimbangan dalam gaya komunikasi.
Mendorong ketegasan tanpa dominasi dan menumbuhkan suasana saling menghormati dapat mengubah konflik menjadi peluang untuk berkolaborasi daripada perebutan kekuasaan. Memahami nuansa fight language yang ini dapat membuka jalan bagi dinamika hubungan yang lebih sehat dan lebih adil.
5. Mediation
Menurut sebuah penelitian, respons konflik yang umum meliputi avoidance, accommodation, competition, compromise, dan collaboration. Menggabungkan compromise dan collaboration sebagai respons pemecahan masalah dapat memastikan bahwa semua peserta merasa kebutuhan mereka terpenuhi.
Hal ini sejalan dengan fight language yang terakhir yaitu mediation, di mana individu menunjukkan kecenderungan alami untuk menemukan titik temu dan mendorong kompromi selama perselisihan. Mereka unggul dalam mencari solusi yang menguntungkan semua orang, menavigasi perspektif yang bertentangan dengan keterampilan negosiasi.
Mengenali dan menghargai pendekatan ini sangat penting untuk membangun dasar bagi pemecahan masalah kolaboratif dalam hubungan.
Daripada menganggap konflik sebagai pertempuran yang tidak ada pemenangnya, pasangan yang menggunakannya memahami bahwa kompromi dan pemahaman mengarah pada ikatan yang lebih kuat dan lebih tangguh.
Komunikasi bebas menjadi kunci untuk membuka potensi pengetahuan ini. Saat pasangan terlibat secara terbuka dalam diskusi dan mengakui nuansa fight language mereka masing-masing, fondasi kepercayaan dan empati pun terbangun.
Hal ini, pada gilirannya, menciptakan lingkungan di mana konflik tidak dilihat sebagai ancaman melainkan sebagai peluang untuk tumbuh dan memperkuat hubungan.
Advertisement