Peran Masyarakat dalam Menepis Stigma Negatif Penyandang Disabilitas Perkembangan

Psikolog dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Tri Puspitarini mengatakan bahwa penyandang disabilitas perkembangan atau developmental disability masih menghadapi stigma negatif.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 06 Jun 2022, 10:00 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2022, 10:00 WIB
Tawa Belasan Siswa Disabilitas yang Menuntut Ilmu di Gubuk Ujung Hutan
Bersekolah di lingkungan yang serba terbatas, belasan siswa penyandang disabilitas menghabiskan hari dengan tawa. Hal itu menjadi penawar lelah bagi para pengajar. (Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)

Liputan6.com, Jakarta Psikolog dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Tri Puspitarini mengatakan bahwa penyandang disabilitas perkembangan atau developmental disability masih menghadapi stigma negatif.

Stigma negatif ini bisa timbul dari masyarakat, lingkungan, bahkan keluarga sendiri.

Guna menepis stigma-stigma negatif terkait penyandang disabilitas perkembangan, masyarakat memiliki peran penting. Salah satu peran masyarakat yang dapat diterapkan yakni membangun pemahaman dan kesadaran bahwa penyandang disabilitas perkembangan bukanlah pengganggu, penghambat dalam pergaulan dan bukan “produk gagal”.

“Mereka amat mampu untuk belajar dan menerima pelajaran atau latihan yang diberikan, dengan strategi yang baik dan konsistensi serta dilakukan sedini mungkin,” ujar Tri dalam seminar daring Daewoong belum lama ini.

Sebagian dari anak dengan disabilitas perkembangan terlihat ”aneh” atau bahkan “agresif” dikarenakan adanya kesulitan dalam menyampaikan apa yang dimaksud. Mengenai hal ini, masyarakat perlu lebih terbuka dan menerima mereka dengan cara tidak “meledek”, tidak mengabaikan, tidak merundung dan sebagainya.

Ketika anak dengan disabilitas perkembangan mampu berkomunikasi dan bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan, mereka tidak akan menunjukkan perilaku agresif.

Beberapa dari anak penyandang disabilitas perkembangan tertentu bahkan memiliki bakat-bakat istimewa yang apabila dikembangkan dapat menjadi sumber penghasilan dan membuatnya lebih berdaya saat mereka dewasa.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Belum Mendapat Penerimaan Sosial

Ilustrasi anak dengan disabilitas intelektual.
Ilustrasi anak dengan disabilitas intelektual. Foto: Pexels Pixabay.

Peran masyarakat sangat dibutuhkan lantaran penyandang disabilitas masih belum mendapatkan penerimaan sosial yang dibutuhkannya.

Hal ini dilihat dari masih adanya penolakan yang justru datang dari orangtua anak penyandang disabilitas itu sendiri.

Menurut Tri, masih ada orangtua yang malu dan berusaha menyembunyikan kondisi anaknya. Masih ada orangtua yang tidak menerima kondisi anaknya sehingga enggan mencari penjelasan yang  benar dan layanan penanganan yang tepat untuk anak penyandang disabilitas.

Selain itu, ada pula orangtua yang membedakan pelayanan pengasuhan antara anak disabilitas dengan anaknya yang lain yang non-disabilitas.

Kurangnya dukungan dan penerimaan juga datang dari saudara kandung yang kadang melakukan perundungan terhadap saudaranya yang penyandang disabilitas.

Dalam kasus lain, di tempat-tempat publik seperti tempat bermain, orangtua malah menjadi sasaran stigma. Orangtua dari anak penyandang disabilitas masih saja menerima stigma negatif baik dari keluarga besar maupun dari lingkungan sosialnya. Orangtua sering dianggap tidak becus urus anak dan sebagainya.

Menimbulkan Pro Kontra

Pendidikan anak penyandang disabilitas intelektual
Ilustrasi pendidikan anak penyandang disabilitas intelektual. Foto: Ade Nasihudin/Liputan6.com.

Stigma negatif pada penyandang disabilitas perkembangan atau bahkan penyandang disabilitas secara umum membuahkan berbagai pro kontra.

Menurut Tri, beberapa hal yang termasuk dalam kategori kontra bagi anak dengan disabilitas perkembangan yakni:

-Masih banyak terdapat warga sekolah yang menolak keberadaan siswa penyandang disabilitas untuk bersekolah di tempat yang sama dengan anak-anak mereka.

-Masih ada yang memandang siswa penyandang disabilitas adalah pengganggu dan berpotensi mencelakakan anak-anak mereka, sehingga mereka khawatir kalau siswa penyandang disabilitas berbaur di sekolah umum.

-Masih banyak pihak sekolah (khususnya sekolah swasta) yang tidak mau menyatakan sebagai sekolah inklusi dikarenakan label inklusi masih dipandang negatif oleh masyarakat sehingga berdampak pada menurunnya jumlah siswa yang ingin mendaftar.

-Asesmen penerimaan siswa baru ditujukan untuk “seleksi” yang akan mengeliminasi kehadiran siswa penyandang disabilitas perkembangan di sekolah umum.

Sedangkan, beberapa hal yang masuk dalam kategori pro yakni:

-Dukungan pemerintah mengalami peningkatan dari aspek ketersediaan sekolah inklusi. (dukungan kebijakan) UU No.20 tahun 2003 pasal 15 tentang Sisdiknas dan UU No.20 pasal 32 tentang Pendidikan Khusus.

Penyediaan Fasilitas Khusus

Ilustrasi anak dengan disabilitas intelektual Foto oleh Mentatdgt dari Pexels.
Ilustrasi anak dengan disabilitas intelektual Foto oleh Mentatdgt dari Pexels.

Hal-hal selanjutnya yang termasuk kategori pro yakni:

-Penyelenggara sekolah swasta sudah lebih terbuka terhadap kebutuhan siswa penyandang disabilitas perkembangan hal ini ditunjukkan dengan penyediaan fasilitas khusus untuk siswa disabilitas, memiliki program khusus dan individual, terdapat guru khusus dan psikolog sekolah.

-Dukungan Kurikulum. Sejak kurikulum KTSP dan K13 sebetulnya sudah ada kebijakan tentang 75 persen wewenang ada di setiap satuan pendidikan (sekolah) untuk merancang kurikulum dan perencanaan belajar sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini termasuk kebutuhan akan muatan lokal, keagamaan, dan kekhususan seperti siswa disabilitas dan siswa dengan bakat istimewa.

-Saat ini sudah terlaksana adanya sekolah inklusi, minimal 1 sekolah (semua jenjang) di setiap kabupaten/kota.

Sebelumnya Tri menyampaikan, definisi disabilitas perkembangan menurut American Psychological Association. Menurut asosiasi tersebut, disabilitas perkembangan adalah kondisi perkembangan yang ditandai oleh adanya gangguan baik fisik maupun kognitif yang terjadi sebelum usia 22.

Gangguan ini menyebabkan keterbatasan pada fungsi hidup dan adaptasi, serta berkelanjutan di sepanjang kehidupan penyandangnya.

Sedangkan, menurut The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th Ed, DSM-5 disabilitas perkembangan adalah sekumpulan kondisi yang terjadi di masa perkembangan.

Gangguan ini umumnya muncul di masa perkembangan awal, bahkan sebelum usia sekolah. Ditandai adanya kelainan perkembangan yang menyebabkan gangguan fungsi hidup baik personal, sosial, akademik, dan pekerjaan.

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya