Liputan6.com, Jakarta Konser Coldplay yang sudah dinantikan akhirnya terlaksana pada 15 November 2023 malam. Di balik itu, ada beberapa pihak yang memiliki pengalaman kurang menyenangkan saat menonton konser band asal Inggris itu.
Hal ini diungkap oleh salah satu penonton yang merupakan pengguna kursi roda, Tirta. Dalam akun Twitter terverifikasi centang biru @romeogadungan, Tirta bercerita soal sulitnya akses kursi roda di tempat konser yang tak lain adalah Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta.
Advertisement
Menurut alumni Universitas Padjadjaran (Unpad), berdasarkan email, para pemegang tiket kursi roda akan dibantu tim medis untuk masuk ke dalam area konser.
Advertisement
“Begitu nanya medis, semua bengong nggak tau ngapain. Akhirnya di ping-pong naik turun. Nggak tau masuk lewat mana,” mengutip utas Tirta setelah dihubungi tim Disabilitas Liputan6.com, Jumat (17/11/2023).
Tak adanya kepastian dan arahan dari panitia konser membuatnya harus menunggu lama hanya untuk mencari pintu masuk GBK menuju area khusus penonton kursi roda.
“Ada kali sejam gue naik turun nyari pintu masuk di mana,” tulis pria yang juga blogger itu.
Tak ingin tinggal diam, Tirta inisiatif memanggil para pengguna kursi roda untuk berkumpul. Sehingga mereka bisa bersama-sama menanyakan kepastian pada panitia.
“Akhirnya gue inisiatif manggil-manggilin semua yang pake kursi roda. Ngumpul jadi satu, terus nanya panitia. Karena kalau sendiri-sendiri, akan dilempar antar panitia. Ini gue bareng kira-kira 10 pengguna kursi roda yang lain.”
Area Kursi Roda Penuh
Perwakilan panitia pun datang dan sayangnya membawa kabar tidak menyenangkan.
“Akhirnya karena udah banyakan, pressure muncul di panitia. Perwakilan datang, dan bilang area wheelchair udah penuh. Diisi siapa? Diisi orang-orang pemegang tiket biasa, yang somehow pake kursi roda pas hari H. Katanya ‘kecelakaan’ deket-deket konser.”
“Jadi mereka pake kursi roda, dan minta ditempatkan ama panitia di bagian kursi roda. Sementara pemegang tiket wheelchair, yang dari awal ngurusin surat dari RS dan lain-lain harus rela pindah ke bagian yang ada tangga-tangganya. Itu solusi dari panitia. Di sini gue udah mau ngamuk,” papar Tirta.
Penyandang Guillain–Barré syndrome (GBS) itu pun menggambarkan situasi yang mulai memanas. Beberapa pendamping pemegang tiket wheelchair udah naik tensi.
“Gimana ceritanya kami yang udah megang tiket wheelchair dari lima bulan lalu harus mengalah. Ke orang-orang yang bahkan gak jelas beneran sakit apa nggak. Situasi mulai nggak enak,” jelasnya.
Advertisement
Perjuangkan Hak Pengguna Kursi Roda
Para pengguna kursi roda tak serta-merta setuju dengan solusi dari panitia. Tirta pun menyarankan solusi lain.
“Solusi dari gue, dateng aja ke seat masing-masing. Confront siapa yang duduk di situ, kalau tiketnya nggak sesuai, ya suruh pindah.”
“Tapi panitia minta, perwakilan aja yang liat tempat duluan. Kalau udah aman, baru pengguna kursi rodanya ikut masuk. Akhirnya itu opsi yang diambil. Dan somehow, area itu bisa dikosongin. Kita dijemput dan bisa masuk. Meskipun nggak duduk di seat masing-masing,” tulis Tirta.
Lalu, Tirta dan para pengguna kursi roda pun akhirnya bisa masuk dan acara segera dimulai.
“Nyampe di sana, ya emang ada orang-orang yang nggak pake kursi roda. Cuma karena udah gelap, udah dapet seat, udah mau mulai, akhirnya udah ikhlasin aja. Udah cape, keringetan, pegel.”
Keputusan Berserikat adalah Langkah Tepat
Akhirnya, rombongan kursi roda terbagi dua, di bagian kanan dan kiri. Menurut Tirta, jika orang melihat dirinya, kemungkinan orang lain tidak begitu iba. Pasalnya, ia masih bisa berdiri dengan bantuan tongkat.
Namun, sebagian pengguna kursi roda lain memang tidak kuat jika harus naik tangga. Kondisi mereka tak sekuat Tirta.
“Kasian banget asli. Ada teteh-teteh bawa adiknya yang (kayaknya) cerebral palsy. Gimana coba mau gotong-gotong naik tangga.”
Dia menyimpulkan, keputusan untuk berkumpul dan berserikat adalah langkah yang tepat dilakukan malam itu. Jika pengguna kursi roda bergerak sendiri-sendiri maka akan terus “dilempar” oleh wanita dari ujung ke ujung.
“Akhirnya kami ngumpul, bergerombol di pintu masuk VIP pejabat, biar panitia liat. Biar sekalian kelihatan ironisnya. Jadi, kalau dibilang panitia salah, ya salah. Tapi penonton yang mentalnya kayak sampah juga jadi masalah.”
“Panitia nggak punya suara cukup kuat untuk menolak penonton kelas menengah yang ‘ngaku sakit’ pas hari H. Nggak tau beneran sakit apa nggak. Gue nyampe jam 5 (sore), makan, minum, toilet, beres jam 6 (sore). Jam 8 (malam) lewat dikit baru dapat seat. Jadi total 2 jam nunggu, dilempar-lempar panitia, naik turun, berdebat, ampe akhirnya bisa masuk,” pungkasnya.
Advertisement