Liputan6.com, Jakarta Zahra Cooper (21) sempat menjadi transgender. Dia terlahir sebagai perempuan. Namun Zahra merasa dirinya adalah laki-laki. Sesudah fisiknya berubah seperti kaum Adam, pergulatan batin kembali muncul karena dia tak nyaman menjadi laki-laki. Hal ini membuatnya kembali menjadi perempuan.
Orang-orang menyebut kondisi transgender yang dialami Zahra sebagai "transgender regret" atau "penyesalan transgender". Sementara, Zahra menyebutnya sebagai "kembali ke awal".
Baca Juga
"Ini memalukan. Malu untuk kembali melihat ke belakang," ceritanya.
Advertisement
Zahra lahir sebagai perempuan di Kaitaia, Selandia Baru. Saat masih anak-anak, dia pemalu dan sedikit nakal. Di rumah, dia hanya mendapat sedikit perhatian karena orangtuanya bercerai. Di sekolah pun sulit baginya untuk punya teman, alhasil dia memilih berteman dengan hewan peliharannya.
Sejak kecil, penyuka warna-warna gelap seperti hitam atau biru tua ini selalu memiliki potongan rambut pendek. Orang-orang berpikir dia tomboi.
Ketika memasuki usia remaja, hatinya mulai tak nyaman dengan kondisi sebagai wanita. Terlebih, kondisi biologis makin memperlihatkan dirinya adalah wanita.
"Aku merasa mulai berbeda ketika 14 tahun. Aku benci payudaraku, semua yang ada pada tubuhku. Aku tak tahu, aku membencinya," kata Zahra.
Rasa benci terhadap fisiknya yang perempuan membuat Zahra berpikir dia adalah gay. Setelah banyak membaca internet dan menonton Youtube, dia merasa bukan gay tapi terjebak di tubuh yang salah.
Selama empat tahun dia bergulat dengan gendernya. Fisiknya perempuan tapi dengan penampilan laki-laki. Hal ini berdampak membuatnya menjadi bahan bully-an teman-teman. Hingga di usia 18, dia meminta keluarga dan teman-teman memanggilnya Zane, agar terdengar maskulin, melansir laman News, Senin (20/11/2017)
Â
Â
Saksikan juga video berikut:
Konsumsi hormon laki-laki
Di usia 18 juga, dia mantap bertransisi menjadi laki-laki. Dia pun berkonsultasi ke dokter akan hal ini. Sayang, dokter pertama yang didatangi fobia transgender.
"Dokter itu fobia transgender. Dia mengatakan bahwa aku perempuan, terlahir perempuan," kenang Zahra.
Dia pun memilih pindah dokter di sebuah pusat kesehatan masyarakat publik. Dia berharap bisa diarahkan ke ahli endokrin agar bisa menjalani terapi hormon testosteron.
Sebelum bertemu ahli endokrin, Zahra dirujuk ke psikiater terlebih dahulu. Dia ditanyai tentang masa kecil dan sejak kapan berdandan seperti laki-laki. Psikiater mendiagnosisnya dengan gender dysphoria, yakni sebuah kondisi ketika seseorang merasa bertentangan dengan jenis kelaminnya.
Dari psikiater inilah yang membuka jalannya lebih cepat bertemu dengan ahli endokrin untuk menjalani terapi hormon.
Di Desember 2015, dia mulai konsumsi pil testosteron tiga kali sehari. Lalu injeksi hormon testosteron juga. Dia pun sudah melakukan yang orang-orang transgender ingin lakukan. Anehnya dia malah tak bahagia.
"Aku mulai marah-marah dengan kehadiran testosteron, mungkin ini efek samping semata. Namun, kemudian aku depresi. Aku mulai bertanya-tanya kenapa aku depresi? Harusnya kan aku bahagia," tuturnya.
Terapi hormon juga sudah membuat perubahan dirinya. Suara jadi lebih berat, bulu-bulu halus di wajah juga bertambah. Lagi, dia tidak bahagia.
"Namun aku tidak senang dengan perubahan itu, aku tidak merasa menjadi aku," ingatnya.
Masa transisi dari perempuan ke laki-laki ini membuatnya tersiksa. Pernah, dua kali dia ingin menghabisi dirinya sendiri. Pernah juga dia mengonsumsi obat-obatan sampai membuatnya overdosis sampai koma. Untung, sang kakek melihat hal itu.
Sang kakek juga yang meminta Zahra bertemu psikiater lagi. Setelah menjalani serangkaian tes, dokter mendiagnosis adanya sindrom Asperger, salah satu bentuk autisme ringan.
"Sejak saat itulah aku mulai berpikir lebih dalam. Aku mulai mencari tahu karakter orang Asperger," katanya.
Rupanya, banyak orang-orang Asperger bingung dengan identitas gender. Hal ini terjadi karena ada kecenderungan bertanya-tanya akan sesuatu yang tidak cocok, kemudian mengarah ke gender dysphoria.
Â
Â
Advertisement
Ingin Kembali
Zahra pun kembali banyak membaca kisah orang-orang seperti dirinya. Sampai-sampai membuatnya ingin kembali lagi menjadi perempuan seutuhnya. Terapi testosteron pun dihentikan.
Dia pun menghapus foto-fotonya saat menjadi Zane. Termasuk video-video di Youtube yang memperlihatkan dirinya sebagai laki-laki. "Aku tahu itu buruk, tapi tidak seburuk itu," tuturnya
Lalu, Zahra mulai menjadi wanita dengan membeli hal-hal yang feminin. Seperti membeli makeup dan hal-hal girly lainnya. "Tapi aku lalu menyadari bukan wanita yang feminin," ceritanya.
Di internet, Zahra berkenalan dengan Tyson. Seseorang yang dilahirkan sebagai perempuan tapi merasa laki-laki. Tampilan Tyson pun sudah laki-laki dengan rambut pendek, bahu dan pergelangan tangan lebar. Hubungan mereka berdua makin lama makin dekat, hingga akhirnya bertemu di dunia nyata.
Zahra juga berusaha membeli bra dan mengenakan pakaian ala wanita. Namun, dengan fisik dan suara yang berat kadang orang memandangnya aneh. Bahkan saat membeli bra di sebuah toko, dia dipanggil 'Sir' yang merupakan sebutan untuk laki-laki.
Dia pun sering kesal akan hal ini. Namun, perlahan-lahan dia menyadari bahwa keunikan gendernya terkadang bisa membuat banyak orang bingung.
"Ini amat menyebalkan karena publik masih menganggap aku pria meski sudah berpakaian wanita," katanya.
Ahli peneliti kesehatan remaja dari Auckland University Selandia Baru, Theresa Fleming mengatakan, kebingungan yang dialami seperti Zahra membuat mereka butuh dukungan yang tepat. Misalnya dengan ketersediaan layanan spesialis untuk membantu pertanyaan yang kerap muncul di pikiran mereka.
"Orang-orang dan remaja dengan krisis gender dan kesehatan mental membutuhkan seseorang yang memahami. Mereka perlu informasi yang benar," kata Theresa.
Â