Liputan6.com, Jakarta - Ketakutan adalah bagian dari kehidupan manusia yang tidak bisa dihindari. Emosi dasar ini sering kali muncul sebagai reaksi terhadap ancaman, baik yang nyata maupun yang hanya ada dalam imajinasi. Ketakutan memiliki peran penting dalam melindungi diri, dengan memicu reaksi seperti "lawan atau lari." Namun, jika rasa takut ini berlebihan, ia bisa menghambat potensi dan kebebasan seseorang.
Sering kali, ketakutan berasal dari hal-hal yang dianggap sebagai ancaman, seperti kegagalan, penolakan, atau ketidakpastian. Perasaan ini bisa membuat seseorang merasa cemas atau ragu. Namun, meskipun rasa takut adalah hal yang wajar, menghadapinya dengan bijaksana adalah kunci untuk tumbuh sebagai individu.
Advertisement
Dalam sebuah ceramah yang dikutip dari tayangan video di kanal YouTube @suudbulak2713, KH Ahmad Bahauddin Nursalim, yang lebih dikenal dengan Gus Baha, menjelaskan pandangannya tentang ketakutan yang khas dialami oleh orang Saleh. Dalam ceramahnya, Gus Baha membahas bagaimana ketakutan bisa menjadi sesuatu yang meresahkan dalam konteks spiritual dan ibadah.
Advertisement
Menurut Gus Baha, salah satu bentuk ketakutan yang sering dialami oleh orang sholeh adalah ketakutan terhadap ibadah yang tidak sesuai dengan sunah Rasul. "Kita sering kali merasa khawatir ibadah kita tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Rasul," katanya dalam video tersebut. Ketakutan ini, menurutnya, bisa menjadi hal yang positif jika dipandang sebagai dorongan untuk memperbaiki diri.
Namun, Gus Baha juga mengingatkan bahwa ketakutan tersebut bisa berkembang menjadi perasaan yang tidak sehat. Setelah seseorang merasa ibadahnya sudah sesuai dengan sunah Rasul, muncul ketakutan lain yang lebih mendalam. "Setelah merasa sesuai dengan sunah, kita khawatir jangan-jangan ibadah ini dilakukan dengan niat yang salah," lanjut Gus Baha.
Ketakutan berikutnya adalah apakah seseorang beribadah dengan tujuan untuk benar-benar mencari ridha Allah, atau hanya untuk menunjukkan kebenaran amalannya. Gus Baha menekankan bahwa dalam konteks tasawuf, ketakutan ini bisa berujung pada ujub, yakni perasaan bangga dengan amal yang dianggap diterima, tetapi bukan karena anugerah Allah.
Baca Juga
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Ketakutan untuk Menjaga Kesucian Ibadah
"Ujub adalah perasaan bangga karena amal diterima, merasa baik karena kebaikan yang dilakukan, bukan karena rahmat dan fadhilah Allah," tambahnya. Perasaan ini, menurut Gus Baha, bisa menjadi salah satu jebakan spiritual bagi orang sholeh, di mana mereka terjebak dalam perasaan bahwa kebenaran mereka adalah hasil dari usaha mereka sendiri.
Gus Baha juga menggambarkan ketakutan khas orang Saleh yang lain. Ia mengatakan, orang Saleh sering kali takut jika ibadah mereka tidak memenuhi syarat atau rukun yang telah ditetapkan. "Kalau sholat, misalnya, mereka takut jika tidak sesuai dengan syarat dan rukun yang benar," jelas Gus Baha. Ketakutan ini muncul karena adanya kesadaran yang tinggi tentang pentingnya kesempurnaan dalam setiap amal ibadah.
Namun, meskipun ketakutan ini bisa dianggap sebagai upaya untuk menjaga kesucian ibadah, Gus Baha menekankan bahwa ketakutan tersebut harus diimbangi dengan pemahaman yang benar. "Setelah ibadah sesuai syarat dan rukun, kita takut jangan-jangan amal ini tidak diterima oleh Allah," katanya. Ketakutan ini, menurutnya, harus disertai dengan kesadaran bahwa segala sesuatu yang baik datangnya dari rahmat Allah semata.
Ketakutan ini, menurut Gus Baha, sangat khas bagi orang yang serius dalam menjalani kehidupan spiritual. Namun, ia juga mengingatkan bahwa ketakutan ini bisa menjadi berlebihan jika tidak dikelola dengan baik. "Ketakutan yang berlebihan bisa membuat seseorang terjebak dalam perasaan tidak pernah cukup, tidak pernah puas dengan amal ibadahnya," ujar Gus Baha.
Orang Saleh, menurut Gus Baha, cenderung memiliki ketakutan yang berlapis-lapis. Ketakutan pertama adalah apakah amalnya sesuai dengan syarat dan rukun. Ketakutan kedua adalah apakah amal tersebut diterima oleh Allah. Ketakutan ketiga adalah apakah mereka melakukannya dengan niat yang benar atau karena ingin dilihat orang.
Gus Baha juga menegaskan bahwa ketakutan ini bisa menjadi penghalang dalam mencapai kedamaian batin. "Kita harus bisa menghadapi ketakutan ini dengan cara yang benar, agar tidak menghambat perjalanan spiritual kita," jelasnya. Dalam hal ini, Gus Baha mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara rasa takut dan harapan.
Â
Advertisement
Ketakutan yang Menjadi Motivasi untuk Memperbaiki Ibadah
Namun, ia juga menekankan bahwa ketakutan ini tidak boleh mengarah pada keraguan yang berlebihan terhadap rahmat Allah. "Allah itu Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan Maha Penerima Amal," ujar Gus Baha. Ketakutan yang sehat adalah ketakutan yang mengingatkan seseorang untuk terus berusaha dan memperbaiki diri, namun tanpa meragukan kasih sayang Allah.
Pada akhirnya, menurut Gus Baha, orang Saleh harus belajar untuk mengelola ketakutannya dengan bijak. "Kita harus sadar bahwa segala amal baik datang dari Allah, dan segala ketakutan kita adalah bagian dari upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya," kata Gus Baha.
Ketakutan, dalam pandangannya, bisa menjadi motivasi untuk memperbaiki diri, asalkan tidak membuat seseorang terjebak dalam perasaan rendah diri atau merasa bahwa segala sesuatu adalah hasil dari usaha semata.
Dalam perspektif Gus Baha, ketakutan yang khas bagi orang Saleh bukanlah ketakutan yang menghalangi mereka untuk beramal, tetapi ketakutan yang mengingatkan mereka untuk selalu memperbaiki niat dan menjaga kesucian hati. "Yang terpenting adalah menjaga keikhlasan dalam beribadah, karena hanya dengan ikhlas kita bisa meraih rahmat Allah," tutupnya.
Gus Baha mengakhiri ceramahnya dengan mengajak umat untuk terus berusaha memperbaiki diri dan menjaga ketakutan yang sehat, yang tidak berlebihan, tetapi tetap memotivasi untuk selalu kembali kepada Allah dengan penuh harapan dan kerendahan hati.
Dengan pemahaman ini, Gus Baha berharap umat dapat menghadapi ketakutannya dengan bijak, dan tetap menjaga keseimbangan antara rasa takut dan harapan terhadap rahmat Allah yang tak terhingga.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul