Novela Nawipa, Pengusaha Emas Merintis dari Nol

Dalam menjalankan kegiatan bisnis rumah, tanah dan emas yang diyakini tetap berprospek baik ini, Novela memilih sebuah bank sebagai mitra.

oleh Rochmanuddin diperbarui 14 Agu 2014, 00:15 WIB
Diterbitkan 14 Agu 2014, 00:15 WIB
Selain Caleg Gerindra, Novela Nawipa Ternyata Pengusaha Emas
Dalam menjalankan kegiatan bisnis rumah, tanah dan emas yang diyakini tetap berprospek baik ini, Novela memilih sebuah bank sebagai mitra.

Liputan6.com, Jakarta - Novela Nawipa, saksi asal Papua dalam sidang gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) 12 Agustus kemarin, ternyata selain caleg Partai Gerindra, juga ternyata belakangan diketahui seorang pengusaha emas.  

Novela ditunjuk kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai saksi persidangan gugatan Pilpres dari Desa Awabutu, Distrik Paniai Timur, Papua. Dia mengaku menekuni jual-beli emas bersertifikat produk Antam.

"Transaksi per harinya bisa 10 gram kalau harga emas lagi naik. Saya menjual 1 koin emas dan uangnya dipakai untuk membeli 2 koin emas. Ini saya lakukan terus-menerus sehingga saya bisa mengumpulkan sampai 20 gram emas," kata Novela seperti dikutip Liputan6.com dari kantor berita Antara, Rabu (13/8/2014).

Perempuan kelahiran Wamena 14 September 1984 ini menekuni bisnis rumah, tanah dan emas sejak 2009. Ia yakin bahwa untuk membangun perekonomian Papua yang lebih baik, harus dimulai dari perempuan dan pemuda.

Dalam menjalankan kegiatan bisnis rumah, tanah dan emas yang diyakininya tetap berprospek baik ini, Novela memilih sebuah bank sebagai mitra keuangan usahanya. Karena sistem syariah dan bagi hasil yang diterapkan bank tersebut terbukti menguntungkan.

"Bagaimana kita bisa saling menguntungkan, itu yang penting buat saya walau saya orang Kristen," katanya.

Keberhasilan yang sementara ini telah dicapainya telah membuat hidupnya relatif berkecukupan secara ekonomi, kondisi yang tak dirasakannya di masa kanak-kanak hingga remajanya. "Saya jatuh bangun, tapi saya terus melangkah karena ada cahaya di ujung lorong," ujarnya.

Kondisi ekonomi keluarganya yang terbatas itu telah memaksanya senantiasa kreatif dan bekerja keras meraih cita-cita. "Saya bekerja apa saja untuk bisa bertahan dan meneruskan sekolah. Sewaktu di sekolah dasar, saya jualan sayur mayur dan hasil-hasil kebun yang lain di pasar."

"Lalu, saat masih duduk di bangku SMP, saya bekerja sebagai tukang cuci pakaian," kenang Novela.

Tamat dari SMP, kehidupan Novela tidak lantas membaik. Sehingga dia tidak punya banyak pilihan menopang hidupnya. Dia terpaksa menjalani pekerjaan sebagai tukang ojek. "Waktu duduk di kelas 2 SMA, saya pernah menjadi tukang ojek dengan menyasar para penumpang wanita," ungkap dia.

Kegetiran hidup itu terus berlanjut hingga dia kuliah di Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ). Selama di bangku kuliah itu, dia hanya berbekal 2 helai celana panjang dan 5 potong baju saat kuliah.

Kondisi hidupnya itu tidak membuatnya patah semangat. Sebaliknya, kreativitas anak tertua dari 8 bersaudara ini justru semakin terbangun. "Saya pernah membantu rekan kuliah saya menyelesaikan tugas papernya. Dari situ, saya mendapat Rp300 ribu."

"Saya melakukan semua ini karena sebagai anak tertua, apa pun saya tempuh dengan cara yang halal, agar saya bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adik saya," sambung dia.

Pahit getirnya hidup yang dia rasakan semasa sekolah itu membuatnya ringan membantu sesama. Bahkan, ibu 1 anak yang harus menjadi orangtua tunggal setelah ditinggal mati suaminya ini, menerapkan filosofi 'berbagi' dari hasil usahanya.

"Cukup bagi saya kuliah dengan mengeluarkan air mata. Saya tidak ingin anak-anak Papua yang lain mengalami hal serupa dengan yang pernah saya alami dulu. Saya buat kolam kebaikan buat mereka," kata dia.

Dari hasil bisnisnya itu, Novela lantas menyekolahkan 2 anak asal Wamena dan 1 anak asal Paniai. Keduanya telah lulus pendidikan sarjana bidang pendidikan dari Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STIKIP) Abdi Bangsa Paniai.

"Kini mereka sudah menjadi guru di pedalaman Papua. Membangun orang Papua, terutama mereka yang berasal dari pedalamanan, harus dimulai dari pembentukan karakter terlebih dahulu. Di sinilah pentingnya pendidikan. Beri konseling ke anak-anak Papua supaya mereka tahu kemana arah yang benar," ujar dia.

Pengusaha yang semasa kuliah pernah aktif dalam kegiatan gereja dan gerakan perempuan ini mendambakan kondisi Papua yang maju dan sejahtera. Ekonomi dan kesejahteraan merupakan kata kunci bagi penyelesaian masalah Papua.

"Kepercayaan rakyat tidak bisa dibeli dengan uang, melainkan dengan kerja-kerja nyata yang berorientasi pada kesejahteraan yang berkeadilan bagi mereka," katanya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya