Liputan6.com, Bitung- Bitung memiliki sejumlah destinasi wisata alami yang memesona, salah satunya Cagar Alam Tangkoko. Bertepatan dengan usianya yang ke-100 pada 21 Februari 2019, pemerintah Kota Bitung menyelenggarakan Festival Tangkoko.
"Dengan adanya acara ini saya bermaksud menarik wisatawan Inggris dan Eropa untuk datang ke sini, terutama orang-orang lingkungan. Kebijakan kita untuk menghasilkan uang," ujar Wali Kota Bitung Maximiliaan Jonas Lomban kepada Liputan6.com di Bitung, Sulawesi Utara, Selasa, 19 Februari 2019.
Dalam acara tersebut diselenggarakan pada 20-21 Februari 2019 yang diisi dengan berbagai acara, seperti workshop mengenai lingkungan, fotografi yang berkaitan dengan lingkungan, ada juga kuliner, pameran lingkungan. Dalam acara itu juga ada imbauan untuk mengurangi penggunaan kantong plastik.
Advertisement
Baca Juga
"Hal yang menarik, dalam acara tersebut akan dipandu oleh anak-anak sekolah lingkungan yang tinggal di Batuputih. Batuputih ini merupakan satu kelurahan yang berada di Kecamatan Ranowulu Kota Bitung yang masih berwawasan lingkungan. Meski dikatakan kelurahan, tapi masih kelihatan desanya," kata lelaki kelahiran Manado, 8 November 1956 ini.
Untuk workshop akan menghadirkan pembicara-pembicara tingkat nasional, tapi juga tingkat internasional, seperti dari London dan Vietnam, bersama- dengan Kepala Sekolah Lingkungan, Khouni Lomban Rawung (istri Wali Kota Bitung).
"Kami berharap acara ini menjadi salah satu festival unggulan di Kota Bitung," ujar Max Lomban.
Puncak 100 Tahun Cagar Alam Tangkoko akan diresmikan monumen Alfred Russel Wallace pada 21 Februari 2019. Wallace adalah sosok inspirator dalam gerakan pemuliaan lingkungan bertempat di dalam Taman Wisata Alam Batuputih dan Batuangus.
Peresmian Monumen Alfred Russel Wallace
Maximiliaan Jonas Lomban mengatakan, motivasinya ia membuat patung Wallace di Tangkoko, pertama, Wallace itu sebagai tokoh lingkungan. Wallace sangat terkenal di dunia 1850-an, ia sudah mulai berkiprah di Malaysia dan Indonesia. Ia mendapat beberapa pelajaran dan akhirnya membagi yang dikenal dengan Wallace Line (Garis Wallace).
Menurut Maximiliaan, dalam Garis Wallace Jawa, Sumatera, Kalimantan itu bagian dari Asia, sedangkan Sulawesi, Papua, Maluku bagian dari Australia. Itu dibuktikan dengan banyaknya flora dan fauna yang sama antara Australia dan Indonesia.
"Sejak 1861 Wallace sudah ada di sini. Ia masuk ke Batuputih sekaligus Tomohon. Saat itu, ia ingin membuktikan apa betul di Batuputih ada maleo. Ternyata, setelah ia datang dan melihat, bukan hanya maleo, macacamigra, tarsius spektrum pun ada. Semua itu punya kesamaan dengan yang ada di benua Australia," imbuh Maximiliaan.
Maxmiliaan menambahkan, ada juga burung-burung yang tak ada di mana-mana, tapi ada di Australia dan ada juga di sini. Jadi, menguatkan apa yang Wallace katakan dalam teori Garis Wallace itu benar.
Kedua, Wallace adalah tokoh konservasi. Jika saja ia tak menentukan konsep konservasi, tentu hutan sudah botak. Perjuangan Wallace, lanjut Maxmiliaan kemudian dilanjutkan oleh muridnya Sijfert Koorders hingga terbentuknya undang-undang tentang Taman Nasional.
"Koorders itu anak penjajah yang lahir di Bandung. Namun, ia punya keinginan untuk mewujudkan cita-cita dari Alfred Wallace untuk penyelamatan hutan. Ditandai yang pertama ada empat cagar alam di Pulau Jawa, Jawa Barat. Tapi sekarang itu sudah tidak ada," katanya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement