Kearifan Warga Bajo di Teluk Bone

Warga Suku Bajo bisa meraih apa saja dari kekayaan laut dan hanya perlu "dibeli" dengan kerja keras. Sebagai mantan manusia perahu, kehandalan melaut orang Bajo hingga kini masih terbukti di Teluk Bone.

oleh Liputan6 diperbarui 27 Mei 2006, 16:30 WIB
Diterbitkan 27 Mei 2006, 16:30 WIB
270506bpotret.jpg
Liputan6.com, Bombana: Laut adalah lahan kehidupan bagi masyarakat Suku Bajo di Pulau Sulawesi. Mereka bisa meraih apa saja dari hasil di dalamnya, dan hanya perlu "dibeli" dengan kerja keras yang disertai rasa cinta akan lautan. Oleh warga Bajo, lautan juga sempat dipakai sebagai areal tempat tinggal dengan bermukim di atas perahu atau seanomade. Sejak ratusan tahun silam, mereka juga dikenal sebagai manusia perahu.

Apabila Suku Bugis, Suku Makassar, dan Suku Mandar dikenal sebagai pelaut-pelaut tangguh. Maka Suku Bajo mengambil peran sebagai nelayan yang terampil. Karena warga Bajo dikenal menguasai ilmu perbintangan dan berbagai pengetahuan tentang alam. Namun di balik semua itu, mereka juga dikenal memiliki kemampuan gaib yang menjadi perekat antara Suku Bajo dengan hal-hal di luar jangkauan pikiran manusia. Selain itu, meski memiliki perlengkapan nelayan yang sederhana, mereka juga tidak pernah takut untuk memasuki lautan.

Suku Bajo adalah Sub Etnis Suku Bugis yang berasal dari pesisir Watampone. Sebagaimana Suku Bugis lainnya, warga Bajo mayoritas sebagai nelayan dan sangat ulung mengarungi lautan. Lantaran itu, warga Bajo dapat ditemukan antara lain di Sulawesi Tenggara tepatnya di Kepulauan Wakatobi, Togean di wilayah Sulawesi Tengah, Wori di Sulawesi Utara, dan Labuan Bajo di Nusatenggara Timur.

Sementara itu, warga Suku Bajo juga merupakan penganut agama Islam yang taat. Namun, mereka juga mengabadikan kekuatan gaib yang diwariskan para leluhurnya. Oleh karena itu, perpaduan keyakinan akan Islam dan budaya benar-benar menjadi warna kehidupan warga Bajo.

Di laut, warga Bajo seanomade ini sepenuhnya menggantungkan hidup dari kekayaan laut dan hanya sesekali singgah di daratan atau sebuah pulau untuk mendapatkan air bersih dan menjual ikan. Namun sejak awal tahun 90-an, warga Bajo seanomade ini telah dimukimkan oleh pemerintah ke daratan.

Setelah lebih dari sepuluh tahun bermukim ke daratan, warga Suku Bajo ternyata masih tetap tidak melepaskan diri dari kehidupan laut. Mereka kerap memancing beragam ikan laut, menangkap gurita batu, dan mengumpulkan terumbu karang. Bahkan, mereka juga sering memburu ikan lumba-lumba dan hiu.   

Adalah Haji Kidung, salah satu warga dari Suku Bajo seanomade yang hingga kini masih melaut di perairan Teluk Bone. Dia merupakan nelayan handal dari Suku Bajo yang bermukim di Boepinang, Bombana, Sulawesi Tenggara, sejak sepuluh tahun silam. Haji Kidung juga merupakan Lolo Bajo atau bangsawan Suku Bajo yang kerap menghabiskan waktunya di laut.

Bahkan, dia adalah warga Bajo yang masih menyimpan Ula-Ula atau bendera kebesaran Suku Bajo sebagai simbol kepemimpinan masyarakat adat Bajo. Sebagai nelayan handal, Haji Kidung kerap mengarungi perairan Teluk Bone untuk mendapatkan berbagai jenis ikan, termasuk hiu.

Suatu siang, perahu Haji Kidung meninggalkan dermaga dan telah berada di Tanjung Lamponuponu atau Tanjung Penyu. Haji Kidung bersama sejumlah rekan-rekannya berencana memburu ikan hiu dan lumba-lumba. Di depan perahu tradisional mereka, sejumlah ikan lumba-lumba nampak beraksi. Sementara sejumlah pancing ikan juga ditebarkan di perairan tersebut. Namun sangat disayangkan perburuan ikan di Tanjung Lamponuponu ternyata sangat sulit dan kala itu hari sudah beranjak gelap. Sehingga perburuan ikan kali ini tanpa hasil.

Perahu Haji Kidung kemudian meninggalkan Tanjung Lamponuponu dan berlayar menuju Pulau Basa untuk lokasi bermalam. Pulau Basa merupakan tempat singgah mereka kerap melaut. Di pulau itu, kala beristirahat, Haji Kidung sempat bermain sepak takraw bersama warga Bajo lainnya.

Setelah beristirahat di Pulau Basa, Haji Kidung kemudian kembali melanjutkan perburuan hiu pada hari berikutnya. Tujuan perburuan Haji Kidung kali ini adalah perairan Pasir Tenggelam yang memiliki kedalaman sekitar 500 meter. Selain hiu dan lumba-lumba, di perairan ini kerap dijumpai ikan paus. Namun meski banyak paus, nelayan handal ini tidak pernah merasa takut dan jera untuk terus menembarkan mata-mata pancingnya di perairan itu.

Setibanya di perairan Pasir Tenggelam, Haji Kidung kembali menebarkan 15 buah mata pancing yang 9 di antaranya diberikan umpan ikan cakalang. Teknik menyebar rentetan mata pancing seperti ini disebut ngelolei. Namun dengan teknik ngelolei tidak semua nelayan berani melakukan perburuan hiu. Sebab, mereka harus berhadapan dengan laut dengan kedalaman sekitar 500 meter yang kerap disertai ombak besar.  

Usai belasan mata pancing dilepas di perairan itu, pria baya ini menyinggahi Gusung Pasir Putih seraya menikmati ikan bakar dan beristirahat sebentar. Selang tiga jam, Haji Kidung pun kembali mendatangi kawasan Pasir Tenggelam. 

Mereka kemudian bersama mengangkat mata pancing yang telah dilepas perairan Pasir Tenggelam. Beberapa saat kemudian Haji Kidung membuktikan kehandalannya di laut. Dia mendapat seekor hiu seberat sekitar 45 kilogram. Ini bukanlah hasil laut yang mudah didapat.

Dari hiu seberat puluhan kilogram ini, Haji Kidung bisa mendapatkan sirip hiu seberat 1,5 kilogram yang dapat dijual seharga Rp 600 ribu. Sementara dagingnya juga dapat dijual kepada tengkulak di Pasar Boepinang.

Meski hasil tangkapan hiu ini nilai jualnya cukup tinggi, Haji Kidung tidak larut dengan uang yang akan dihasilkan. Sehingga dia tidak mengkhususkan diri memburu hiu dalam setiap pelayarannya. Sebab, seperti juga warga Suku Bajo lainnya, Haji Kidung memahami makna kearifan lokal. Sehingga dia tidak berupaya menguras hiu untuk memperkaya diri dan kerap memilih ikan lain seperti ikan cakalang untuk diburu. Adapun ikan cakalang ini merupakan ikan yang mudah berkembang dan dapat dijadikan sasaran perburuan untuk mendulang nafkah di laut.  

Tanpa terasa, awan hitam telah menyelimuti perairan Pasir Tenggelam.Haji Kidung dan kawannnya kemudian bersiap-siap berlayar kembali untuk pulang. Seekor hiu seberat 45 kilogram itu merupakan bukti bahwa Suku Bajo memang terampil dalam memanfaatkan potensi laut sambil tetap menjunjung tinggi makna kearifan lokal.(ZIZ/Teguh Prihantoro dan Syaiful Yusuf)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya