Ini Isi Pembicaraan SBY Saat Hubungi Ketua MK Terkait UU Pilkada

Soal UU Pilkada, Ketua MK Hamdan Zoelva menjelaskan, asal-usul lahirnya Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 terjadi pada zaman Presiden Soeharto.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 29 Sep 2014, 15:41 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2014, 15:41 WIB
SBY
(Liputan 6 TV)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghubungi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva, tak lama setelah RUU Pilkada disahkan. Hamdan akhirnya mengungkap isi pembicaraan yang terjalin antara dia dan SBY.

"Saya hanya menyampaikan pada presiden, praktik ketatanegaraan kita yang selama ini kita lakukan adalah persetujuan bahwa proses pengambilan keputusan di DPR didahului oleh pendapat DPR melalui fraksi-fraksinya. Kemudian sambutan dari pemerintah," kata Hamdan si Gedung MK, Jakarta, Senin (29/9/2014).

Menurut Hamdan, dirinya menyampaikan kepada SBY bahwa RUU Pilkada yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR Jumat 26 September dini hari itu, tidak mendapat tanda tangan atau persetujuan dari presiden akan tetap dinyatakan sah.

Aturan itu tercantum dalam Pasal 20 ayat 5 Undang-Undang Dasar 1945. Yang butirnya berbunyi: "Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut, tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan."

"Saya berikan satu contoh undang-undang pengesahan Kepulauan Riau, yang waktu itu Presiden Megawati tidak memberikan tanda tangan untuk mengesahkan undang-undang itu. Tetapi berdasarkan Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 ditanda tangan atau pun tidak ditanda tangan presiden, undang-undang itu otomatis berlaku," ungkap Hamdan.

Hamdan menjelaskan, asal-usul lahirnya Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 terjadi pada zaman Presiden Soeharto. Ada undang-undang yang sudah disepakati di rapat paripurna DPR, tetapi Soeharto tidak tanda tangan. Sehingga undang-undang itu tidak berlaku, karena tidak ditandatangani oleh presiden. Hal sama terjadi dalam masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.

"Seingat saya 1999 ada undang-undang peristiwa keadaan bahaya (PKB), yang pada saat itu presiden juga tidak tanda tangan, sehingga tidak berlaku," jelas Hamdan.

Atas dasar itulah, lanjut Hamdan, perubahan Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 dipertegas. Dalam perubahan itu, ketika undang-undang diambil keputusan di paripurna, baik ditanda tangani atau tidak, undang-undang itu tetap berlaku.

"Karena pada saat itu presiden sudah memberikan inpres (Instruksi Presiden) kepada menterinya, kemudian juga memberikan confirm setelah ambil keputusan setelah 30 hari tidak ditanda tangani atau tidak tetap menjadi UUD," tandas Hamdan Zoelva. (Ans)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya