Perangsang Bagi Rupiah yang Loyo

Nilai dolar Amerika Serikat meroket, paling kuat dalam waktu 11 tahun. Sebaliknya, rupiah makin loyo.

oleh achmad.nurIlyas Istianur PradityaFiki AriyantiSeptian DenyArthur Gideon diperbarui 16 Mar 2015, 19:49 WIB
Diterbitkan 16 Mar 2015, 19:49 WIB
Ilustrasi Nilai Tukar Rupiah Melemah
Ilustrasi Nilai Tukar Rupiah Melemah

Liputan6.com, Jakarta - Nilai dolar Amerika Serikat meroket, paling kuat dalam waktu 11 tahun. Itu berkah bagi warga AS. Lembaran duit di dompet mereka semakin berharga. Saatnya untuk belanja, karena harga pakaian, elektronik, bahkan mobil kian terjangkau.

Namun tidak bagi para pengusaha tempe di Indonesia yang ketar ketir melihat rupiah makin terpuruk, hingga melampaui Rp 13 ribu per dolar AS. Mereka yang masuk kategori 'wong cilik' menjadi salah satu pihak yang paling terdampak.  

Ini penyebabnya: "Dari kebutuhan kedelai kita, kira-kira 80 persennya masih dari impor," kata Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin, 13 Maret 2015.

Secara total, kebutuhan kedelai di dalam negeri mencapai 2,5 juta ton per tahun. Sedangkan produksi kedelai lokal rata-rata hanya sekitar 500 ribu ton per tahun. Akibatnya, tempe pun jadi penganan mahal.

Rupiah yang makin loyo melenceng dari ekspektasi awal. Sesaat setelah Mahkamah Konsitusi (MK) menolak seluruh gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang diajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, para analis dan ekonom berebut mengeluarkan proyeksi perekonomiannasional di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) yang merupakan pasangan presiden dan wakil presiden yang resmi.

Sebagian besar analis dan ekonom tersebut memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi bakal bisa dijaga dan nilai tukar rupiah menguat. Bahkan beberapa riset lembaga keuangan asing seperti Morgan Stanley melihat bahwa nilai tukar rupiah bakal menguat hingga di level Rp 11.800 per dolar Amerika Serikat (AS).

 



Memang, sesaat setelah MK memutuskan bahwa pasangan Jokowi-JK memenangkan pemilihan presiden, nilai tukar rupiah langsung menguat ke kisaran Rp 11.700 per dolar AS. Padahal sebelumnya atau saat menjelang pemilihan presiden dan perhitungan suara, rupiah terus berada di kisaran Rp 12.000 per dolar AS.

Namun penguatan tersebut. Sejak awal tahun nilai tukar rupiah terus tertekan. Jika dihitung, sejak awal tahun hingga minggu ketiga bulan Maret ini, pelemahan rupiah mencapai 6,12 persen. Di awal tahun, rupiah berada di level Rp 12.390 per dolar AS. Sedangkan pada akhir pekan lalu, rupiah berada di level Rp 13.170 per dolar AS.

Pemerintah sebagai pengampu kebijakan fiskal dan Bank Indonesia (BI) sebagai pengampu kebijakan moneter pun membela diri. Pelemahan rupiah yang terjadi saat ini lebih disebabkan karena faktor eksternal. Faktor dari luar tersebut tidak hanya satu tapi bertumpuk. 

Selanjutnya: The Fed, EBC dan PBOC...

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


The Fed, EBC dan PBOC

The Fed, EBC dan PBOC

Pemerintah dan BI melihat ada beberapa penyebab sehingga nilai tukar rupiah tertekan. Penyebab utama adalah penguatan nilai tukar dolar AS. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil menyebutkan, masalah pelemahan rupiah dipengaruhi kondisi ekonomi Amerika yang terus membaik.

Sofyan pun bercerita, pelaku pasar melihat bahwa dengan membaiknya perekonomian Amerika tersebut, kemungkinan besar Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) bakal segera menaikkan suku bunga untuk menyerap kembali dana yang telah digelontorkan sejak krisis 2008.



"Sejak 2008 setelah krisis, Amerika menggelontorkan quantitative easing, menggelontorkan dolar begitu besar ke pasar hingga puluhan miliar dolar per bulan untuk menstimulus ekonomi Amerika, dolar ini pergi ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia," tutur dia.

Sofyan melanjutkan, gelontoran dana yang juga masuk ke Indonesia tersebut sempat membuat nilai tukar rupiah menguat hingga ke level Rp 9.000 per dolar AS. Namun kini kondisinya berbalik, Amerika ingin menyerap dolar kembali dengan menaikkan suku bunga. "Nah inilah kemudian dalam proses adjustment ini semua mata uang dunia melemah karena dolar kembali ke Amerika," kata dia.

Deputi Gubernur BI, Perry warjiyo mengungkapkan, selain karena rencana kenaikan suku bunga AS, penguatan dolar AS sehingga membuat rupiah melemah juga disebabkan penggelontoran likuiditas dari Bank Sentral Eropa atau The European Central Bank (ECB).

Pada 22 Januari lalu, Bank Sentral Eropa mengeluarkan kebijakan berupa pembelian obligasi besar-besaran dengan nilai kurang lebih US$ 1,3 triliun. Program tersebut dimulai pada Maret ini hingga September 2016. “Kebijakan tersebut bukan hanya menambah likuiditas, tapi juga membuat mata uang Euro melemah dan akibatnya dolar AS menguat,” tuturnya. Hal tersebut semakin menekan rupiah.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menambahkan, pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin yang dilakukan oleh People's Bank of China (PBOC) pada awal bulan ini juga menjadi penyebab nilai tukar yuan melemah sehingga berdampak juga terhadap rupiah. (VIDEO: Ekonom: Pelemahan Rupiah Jangan Jadi Tren Permanen)

Selanjutnya: Faktor Pelemah Dalam Negeri ...


Faktor Pelemah Dalam Negeri

Faktor Pelemah Dalam Negeri


Selain faktor dari luar, pelemahan rupiah juga dipicu oleh faktor dari dalam negeri. Senior Economist Global Research Standar Chartered Bank, Eric Sugandi menjelaskan, pelemahan rupiah juga disebabkan oleh faktor fundamental yaitu soal defisit transaksi neraca berjalan.

“Kita ada masalah dengan current account deficit. Tapi memang itu sudah menjadi pengetahuan umum pelaku pasar. Masalah ini sifatnya jangka panjang dan memang tidak ada jalan yang mudah untuk membuat current account deficit ini menjadi surplus,” jelasnya kepada Liputan6.com.

BI mencatat defisit transaksi berjalan pada 2014 kemarin sebesar US$ 26,2 miliar atau 2,95 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, level tersebut mengalami penurunan. Di 2013, defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai US$ 29,1 miliar atau 3,18 persen dari  PDB.

Selain itu, ekonom PT Bank Saudara Tbk, Rully Nova menambahkan, penyebab lain pelemahan rupiah namun tidak begitu fundamental adalah penurunan BI Rate yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada 17 Februari 2015 lalu. 



“BI menurunkan suku bunga, imbal hasil pada para pelaku pasar menjadi ikut turun dan akhirnya membuat rupiah melemah,” jelasnya kepada Liputan6.com. Investor pasar keuangan pun untuk sementara menghindari rupiah dalam berinvestasi. Mereka memilih untuk melakukan investasi dalam mata uang lainnya.

Namun memang, Bank Indonesia memang harus menurunkan suku bunga untuk bisa mendukung pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan oleh Presiden Jokowi. Dengan penurunan suku bunga tersebut, diharapkan kredit bisa bertumbuh sehingga perusahaan-perusahaan bisa meminjam dana untuk mendorong produksi.

“Jadi memang secara jangka pendek penurunan suku bunga berat bagi rupiah namun secara jangka panjang akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” tambah Rully. 

Selanjutnya: Disengaja...


Disengaja?

Disengaja?

Soal pelemahan rupiah, Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Fauzi Ichsan melihat bahwa salah satu tugas jangka panjang pemerintah dan BI adalah menurunkan defisit transaksi berjalan.

Selama ini, neraca transaksi berjalan selalu membukukan angka defisit. Hal tersebut karena nilai impor selalu lebih besar jika dibanding dengan ekspor. Oleh sebab itu pemerintah dan BI mencoba untuk mengakalinya dengan membiarkan dolar AS menguat.

"Kalau rupiah melemah, otomatis impornya menurun. Jadi ini salah satu cara mengoreksi current acount deficit," ujar Fauzi pada awal bulan ini.

Senior Economist Global Research Standar Chartered Bank, Eric Sugandi berpendapat, teori yang diungkapkan oleh Fauzi tersebut cukup masuk akal. Namun memang, pemerintah dan BI harus memberikan sinyal kepada pelaku pasar bahwa langkah yang dilakukan tersebut hanya sementara. Hal tersebut agar nilai tukar rupiah tidak terus tertekan dan justru dipermainkan oleh pihak-pihak lain.

BI juga harus memberikan pembelajaran kepada pelaku pasar bahwa pelemahan rupiah tersebut merupakan salah satu langkah untuk memperbaiki current acount deficit yang ke depannya rupiah bisa akan menguat kembali.

Namun, Eric mengingatkan, langkah pelemahan ini jangan menjadi sebuah tren jangka panjang. Pasalnya, bagi investor portofolio di pasar keuangan maupun pasar saham penurunan nilai tukar rupiah tersebut imbal hasil yang didapat akan tergerus.

“Untuk foreign direct investor juga terpengaruh, karena biaya importasi untuk input produksi barang modal juga menjadi naik,” tuturnya.



Dugaan bahwa rupiah memang sengaja dilemahkan tersebut langsung dibantah oleh pemerintah dan BI. Sofyan Djalil memastikan, pemerintah tidak melakukan pembiaran terhadap pelemahan nilai tukar rupiah.

"Indonesia tidak punya kepentingan dengan melemahkan rupiah. Jadi pelemahan bukan didorong oleh pemerintah. Bahkan, BI menjaga pasar supaya swing tidak terlalu besar," tegas Sofyan.

Bambang Brodjonegoro menambahkan, penguatan dolar AS ke hampir seluruh mata uang dunia seiring membaiknya ekonomi Negeri Paman Sam itu. "Pelemahan sekarang bukan by design. Itu karena ada penguatan dolar AS ke mata uang lain, pemotongan suku bunga di beberapa negara dan defisit transaksi berjalan kita masih di kisaran 3 persen," tutur dia.

Selanjutnya: Obat Perangsang Rupiah...


Obat Perangsang Rupiah

Obat Perangsang Rupiah
 
Meskipun pelemahan rupiah bisa memperbaiki defisit transaksi berjalan, pemerintah tak ingin pelemahannya kebablasan. Maka, Presiden Jokowi pun mengumpulkan para menteri untuk mencari jalan keluar agar rupiah tak terus-menerus tertekan.
 
Terhitung, beberapa kali Jokowi mengundang para menteri dan juga beberapa lembaga lain seperti BI dan juga Otoritas Jasa keuangan (OJK) untuk berkumpul. Pertemuan pertama dilakukan pada tanggal 10 Maret 2015, sesaat setelah Jokowi pulang dari kunjungannya di Aceh.
 
Pertemuan kedua diadakan pada tanggal 13 Maret 2015. Pertemuan tersebut langsung dilanjutkan dengan rapat koordinasi. Rapat tersebut dihadiri oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno, Menteri Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Menteri Perindustrian Saleh Husin dan beberapa menteri lainnya tersebut menghasilkan kesimpulan untuk mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mendorong penguatan rupiah.
 
Pertemuan ketiga Jokowi dan pengampu kebijakan fiskal dan moneter berlangsung pada 16 Maret 2015. Dalam rapat tersebut Jokowi menyetujui enam poin paket kebijakan ekonomi.

Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Sofyan Djalil mengungkapkan enam paket kebijakan tersebut setelah disetujui oleh Jokowi akan diwujudkan dalam Peraturan Pemerintah untuk selanjutnya langsung ditandatangani oleh Presiden.
 
"Jadi setelah ini seminggu ke depan akan diproses PP nya, untuk kemudian akan berlaku setelah satu bulan ditandatangani," kata Sofyan.
 
Enam paket kebijakan tersebut adalah:
 
1. Tax allowance, untuk perusahaan yang mampu melakukan reinvestasi dengan hasil dividen, perusahaan yang mampu ciptakan lapangan kerja dan perusahaan yang export oriented dan perusahaan yang investasi di research and development. Kemudian setelah itu juga pemerintah berlakukan insentif PPn untuk industri galangan kapal.
 
2. Kebijakan tentang bea masuk anti dumping sementara dan bea masuk tindak pengamanan sementara terhada produk impor yang unfair trade. Poin ini dalam rangka melindungi industri dalam negeri.
 
3. Pemerintah memberikan bebas visa kunjungan singkat kepada wisatawan. Pemerintah putuskan bebas visa kepada 30 negara baru. Maka setelah Perpres jalan yang diperkirakan bulan depan, akan menjadi 45 negara yang warganya bisa ke RI, sebagai turis tanpa visa.
 
4. Kewajiban penggunaan biofuel sampai 15 persen, dengan tujuan mengurangi impor solar cukup besar.
 
5. Penerapan LC (Letter of Credit) untuk produk SDA, seperti produk tambang, batubara, migas dan CPO. Intinya dengan ini pemerintah ingin tidak ada distorsi.
 
 6. Restrukturisasi perusahaan reasuransi domestik. Pemerintah sudah mulai dengan perkenalan reasuransi BUMN. Jadi dari 2 perusahaan, menjadi 1 perusahaan nasional.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya