UU Pilkada Direvisi, Golkar dan PPP Belum Tentu Menang

DPR berencana kembali merevisi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Umum Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).

oleh Oscar Ferri diperbarui 08 Mei 2015, 14:07 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2015, 14:07 WIB
Tahapan Pilkada Serentak 2015
Komisi Pemilihan Umum (KPU) meresmikan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara serentak pada 2015 di Kantor KPU Pusat.

Liputan6.com, Jakarta - ‎DPR berencana kembali merevisi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Umum Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Revisi itu dilakukan karena keinginan Komisi II agar Partai Golkar dan PPP yang tengah bersengketa untuk ikut pilkada serentak tidak diakomodir KPU.

Bagi pengamat hukum tata negara Margarito Kamis, revisi itu perlu dilakukan. Mengingat, memang kekacauan internal di Partai Golkar dan PPP tidak datang dengan sendirinya.‎

‎"Kalau di lihat konteks kasus Golkar dan PPP tidak terelakkan terhadap perubahan UU Pilkada. Sikap hari ini menguatkan kekacauan Golkar dan PPP itu dikehendaki‎," ujar Margarito saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (8/5/2015).

‎Menurut Margarito, jika ada yang tidak menginginkan perubahan dalam UU Pilkada lalu hal itu menguntungkan karena Golkar dan PPP tidak bisa ikut pilkada serentak, maka sudah nyata ada pihak-pihak yang memang 'mengerjai' kedua partai tersebut.

Bila UU Pilkada diubah dan kedua partai itu diakomidir untuk ikut pilkada serentak, maka belum tentu pula Golkar dan PPP menang di setiap daerah.‎ "Belum tentu yang menang Pilkada Golkar dan PPP. Jadi ubah saja, biarkan Golkar dan PPP ikut berkompetisi," kata Margarito.‎

Ia menilai, Golkar dan PPP kubu mana yang berhak ikut pilkada serentak, harus dicari formulasinya oleh DPR. "Bolanya ada di DPR yang merumuskan dengan akal sehat. Bagaimana itu mereka menemukan formulasinya agar kubu yang ikut sah secara konstitusional dan diterima dengan akal sehat kita. Siapa yang ikut tidak penting buat saya, tapi yang penting rasionalitasnya masuk," jelas Margarito.‎

Paling Amburadul

Margarito juga menilai ‎Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Umum Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) merupakan undang-undang yang paling amburadul dibanding dengan undang-undang lain.

"UU Pilkada ini adalah undang-undang yang paling berat, paling amburadul dari pada undang-undang yang lain," ucap dia.

Margarito menilai, mekanisme penyelenggaraan pilkada serentak yang dimulai tahun ini tidak ada bedanya dengan penyelenggaraan pilkada sebelumnya. "Dari dulu setiap tahapan, dari TPS, PPS, PPK ada calonya. Setiap tahapannya ada masalah," ujar Margarito.‎

Tujuan penyelenggaraan pilkada serentak, jelas dia, untuk mengefesiensikan biaya mahal seperti pilkada sebelumnya. Namun, ia menilai, aturan pilkada serentak yang dibuat DPR malah sama berbiaya mahal juga.
‎
"Kita bikin pilkada serentak biar biayanya kecil. Faktanya malah biayanya sama juga besar," ujar Margarito.

Ia pun meminta DPR membuat Undang-Undang Pilkada baru yang disusun dengan pikiran tenang tanpa tergesa-gesa karena tekanan politik. "Bila perlu bikin undang-undang baru. Dibikin dengan pikiran tenang, yang jelas, agar kita peroleh tatananan yang baik," ujar Margarito.
‎
‎Sebelumnya, DPR akan merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Revisi tersebut menyusul tak diakomodirnya keinginan panitia kerja Komisi II oleh KPU terkait parpol yang sedang bersengketa, dalam hal ini Partai Golkar dan PPP, untuk ikut pilkada serentak.

‎UU Pilkada yang akan direvisi dalam hal ini Pasal 42 ayat 4,5, dan 6 yang mengatakan pendaftaran calon kepala daerah oleh parpol dan atau gabungan parpol harus mendapat rekomendasi pengurus parpol di provinsi dan kabupaten kota, serta harus disertai surat putusan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Sedangkan UU Parpol yang akan direvisi adalah Pasal 32 terkait pengurus parpol harus terdaftar di Menkumham.

DPR berencana merevisi kedua UU tersebut pada masa sidang keempat, 18 Mei mendatang sebagai revisi UU terbatas. Revisi UU Parpol dan UU Pilkada itu diklaim DPR sebagai kompromi sistem ketatanegaraan Indonesia yang belum sempurna.‎ (Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya