KPAI: Hak-Hak Anak Belum Terpenuhi di Indonesia

KPAI mengatakan, ada 31 hak yang dimiliki anak-anak. Namun di Indonesia baru 4 hak yang masuk UU Perlindungan Anak.

oleh Oscar Ferri diperbarui 22 Jul 2015, 15:26 WIB
Diterbitkan 22 Jul 2015, 15:26 WIB
Sekjen KPAI Erlinda
Sekjen KPAI Erlinda (foto: kpai.go.id)

Liputan6.com, Jakarta - Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda mengatakan, ada 31 hak yang dimiliki anak-anak. Namun di Indonesia baru 8 hak anak yang sudah diratifikasi dan hanya 4 hak yang dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Keempat hak anak itu, beber dia, yakni hak untuk hidup, hak untuk tumbuh berkembang, hak untuk berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, dan hak untuk mendapat perlindunggan dari kekerasan dan diskriminasi.

"Hak berpartisipasi ini yang masih kurang," kata Erlinda dalam diskusi 'Hari Anak Nasional Usung Hak Anak, Sebuah Refleksi Kasus Angeline' di Universitas Atma Jaya, Jakarta, Rabu (22/7/2015).

Erlinda mengambil contoh, di mana sang anak kurang mendapatkan hak‎ berpartisipasinya adalah di rumah. Misalnya, orangtua tidak pernah menanyakan kepada si anak untuk liburan ke mana atau mau makan apa. Semua kebutuhan itu seolah sudah diatur orangtua.

Contoh lain adalah keminatan atau keinginan anak di sekolah menangah atas (SMA) yang tidak terpenuhi. Orangtua kerap kali memaksakan jurusan yang diingini tanpa menanyakan kepada si anak. Seperti, orangtua ingin dan menyuruh anaknya masuk jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), namun bakat dan minat si anak justru lebih cenderung ke Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

"Di situ saja hak anak sudah tidak terpenuhi," ujar dia.

Erlinda juga menyarankan, agar anak sering mendapat pelukan dari orangtuanya. Sebab, pemberian gadget, makanan mahal, atau liburan mewah, bukan berarti tugas orangtua memberi kenyamanan kepada anak selesai.

"Jadi belum selesai. Ingat, anak itu butuh pelukan. Jarang ada orangtua yang memanggil anaknya dengan kata-kata sayang," ucap Erlinda.

Lebih jauh Erlinda menjelaskan, bahwa Indonesia masih dalam status darurat perlindungan anak. Karena masih banyaknya orangtua yang harus berhadapan dengan hukum karena perlakuannya kepada anak merupakan tindak pidana.

Contoh paling akhir dan menyita perhatian nasional adalah kasus dugaan pembunuhan Angeline di Bali. Kasus tersebut makin mendapat simpati masyarakat, karena belakangan Kepolisian Resor Bali menetapkan Margriet Megawe sebagai tersangka utama kasus pembunuhan gadis berusia 8 tahun tersebut.‎ Di sini, Margriet adalah orangtua angkat Angeline, yang notabene bukan orang lain atau orang yang tidak dikenal Angeline.

"Jadi kita harap, orangtua yang melakukan penelantaran, diskrimanasi, kekerasan harus berpikir 3 kali lipat. Karena dia akan berhadapan dengan hukum," kata dia.

Menurut Erlinda, Indonesia saat ini, baik pemerintah, aparat penegak hukum, atau stakeholder terkait masih seperti pemadam kebakaran dalam kasus-kasus tindak pidana ‎terhadap anak.

"Kita masih tampak seperti pemadam kebakaran. Kita belum mencegah terjadinya tindakan pidana terhadap anak.‎ Lebih baik menjadi contoh ketimbang mengimbau kepada orang lain," ucap Erlinda. (Osc/Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya