Pemerintah Diminta Cabut Aturan Lahan Hutan Era SBY

Peraturan Bersama Menteri yang dibuat pada era SBY itu dianggap bisa menimbulkan gangguan sosial masyarakat di kawasan hutan.

oleh Oscar Ferri diperbarui 16 Nov 2015, 15:07 WIB
Diterbitkan 16 Nov 2015, 15:07 WIB
20151019-Ilustrasi-Kebakaran-Hutan
Ilustrasi Kebakaran Hutan (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Green Network Indonesia (GNI), Transtoto Handadhari mengatakan, terbitnya Peraturan Bersama Menteri (Perbemen) soal lahan hutan era mantan presiden Susilo Bambang Yhudoyono (SBY), memberi sejumlah implikasi negatif pada pemerintahan saat ini.

Perbemen yang disepakati oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Negara pada 17 Oktober 2014 itu diterbitkan 3 hari sebelum Joko Widodo dilantik sebagai Presiden RI.

Aturan tersebut memberikan penegasan hak milik atas tanah hutan kepada orang atau kelompok orang yang menguasai atau menggunakan tanah lebih dari 20 tahun dengan syarat-syarat yang sangat sederhana.

"Syaratnya sederhana, seperti surat pernyataan 2 orang saksi atau atas tanah hutan lainnya yang ditetapkan sebagai obyek program reforma agraria oleh BPN (Badan Pertanahan Negara)‎," ujar Transtoto dalam diskusi Nasional 'Menyelesaikan Konflik Tenurial Di Kawasan Hutan Secara Bijak' di Hotel Le Meridien, Jakarta, Senin (16/11/2015).

Implikasi lain dari terbitnya Perbemen tersebut, lanjut Transtoto, adalah berlaku tanpa pengecualian di semua fungsi hutan dan di semua konsesi lahan usaha yang ada di kawasan hutan. "Termasuk kawasan hutan yang sudah dikukuhkan. Belum lagi proses dukungan surat-surat keterangan dan saksi yang diyakini sejumlah pihak rawan akan penyelewengan," papar Transtoto.

Dia menambahkan, kebijakan-kebijakan dalam Perbemen 17 Oktober 2015 itu juga berpotensi jadi tunggangan politik. Bahkan, bisa dimanfaatkan secara konspiratif dalam perdagangan global untuk menghambat kemajuan perekonomian Indonesia.

"Secara langsung akan terjadi perusakan hutan, lingkungan dan mengganggu keberlangsungan usaha HPH, HTI, atau pertambangan berizin di dalam kawasan hutan. Ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap konsensi usaha lainnya seperti kebun sawit dan sebagainyan" ujar Transtoto.

Dampak Kelangsungan Usaha

Selain sejumlah implikasi negatif, Transtoto juga melihat, Perbemen 17 Oktober 2014 itu juga berdampak pada kelangsungan usaha di dalam kawasan hutan.

Pertama, lahan konsesi hutan berizin terancam dilepaskan pemerintah menjadi tanah milik masyarakat. Atau dilegalkannya perambahan lama maupun baru dengan program pemberdayaan masyarakat di dalam hutan.

Kemudian, Perbemen itu juga berpotensi menimbulkan gangguan sosial dalam proses usaha ekonomi di lapangan. Kelangsungan produksi bahan baku industri pulp dan kertas maupun produk industri pengolahan kayu juga dapat terganggu akibat berlakunya Perbemen itu.

"Dampak lain secara langsung maupun tidak langsung adalah sulitnya masyarakat memperoleh lahan milik akibat terbitnya Perbemen 17 Oktober 2014 ini," kata dia.

‎Karena itu Transtoto mendesak agar pemerintah segera mencabut Perbemen itu. Atau bahkan dibuat aturan hukum baru ‎yang pada pokoknya tetap menghargai hak-hak masyarakat adat yang sah atas lahan hutan maupun segala sumber penghidupannya.

"(Ada aturan hukum baru), namun dengan ‎tetap menjaga fungsi sumber daya hutan, terutama fungsi konservasi dan perlindungan ekosistem leingkungan sebagai sistem penyangga kehidupan," ucap Transtoto. (Dms/Mut)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya