2 Alasan Partai Demokrat Tolak RUU Tax Amnesty

Menurut Hinca, RUU Tax Amnesti dibangun atas dasar asumsi keberadaan triliuan rupiah yang dibawa orang Indonesia ke luar negeri.

oleh Dewi Divianta diperbarui 29 Mei 2016, 02:13 WIB
Diterbitkan 29 Mei 2016, 02:13 WIB
20151022- Sekjen Demokrat Hinca Pandjaitan-Jakarta
Sekjen Demokrat Hinca Pandjaitan saat Konfrensi Pers di Gedung DPP Demokrat, Jakarta, Kamis (22/10/2015). Partai Demokrat Menilai bahwa pemerintah telah melaksanakan tugas-tugas penegakan kedaulatan bangsa. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Denpasar - Partai Demokrat menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty yang saat ini tengah dibahas di DPR.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Demokrat, Hinca Panjaitan menuturkan, secara garis besar ada dua alasan mendasar penolakan partainya terhadap RUU yang diinisiasi pemerintah tersebut.

‎Menurut Hinca, RUU Tax Amnesty dibangun atas dasar asumsi keberadaan triliuan rupiah yang dibawa orang Indonesia ke luar negeri.

"Katakan begini. Anda berasumsi katakanlah Rp 1.000 triliun di luar negeri. Lalu Anda berfikir untuk menarik itu agar APBN kita penuh. Cara untuk menarik, dia menduga bahwa Rp 1.000 triliun yang dibawa ke luar itu hasil kejahatan," kata Hinca di Denpasar, Sabtu 28 Mei 2016.

Karena diduga hasil dari kejahatan, maka digunakanlah kata amnesti.

"Amnesti itu kata untuk penjahat. Karena sudah dihukum secara politik, negara kemudian mengampuni. Itu namanya amnesti. Kata pengampunan sudah menjustifikasi bahwa orang yang pergi ke luar negeri itu penjahat. Kita setuju, negara boleh memberikan pengampunan," ucap dia.

Yang menjadi pertanyaan, lanjut dia, betulkah uang di luar negeri itu benar-benar sebanyak Rp 1.000 triliun?. Hinca melanjutkan, jika orang tersebut balik ke Indonesia, bagaimana cara dan berapa besaran pengampunannya.

"Sungguh tidak adil kita yang punya uang dikit-dikit ini pajak kita bayarkan terus. Lah dia tidak bayar. Atau berapa dia, tidak mungkin sama dengan kita. Mungkin kecil. Apa justifikasinya, mengapa segitu. Kalau itu bisa terjawab oke, tapi kalau belum, kita tolak. Di mana nilai keadilannya," tutur Hinca.

Yang kedua, masih kata Hinca, katakanlah orang yang membawa uang ke luar negeri itu kembali ke Indonesia. "Nanti setelah UU Amensti itu, untuk APBN yang sekarang, saat undang-undang ini diketok baru berlaku tahun depan. Setelah berlaku tahun depan, apakah bisa langsung dijalankan hari itu. Dia bentuk dulu panitianya, ini dan itu," kata dia.

Katakanlah dalam 1 tahun uang itu kembali sebesar Rp 50 triliun. Sayangnya, pada saat yang sama sejumlah orang merasakan ketidakadilan dalam hal pembayaran pajak.

"Lalu dibawa ke MK, diprotes itu UU. Dianggap tidak adil, tidak sama di hadapan hukum. Lalu MK memutus batalkan itu," jelas dia.

Padahal, menurut Hinca, orang tadi sudah pulang membawa uang hasil kejahatan dari luar negeri. "Dia sudah tertangkap itu, tinggal masukkan saja ke KPK. Siapa yang mau," ujar Hinca.

Hinca menilai UU Tax Amnesty tak dapat dijadikan pedoman untuk menutupi APBN Indonesia yang bolong-bolong.

"Karena yang terjadi adalah asumsi. Kalau asumsi bisa iya, bisa tidak. Itu kita khawatir," imbuh dia.

Apalagi, kata dia, UU ini telah dicoba di banyak negara dan mengalami kegagalan.

"Kita juga dua kali gagal juga. Kenapa gagal, karena parsial. Maka butuh waktu untuk tax reform-nya secara keseluruhan. Jangan karena ini sudah segini dia tempel-tempel ini. Ini kan ditempel-tempel, maka bolong-bolong kan," kata Hinca.


Untuk itu, Hinca mengusulkan agar soal tax amnesti ini dibahas bersama-sama secara komprehensif. "Usulan kita, yuk kita bahas ramai-ramai secara konsep besar, sehingga dia bukan yang ditempel-tempelkan," ucap Hinca.

Menurut Hinca, ada hal yang bisa dilakukan untuk menangani APBN. Dulu, sewaktu Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden harga minyak turun drastis. Sehingga cut budget.

"Zaman Pak SBY selama 10 tahun kita tidak jor-joran membangun infrastruktur, karena manusia lebih penting daripada sekadar fisiknya," kata Hinca.

‎Kendati begitu, Hinca mengaku bisa saja Partai Demokrat mendukung RUU tersebut asal beberapa pertanyaan yang mengganjal dapat dijawab pemerintah.

Menurut dia, ada beberapa pertanyaan penting dari RUU itu yang belum dijawab pemerintah. Jika telah dijawab dan dianggap logis, bisa saja Demokrat akan mendukung.

"Kami menolak. Jadi, kenapa kami menolak. Kalau (pemerintah bisa menjawab) dijawab kenapanya, baru kami setuju," tutup Hinca.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya