Liputan6.com, Jakarta - Tak banyak orang tahu tentang sosok Ichibangase Yoshio. Pria berkewarganegaraan Jepang itu, rupanya memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia.
Saat bangsa Indonesia mulai merumuskan kemerdekaannya, Yoshio menjadi Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Baca Juga
BPUPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan tentara Jepang pada tanggal 1 Maret 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito.
Advertisement
Pembentukan BPUPKI ini untuk menyelidiki, mempelajari dan mempersiapkan hal-hal penting lainnya yang terkait dengan masalah tata pemerintahan guna mendirikan suatu negara Indonesia merdeka.
BPUPKI beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh Dr Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yoshio dan Raden Pandji Soeroso.
Tanggal 28 Mei 1945, BPUPKI melakukan sidang pertamanya di bekas gedung Volksraad semacam lembaga "Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda" pada masa penjajahan Belanda. Kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila yang terletak di Jalan Pejambon 6, Jakarta Pusat.
Baca Juga
Gedung itu berasitektur khas Belanda. Sukarno menganggap gedung itu berlebihan. Dinding kayu berwarna gelap, langit-langit kaca berwarna, dan lantai dari marmer padat.
Ruang yang luas dibagi-bagi menjadi 10 deret. Enam meja dan kursi terdapat dalam setiap deretnya. Satu-satunya yang teratur dalam sidang itu hanyalah ruangannya.Sementara, "Rapat-rapat yang diselenggarakan benar-benar kacau," kata Sukarno dalam "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat" karya Cindy Adams seperti dikutip Liputan6.com.Keberadaan Sukarno dalam rapat itu karena ia diminta berpidato sebagai tokoh utama pergerakan nasional Indonesia bersama dua rekan lainnya, yaitu Mohammad Yasin dan Soepomo.
Sukarno mendapat giliran pidato pada 1 Juni 1945. Bung Karno berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan Pancasila. Yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan, 3. Mufakat atau Demokrasi, 4. Kesejahteraan Sosial, dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Â
Sementara keberadaan Ichibangase Yoshio pada saat itu dianggap sebagai bayang-bayang dan representasi pemerintahan Jepang yang berkuasa. Sebab dalam rapat itu, seperti dikutip dalam buku "Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila" karya Yudi Latif, Yoshio berkomentar agar pendapat-pendapat yang muncul tetap disesuaikan dengan kebijakan pemerintah Jepang atas kemerdekaan Indonesia nantinya.
Pembentukan Panitia Sembilan
Namun, sidang itu tidak berjalan seperti yang diharapkan Jepang. Sebab Bung Karno membentuk "Panitia Sembilan" sebagai jalan keluar karena sampai akhir dari masa persidangan BPUPKI yang pertama, masih belum ditemukan titik temu kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik Indonesia.Bung Karno sendiri yang memimpin Panitia Sembilan dengan wakilnya Mohammad Hatta. Para anggotanya adalah Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo, Mohammad Yamin, Kiai Haji Abdul Wahid Hasji, Abdoel Kahar Moezakir, Raden Abikusno Tjokrosoejoso, Agus Salim dan Alexander Andries Maramis.Saat sidang itu, Sukarno mengundang tokoh-tokoh dari seluruh kepulauan. Dia sendiri yang memilih. Namun, menurut Sukarno, sidang itu kacau."Orang-orang terpelajar yang berfikiran sempit dari Jawa, para pedagang dari Sumatera, para penduduk di pulau-pulau perbatasan, masing-masing tidak memiliki dasar pemikiran yang sama," kata Sukarno saat itu.Sesudah melakukan perundingan yang cukup sulit antara 4 orang dari kaum kebangsaan dan 4 orang dari kaum keagamaan, pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan kembali bertemu dan menghasilkan rumusan dasar negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.Setelah itu sebagai ketua Panitia Sembilan, Sukarno melaporkan hasil kerja panitia kecil yang dipimpinnya kepada anggota BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan "Indonesia Merdeka" yang disebut dengan "Piagam Jakarta" itu.Rancangan itu diterima untuk selanjutnya dimatangkan dalam masa persidangan BPUPKI yang kedua, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli 1945.Di antara dua masa persidangan resmi BPUPKI itu, berlangsung pula persidangan tak resmi yang dihadiri 38 orang anggota BPUPKI. Persidangan tak resmi ini dipimpin sendiri oleh Bung Karno yang membahas mengenai rancangan "Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945", yang kemudian dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan BPUPKI yang kedua.Sepak terjang Sukarno inilah yang tak disukai oleh Ichibangase Yoshio. Menurut dia, kelahiran Piagam Jakarta ini dilakukan di luar prosedur yang ditetapkan oleh Jepang, sehingga Ichibangase Yoshio menyatakan bahwa kegiatan tersebut adalah suatu pelanggaran. Namun, saat itu Sukarno menyadari bahwa kegiatan itu melanggar prosedur, karenanya pada sidang BPUPK tanggal 10 Juli 1945 dia meminta maaf atas pelanggaran yang dilakukannya. Pada saat itulah Jepang merancang kemerdekaan Indonesia akan diberikan melalui dua tahap. Pertama, BPUPK didirikan dan kedua PPKI dibentuk. Menurut Sukarno, kedua tahap itu hanyalah akal-akalan Jepang untuk memperlambat kemerdekaan Indonesia. Namun, Jepang tidak dapat berbuat apa-apa karena Amerika telah menduduki Okinawa yang letaknya sangat dekat dengan Tokyo.Tapi pada 7 Agustus 1945, BPUPKI resmi bubar setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) didirikan pemerintahan Jepang. Pendirian PPKI itu bisa dianggap sebagai salah satu peran dari Ichibangase Yoshio sebagai Wakil Ketua BPUPK yang memimpin tujuh anggota istimewa/luar biasa berkebangsaan Jepang lainnya. Dalam buku karya Yudi Latif itu dikatakan, Ichibangase Yoshio mungkin memberi laporan yang membuat penguasa Jepang mengambil kebijakan agar PPKI dapat dibentuk sesuai rencana Jepang atas kemerdekaan Indonesia. Keberadaan PPKI dapat dikatakan sebagai dorongan tersendiri bagi kemerdekaan Indonesia pada masa itu. PPKI baru bisa bersidang setelah 17 Agustus 1945, yaitu pada tanggal 18-22 Agustus 1945.
Dari sejumlah sumber yang ditelusuri, identitas Ichibangase Yoshio tak dapat ditemukan. Bahkan dalam Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI Edisi III yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1995.
Advertisement