Liputan6.com, Jakarta - Membentang 4,9 kilometer dari Menteng, Jakarta Pusat, sampai Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Di kiri dan kanannya terletak perkantoran swasta, pemerintahan, atau kedutaan besar negara sahabat.
Jelas, sepenggal jalan yang penting untuk Jakarta. Nama jalan itu HR Rasuna Said.
Kita mulai cerita dari pujian Presiden Sukarno di hadapan lautan massa. Roro Daras dalam tulisannya menyebutkan, peristiwa itu terjadi di Bandung, pada 18 Maret 1958, saat Bung Karno datang ke kota tempat dia menimba ilmu semasa mudanya.
Advertisement
Hari itu, sang Proklamator datang untuk menyampaikan amanat pada suatu rapat akbar. Amanat itu masih seputar Pancasila. Banyak kota lain yang juga dikunjungi Bung Karno saat itu, untuk menyampaikan pidato dengan tema yang sama: Pancasila.
Dalam pidato tersebut, Bung Karno memberi judul amanatnya "Tidak Ada Kontra Revolusi Bisa Bertahan”. Nah, dalam kesempatan itu, HR Rasuna Said termasuk tokoh pejuang yang diundang, serta didaulat untuk menyampaikan orasi pembuka.
Kehadiran HR Rasuna Said saat itu, persisnya pada 18 Maret 1958, ternyata memiliki nilai historis dan politis. Kedatangan tokoh pergerakan kelahiran Maninjau, Agam, Sumatera Barat itu menjadi bernilai politis.
Saat itu, pemerintah pusat sedang diguncang gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Puncak gerakan PRRI terjadi pada 15 Februari 1958 melalui ultimatum Dewan Perjuangan PRRI di Padang, Sumatera Barat.
Terlebih, tokoh bangsa kelahiran 15 September 1910 ini telah dikenal luas sebagai pejuang kemerdekaan RI. Selain itu, ia juga tokoh emansipasi perempuan, sama seperti Kartini. Sejak muda, ia telah gigih berjuang.
Lantas moral apa yang hendak disampaikan Bung Karno dengan mengundang Rasuna Said, bahkan meminta berpidato terlebih dulu? Rupanya itulah siasat Bung Karno untuk 'membujuk' tokoh-tokoh lokal seperti Achmad Husein dan Sjafruddin Prawiranegara.
Dua pentolan itu disebut-sebut tengah berselisih dengan Bung Karno. Bung Karno meyakinkan kepada massa bahwa gerakan PRRI tidak akan berhasil, karena setiap gerakan kontra revolusi, pasti berujung pada kegagalan.
Bung Karno memuji HR Rasuna Said sebagai Srikandi Indonesia, atas kegigihannya berjuang menentang penjajahan. Bung Karno juga memuji ketangguhan mental Rasuna Said, meski sempat diringkus Belanda dan dijebloskan ke penjara.
Lebih dari itu, Rasuna Said berasal dari Sumatera Barat, yang tetap loyal kepada Sukarno, tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Tokoh pahlawan sekaliber HR Rasuna Said saja tetap mendukung, dan membantu jalannya revolusi, serta tegaknya Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945," puji Bung Karno untuk Rasuna Said.
Pemberani
Beberapa sumber menyebutkan, Rasuna Said muda adalah sosok yang pandai, cerdas, dan pemberani. Rasuna Said lahir pada 15 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Sang ayah, Muhamad Said, yang mantan aktivis pergerakan menurunkan darah juangnya kepada Rasuna Said. Usai mengenyam pendidikan sekolah dasar, Rasuna melanjutkan pendidikan di pesantren Ar-Rasyidiyah, meski saat itu dia satu-satunya santri perempuan.
Rasuna Said kemudian melanjutkan pendidikan di Diniyah Putri Padang Panjang, dan bertemu Rahmah El Yunusiyyah, tokoh gerakan Thawalib. Sebuah gerakan yang dibangun kaum reformis Islam di Sumatera Barat saat itu. Banyak pemimpin gerakan ini dipengaruhi pemikiran nasionalis-Islam Turki, Mustafa Kemal Ataturk.
Lahir dari keturunan saudagar Minangkabau, tidak lantas membuat Rasuna Said jumawa. Dia mulai memperjuangkan kaum perempuan Minang melalui jalur pendidikan dan berpolitik.
Kepedulian terhadap kemajuan dan pendidikan kaum perempuan, mendorong Rasuna Said mengajar di Diniyah Putri. Namun pada 1930, dia berhenti mengajar.
Rasuna Said berpandangan, kemajuan kaum perempuan tak hanya bisa diraih dengan mendirikan sekolah, tapi juga disertai perjuangan politik. Rasuna Said ingin memasukkan pendidikan politik dalam kurikulum sekolah Diniyah School Putri, tapi keinginannya ditolak.
Dia kemudian mendalami agama pada Haji Rasul atau Dr H Abdul Karim Amrullah. Dari keduanya, dia memetik pemahaman tentang pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan kebebasan berpikir. Pemikiran-pemikiran ini kemudian mempengaruhi pandangan Rasuna Said.
Pada 1930, Rasuna Said juga menentang poligami yang saat itu tengah menjadi polemik di tanah Minang, akibat meningkatnya angka kawin cerai. Dia menganggap, poligami merupakan pelecehan terhadap kaum wanita.
Menentang Kolonial
Meski keinginannya memasukkan pendidikan politik ke kurikulum sekolah Diniyah School Putri ditolak, tidak membuat Rasuna Said patah arang. Dia tetap melanjutkan perjuangan politiknya dengan bergabung di Sarekat Rakyat (SR) sebagai sekretaris cabang.
Rasuna Said juga bergabung dengan Soematra Thawalib dan mendirikan Persatoean Moeslimin Indonesia (Permi) di Bukittinggi pada 1930. Tak hanya itu, dia juga ikut mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan Permi dan mendirikan Sekolah Thawalib di Padang, serta memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi.
Rasuna Said yang mahir berpidato mulai lantang mengecam pemerintahan Belanda. Dia pun terkena hukuman speek delict, karena dianggap menentang pemerintahan kolonial. Dia menjadi perempuan pertama yang terkena hukuman tersebut pada masa itu.
Rasuna Said juga sempat ditangkap bersama teman seperjuangannya, Rasimah Ismail, dan dipenjara di Semarang, Jawa Tengah pada 1932. Setelah bebas dari penjara, dia meneruskan pendidikannya di Islamic College pimpinan KH Mochtar Jahja dan Dr Kusuma Atmaja.
Sang Jurnalis
Rasuna Said dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Pada 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah, Raya. Majalah ini dikenal radikal, bahkan tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumatera Barat.
Namun polisi rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan. Sedangkan tokoh-tokoh Permi yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna kecewa. Ia memilih pindah ke Medan, Sumatera Utara.
Pada 1937, di Medan, Rasuna mendirikan perguruan putri. Untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat majalah mingguan bernama Menara Poeteri. Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno, "Ini dadaku, mana dadamu".
Koran ini banyak berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran pergerakan, yaitu antikolonialisme, di tengah-tengah kaum perempuan.
Rasuna Said mengasuh rubrik "Pojok". Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon kabarnya merupakan nama sebuah bunga. Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang antikolonial.
Sebuah koran di Surabaya, Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Menara Poetri ini, "Di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional."
Tetapi, koran Menara Poetri tidak berumur panjang. Persoalannya, sebagian besar pelanggannya tidak membayar tagihan korannya. Konon, hanya 10 persen pembaca Menara Poetri yang membayar tagihan.
Karena itu, Menara Poetri pun ditutup. Pada saat itu, memang banyak majalah atau koran yang tutup karena persoalan pendanaan. Rasuna memilih pulang ke kampung halamannya.
Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.
Setelah kemerdekaan, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Ia diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir hayatnya, 2 November 1965 di Jakarta.
H.R. Rasuna Said meninggalkan seorang putri, Auda Zaschkya Duski dan enam cucu yakni Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh Ibrahim, Moh Yusuf, Rommel Abdillah, dan Natasha Quratul'Ain.
Rasuna Said kemudian diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 084/TK/Tahun 1974 pada 13 Desember 1974. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Di kawasan Kuningan, nama Rasuna Said abadi.
Advertisement