Liputan6.com, Jakarta Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menilai janggal atas vonis hukuman mati terhadap Yusman Telaumbanua. Vonis terhadap Yusman Telaumbanua ditengarai berjalan di atas sistem yang salah.
"Beracaranya saja sudah salah, ini sistemnya sudah salah. Dalam pengungkapannya, Yusman mendapat kekerasan dan dipaksa mengaku, padahal telah kami cek, pelaku sebenarnya masih buron," kata Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik Kontras, Putri Kanesia di Cikini, Jakarta, Minggu (26/2/2017).
Putri yang juga menjadi kuasa hukum Yusman menyebut, kesalahan peradilan ini terbukti dengan bebasnya Yusman dalam waktu enam bulan ke depan. "Kami mengajukan permohonan agar dia mendapatkan remisi saat 17 Agustus nanti," lanjut Puteri.
Advertisement
Yusman, remaja di bawah umur divonis mati pengadilan negeri Nias setelah menyaksikan pembunuhan berencana. Niat awalnya hanya menjual tokek. Namun takdir berkata lain.
Ia dan kakaknya menyaksikan pembunuhan sadis terhadap Kolimarinus Zega, Jimmi Trio Girsang dan Rugun Br Haloho pada Senin 17 Februari 2014. Dalam prosesnya, Yusman dan sang kakak itu kemudian dijadikan tersangka.
Mereka berdua disebut mendapat intimidasi berupa pukulan, hantaman dan siksaan sampai mengaku atas perbuatan yang sebenarnya tak pernah mereka lakukan. Hingga kini, kakak Yusman mengalami depresi berat.
"Dia (kakak Yusman) sering menangis tengah malam, berbicara sendiri dan tak mau ditemui siapapun, karena itu kami fokus ke Yusman dulu," jelas Putri.
Sementara itu, Koordinator KontraS, Yati Andriyani menyebut, momentum kasus Yusman seharusnya membuat pemerintah benar-benar sadar. Pasalnya, Yusman hanyalah puncak gunung es.
"Kasus serupa ini sangat banyak, tapi sayangnya Pak Tito (Kapolri) hanya mengurusi narasi besar saja, serupa Pilkada, sedangkan pembenahan terhadap Polri tak serius," kata Yati kepada Liputan6.com di Jakarta Pusat.
Yati menerangkan, hukuman mati di Indonesia tak punya substansi dan prosedur yang jelas. Kecacatan hukum ini sudah berlangsung sejak awal proses hukum di level paling bawah. "Dia masih di bawah umur, tapi hakim memaksakan hukuman mati," ujar dia.
Untuk membungkam kebenaran atas apa yang terjadi, Yusman dipukuli dan mengalami kekerasan fisik. Kejadian itu membuatnya trauma saat diperiksa. Bahkan dia tak didampingi kuasa hukum saat menjalani pemeriksaan.
"Dari fakta yang ada, kuasa hukumnya cuma menandatangani BAP lalu pergi, tak pernah ada pendampingan," terang Yati.
Karena pendampingan Kontras yang secara rutin, Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan kasasi kasus Yusman untuk ditinjau kembali dan ditangguhkan hukuman matinya.
Dari pendampingan Kontras, didapati bahwa Yusman sudah diperlakukan tak adil. Bahkan, pengacaranya malah meminta hukuman mati. "Sedangkan tuntutan jaksa saja hanya hukuman seumur hidup," lanjut Yati.
Yati, meminta Polri benar-benar menangani dan membenahi sistem dan penerapan pemberian bantuan hukum. Cenderung, para penyidik hanya menyediakan kuasa hukum sekenanya saja. Asal memenuhi persyaratan.
"Kekerasan saat pemeriksaan, kuasa hukum yang tak mengerti keadaan terduga, membuat fakta-fakta yang diadili di pengadilan adalah hasil dari penganiayaan pada terduga karena capek disiksa dan mengakui perbuatan yang sebenarnya tak ia lakukan," terang Yati.
Dengan adanya kebebasan terhadap Yusman. Yati, meminta sudah saatnya Polri berbenah diri. Dengan kemajuan teknologi saat ini, seharusnya sudah tak ada lagi laku pemeriksaan dengan kekerasan. Polri sudah saatnya menjadi penyidik cerdas yang mampu mengungkap kasus tanpa kekerasan.
"Pak Tito harusnya membenahi itu, sebab di pedalaman Indonesia, dengan pengetahuan yang tak memadai, sumber daya yang tak mendukung, mereka (polisi) melakukan kekerasan pada pelaku kejahatan agar mereka mengakuinya, praktik-praktik serupa ini terus berlanjut," ucap Yati.