Cerita Yusman, Bocah Pelosok Nias yang Divonis Mati Karena Tokek

Yusman dan kakak iparnya bernama Rusula Hia divonis mati dalam kasus pembunuhan berencana terhadap tiga orang.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 08 Okt 2016, 19:15 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2016, 19:15 WIB
Nafiysul Qodar/Liputan6.com
Sejak 2015, Kontras telah melakukan advokasi pada kasus Yusman (Nafiysul Qodar/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) terus menentang penerapan hukuman mati di Indonesia. Hukuman mati yang dimaksud untuk menghadirkan efek jera, dianggap tidak selaras dengan penegakan hukum yang adil dan tidak memihak.

Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik Kontras, Putri Kanesia mengungkapkan, beberapa terpidana mati justru terjebak dalam peradilan sesat. Seperti yang dialami Yusman Telambuana, bocah di bawah umur yang divonis mati terkait kasus pembunuhan berencana di Nias, Sumatera Utara.

"Yusman adalah korban rekayasa kasus dan penyiksaan oleh penegak hukum. Dia dipaksa menjalani proses hukum dengan unfair trial dan telah divonis mati pada 2013," ujar Putri dalam pertemuan jelang peringatan '14 Tahun Hari Anti-Hukuman Mati Sedunia', Jakarta, Sabtu (8/10/2016).

Putri menjelaskan, Yusman masih di bawah umur saat vonis mati dijatuhkan. Namun ia dipaksa mengakui bahwa dirinya sudah cukup umur dengan diiming-imingi akan mendapatkan hukuman ringan. Namun bujukan itu justru mengantarkannya ke regu tembak.

"Saat proses penyidikan berjalan, dia tidak didampingi penasihat hukum yang mumpuni. Dia juga tidak mendapatkan penerjemah. Dia ini orang pelosok, tidak bisa bahasa Indonesia, hanya tahu bahasa Nias," tutur dia.

Yusman juga dipaksa menandatangani BAP yang dia sendiri sebenarnya tidak mengerti karena tidak bisa membaca. Alih-alih membantu, penasihat hukum yang mendampingi justru mendorong agar Yusman divonis mati.

Advokasi Kontras

Sejak 2015, Kontras telah melakukan advokasi pada kasus Yusman. Dari upaya tersebut, Kontras menemukan bahwa ada bukti baru atau novum yang menunjukkan bahwa Yusman masih di bawah umur atau baru berusia 16 tahun saat dijatuhi vonis mati 2013 lalu.

"Novum ini didapat dari hasil pemeriksaan radiologi forensik dari tim dokter Gigi Universitas Padjajaran Bandung pada 2015, dan menunjukkan Yusman berusia sekitar 18,4 tahun. Ini menunjukkan, saat vonis dia masih sekitar 16 tahun," ucap Putri.

Melihat fakta itu, Kontras menilai bahwa majelis hakim PN Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara telah melanggar Pasal 81 angka 6 UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan bukti itu, maka Kontras pun mengajukan upaya peninjauan kembali (PK) atas vonis mati Yusman.

"Saat ini, berkas PK sudah dikirimkan ke Mahkamah Agung (MA) untuk diproses," tandas dia.

Yusman dan kakak iparnya bernama Rusula Hia divonis mati dalam kasus pembunuhan berencana terhadap tiga orang, yakni Kolimarinus Zega, Jimmi Trio Girsang, dan Rugun Halolo 2012 lalu.

Peristiwa bermula saat Jimmi yang merupakan bos Yusman hendak membeli tokek ke Rusula. Jimmi dan tiga rekannya kemudian berencana pergi ke rumah Rusula.

Rusula meminta tolong tetangganya yang merupakan tukang ojek untuk menjemput ketiga korban di alun-alun Kota Nias. Namun ketiga calon pembeli tokek itu tak kunjung datang.

Rusula dan Yusman kemudian menyusul. Bukannya diantar ke rumah Rusula, Jimmi Cs malah dibunuh dan dibakar oleh tukang ojek tersebut. Pembunuhan keji itu diketahui oleh Yusman dan Rusula.

Merasa ketakutan, keduanya pun kabur. Namun tindakan itu justru dianggap oleh aparat kepolisian bahwa Yusman dan Rusula terlibat dalam pembunuhan Jimmi Cs.

Keduanya berhasil dibekuk pada September 2012. Keduanya divonis bersalah dan dikenai hukuman mati pada 2013. Sementara pelaku sebenarnya tidak pernah diusut.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya