Liputan6.com, Jakarta - Niat hati Fatmawati ingin meminta saran mengenai pinangan seorang pemuda yang jatuh hati padanya kepada Sukarno, tetapi, tidak disangka, justru pria kelahiran Surabaya, 6 Juni 1901 itu yang menyatakan cinta kepada Fatmawati.
Fatmawati mendapat pinangan dari seorang pemuda. Ayahnya, Hassan Din, dan ibunya, Siti Chadijah, lalu menyarankan Fatmawati meminta nasihat dari Bung Karno bagaimana baiknya menghadapi lamaran itu. Bung Karno dianggap mengetahui sifat pemuda tersebut karena kenal baik dengan orangtuanya.
Namun, sebelum Fatmawati berangkat, Bung Karno sudah datang ke rumahnya untuk menyerahkan foto-foto pernikahan anggota keluarga yang berlangsung beberapa waktu sebelumnya. Fatmawati sendiri yang menyambut kedatangan Bung Karno.
Advertisement
Mereka di Bengkulu. Fatmawati memang tinggal di sana sejak kecil bersama keluarganya. Sementara, Bung Karno sedang menjalani pembuangan politik.
"Pak, Fat ingin minta pendapat Bapak serta pandangan Bapak tentang seorang pemuda yang ingin meminangku. Bagaimana kah sifat dan tingkah laku pemuda itu sehari-hari?" kata Fatmawati seperti terungkap dalam buku Fatmawati, Catatan Kecil bersama Bung Karno.
Mendengar perkataan Fatmawati itu, Sukarno terdiam dan menundukkan kepala di atas meja selama beberapa menit. Fatmawati yang bingung atas reaksi itu memberanikan diri bertanya, apakah Bung Karno sedang sakit.
Sukarno lalu mengangkat kepala, matanya berkaca-kaca. Dia lalu meminta Fatmawati mendengarkan perkataannya dengan saksama.
"Begini, Fat, sebenarnya aku sudah jatuh cinta padamu pertama kali aku bertemu denganmu, waktu kau ke rumahku dahulu pertama kali. Saat itu, kau terlalu muda untuk menerima pernyataan cintaku. Oleh sebab itu, aku tidak mau mengutarakannya. Nah, baru sekarang inilah aku menyatakan cinta padamu Fat."
Sukarno kemudian bertanya, "Apakah kau cinta padaku?".
Fatmawati yang heran, menjawab, "Bagaimana Fat cinta pada Bapak? Bukankah Bapak mempunyai anak dan istri?"
Sukarno mengatakan, selama 18 tahun menikah dengan Inggit Ganarsih, dirinya tidak memiliki keturunan. Istri pertamanya pun diceraikan dalam keadaan masih suci. Dia juga kerap ditanya oleh sang ibunda kapan diberi cucu lelaki, sedangkan kakak perempuannya telah mempunyai empat putra laki-laki.
"Aku dalam pembuangan. Hanya kau lah jadi penghiburku. Jika aku berada di Jakarta, dapat aku berunding dengan Moh Husni Thamrin atau Mr Sartono dan lain-lainnya. Siapa yang akan memiliki buku-buku yang kau lihat di kamarku itu? Aku ingin satu anak laki-laki, satu saja, kalaupun lebih, syukur alhamdulillah," kata Sukarno.
"Aku seorang pemimpin rakyat yang ingin memerdekakan bangsanya dari Belanda, tapi rasanya aku tak sanggup meneruskan jika kau tak menunggu dan mendampingi aku. Kau cahaya hidupku untuk meneruskan perjuangan yang maha hebat dan dahsyat," rayu Sukarno.
Pertemuan Pertama
Fatmawati lalu menceritakan pernyataan cinta Bung Karno kepada orangtuanya. Sang ayah, lalu memutuskan akan meminta nasihat dari para sesepuh. Dia sudah bulat tekad, akan menerima pinangan bila Sukarno bercerai baik-baik dengan Inggit Ganarsih. Fatmawati tidak menerima poligami dan tidak mau dimadu.
Keduanya pertama kali bertemu ketika keluarga Fatmawati menemui Sukarno yang diasingkan ke Bengkulu. Sukarno dan keluarganya sebelumnya diasingkan di Ende, Flores, hingga 1938.
Ketika itu, Sukarno diminta ayah Fatmawati, Hassan Din, yang juga Ketua Muhammadiyah di Bengkulu untuk mengajar di sekolahnya. Saat itu, usia Fatmawati lebih muda satu tahun dari anak angkatnya, Ratna Juami, yaitu 15 tahun.
Fatmawati sempat menumpang di rumah Sukarno di Bengkulu saat memasuki sekolah rumah tangga.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis Cindy Adam, Sukarno mengaku menyukai Fatmawati. Dia mengajarinya main bulu tangkis dan sering diskusi soal kehidupan, Tuhan, dan agama Islam. Dia menganggap Fatmawati sebagai murid, serta anak cantik yang menyenangkan.
Hubungan dan kasih sayang di antara keduanya tak lebih dari anak dan bapak, karena Fatmawati juga memanggil 'bapak' kepada Sukarno yang usianya 20 tahun lebih tua dari Fatmawati.
Namun, Inggit tidak melihat seperti itu. Suatu malam, Inggit berkata, "Aku merasakan ada api percintaan yang sedang menyala-nyala di rumah ini. Tak usah berbohong. Seseorang tidak bisa menutupi sorotan matanya yang bersinar-sinar bila berada di dekat orang yang dicintai."
Sukarno memintanya tidak cemburu karena Fatmawati sudah dianggap seperti anak sendiri.
Suasana di rumah tangga Sukarno menjadi tegang karena Inggit berpihak kepada yang berseberangan dengan Fatmawati.
Fatmawati lalu pindah ke rumah neneknya yang letaknya tidak jauh dari rumah Sukarno. Keduanya sering bertemu karena bibi Fatmawati menikah dengan keponakan Sukarno.
Fatmawati yang telah berumur 17 tahun dikabarkan akan dinikahkan. Kabar itu terdengar hingga ke telinga Sukarno. Dia menjadi gundah karena sang istri tak bisa memberikan keturunan.
"Di suatu pagi aku terbangun dengan keringat dingin. Aku menyadari aku mungkin akan segera kehilangan Fatmawati, padahal aku memerlukannya."
Sukarno yang telah mencintai Fatmawati, berusaha memadamkan gelora masa mudanya karena sangat menyayangi Inggit dan tidak ingin melukainya. Hubungan keduanya pun tegang karena Inggit tidak menerima kehadiran istri kedua.
Sukarno lalu meminta nasihat dari anak angkatnya Ratna Juami dan tunangannya kala itu untuk menikah lagi, dengan Fatmawati. Keduanya lalu mempertimbangkan keinginan Sukarno menikah lagi.
Sukarno dan Inggit kemudian bercerai secara baik-baik. Inggit diantarkan kembali ke Bandung.
Pada Juni 1943, Sukarno dan Fatmawati menikah dengan memakai wakil. Sebab, pada 1942, Sukarno yang diasingkan sejak 1938 di Bengkulu dibebaskan dan kembali ke Jakarta. Fatmawati tetap di Bengkulu.
Sukarno mengirim telegram kepada kawan akrab dan meminta mewakilinya. Dia menunjukkan telegram itu kepada orangtua Fatmawati dan disetujui.
"Dalam waktu beberapa minggu, Fatma berangkat ke Jakarta dan tinggal bersamaku."
Â
Advertisement