Tangis Pilu di Akhir Kisah Bayi Deborah

Henny merasa, apa yang dilakukan rumah sakit itulah yang membuat nyawa putrinya melayang.

oleh Nafiysul QodarLiputan6.com diperbarui 11 Sep 2017, 00:07 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2017, 00:07 WIB
Bayi (1)
Ilustrasi bayi. (Sumber Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Tangis dan haru begitu dirasakan oleh Henny Silalahi yang baru saja ditinggal pergi buah hatinya tercinta, Deborah Simanjorang, yang baru berusia empat bulan. 

Kepergian Deborah menimbulkan rasa kecewa dalam hati Henny terhadap pelayanan salah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Barat.  Henny merasa, apa yang dilakukan rumah sakit itulah yang membuat nyawa putrinya melayang.

Sudah empat hari Deborah meninggal dunia. Henny masih berusaha ikhlas melepas kepergian anak nomor empat yang amat ia cintai itu. Namun, di sisi lain, ia masih sakit hati mengingat peristiwa 3 September 2017 dini hari.

Sekitar pukul 03.00 WIB, dia bersama sang suami membawa Deborah yang mendadak sesak napas. Yang di pikirkannya saat itu sang anak harus segera mendapat pertolongan, tanpa tahu apakah rumah sakit itu menerima pelayanan BPJS Kesehatan atau tidak.

"Sampai di rumah sakit Mitra Keluarga. Karena ini keadaan yang emergency, anak saya dimasukkan ke UGD dan langsung ditangani dokter. Dokter kemudian mengatakan, anak saya harus dimasukkan ke ruang PICU (Perinatology Intensive Care Unit)," kata Henny kepada Health-Liputan6.com via sambungan telepon, Kamis, 7 September 2017.

Henny ikut saja, dan menyerahkan sepenuhnya penanganan anaknya ke pihak rumah sakit. Bagi Henny, dokter lebih tahu dan lebih mengerti tindakan terbaik untuk sang anak.

Ilustrasi bayi tewas (Istimewa)

Akan tetapi, Henny tersadar, biaya pelayanan PICU tidak murah. Satu malam saja, cukup menguras kantong. 

"Bagian administrasi bilang, untuk bisa masuk ke PICU harus DP Rp 19 juta dulu. Minimal 50 persen dulu, kira-kira Rp 11 juta," kata Henny.

Tak ada uang tunai sebanyak itu yang Henny dan suami pegang hari itu. Hanya ada uang Rp 7 juta, yang mana sudah terpakai Rp 2 juta untuk biaya administrasi, ambil darah, dan rentetan prosedur lainnya. Sisa uang Henny tinggal Rp 5 juta. 

Henny berusaha agar bagian administrasi mau menerima uang sebesar itu sebagai jaminan. Upaya dia sia-sia, lantaran ditolak. Pihak administrasi mau Henny menyetorkan uang seperti yang disebutkan di awal agar Deborah segera dimasukkan ke PICU.

"Saya sudah bersimpuh, dan berjanji akan mengasih kekurangan itu. Mereka tetap bilang enggak bisa. Saya bilang ke mereka, saya pasti bayar. Saya bekerja, kok, tidak mungkin tidak dibayar," kata Henny. 

Kali ini suara Henny berubah. Ia tak kuasa membendung sisa-sisa air mata yang sudah terbuang selama beberapa hari ini.

Sementara, sang suami pulang ke rumah mencari sisa-sisa uang agar terkumpul nominal yang bisa membawa Deborah masuk ke ruang PICU. 

Henny pun terus meyakinkan pihak rumah sakit. Namun, permintaannya tetap ditolak.

"Saya kemudian menghubungi beberapa teman, meminta tolong mereka mencarikan rumah sakit yang ada ruang PICU dan menerima pasien BPJS Kesehatan," kata Henny.

"Dapat, tapi pihak rumah sakit itu harus tahu kondisi anak saya sebelum dipindahkan," kata Henny menambahkan.

Namun, apa daya Henny yang tak kuasa menahan tangis melihat tubuh Deborah yang sudah terbujur kaku. Belum sempat mendapat perawatan yang memadai, nyawa bocah perempuan berumur empat bulan itu sudah melayang.

"Saya sedih. Saya mengangkat jenazah anak sendiri, sedangkan respons dokter hanya seperti itu. Ia cuma bilang turut berbelasungkawa, kemudian kembali duduk ke meja kerjanya," kata Henny lagi.

Tak sempat Terima Perawatan

Henny menyadari bahwa saat itu memang sudah takdir sang anak untuk hidup di dunia ini sebentar saja. Akan tetapi, Henny lebih ikhlas menerima kepergian Deborah andai hari itu sang anak mendapat pertolongan dan perawatan secepatnya yang memadai.

"Setidaknya, kalau anak saya meninggal setelah dimasukkan ke ruang PICU, saya agak lebih ikhlas dan bisa dengan lega mengatakan itu takdir. Tapi ini tidak. Anak saya meninggal masih di ruang UGD, lantaran pihak rumah sakit tidak mau menerima uang jaminan dari kami," kata Henny lagi.

Sesal Henny kian bertambah manakala pihak rumah sakit menawarkan ambulans untuk mengantar jenazah sang putri, dan menyebut itu adalah peraturan dari rumah sakit. 

"Giliran yang seperti itu mereka ingat bahwa itu peraturan. Mungkin ada uangnya, karena saya juga harus bayar itu," kata Henny.

Dia pun menolak. Ia lebih memilih memeluk erat jasad putri tercinta. Jasad bayinya itu hanya ia bawa ke rumahnya menggunakan sepeda motor.

Tak banyak yang ingin Henny harapkan dari pihak rumah sakit. Toh, nyawa sang anak tak bisa balik lagi. Ia hanya menginginkan kejadian serupa tidak menimpa Deborah-Deborah yang lain.

Cerita Henny ini pertama kali beredar dari akun Facebok Sanji Ono yang kemudian menjadi viral. Henny bahkan mengaku siap jika ternyata pihak rumah sakit melaporkan "curahan hati" dia karena dianggap mencemarkan nama baik.

"Saya hanya menceritakan yang sebenarnya terjadi. Saya hanya berharap, tidak ada lagi korban karena masalah-masalah seperti ini," ujar Henny.

Klarifikasi Rumah Sakit

Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres buka suara mengenai kasus Deborah Simanjorang, anak perempuan Henny Silalahi yang meninggal dunia pada Minggu, 3 September 2017, sebelum sempat dimasukkan ruang PICU.

Disebutkan sebelumnya, Henny Silalahi merasa apa yang dilakukan Mitra Keluarga Kalideres (yang menolak memasukkan Deborah ke dalam ruang PICU sebelum ada uang sebesar Rp 11 juta) yang membuat nyawa anak perempuan nomor empatnya itu melayang.

Dalam keterangan pers yang diterima Health Liputan6.com, Jumat, 8 September 2017, ada lima poin berupa klarifikasi juga fakta dari kejadian tersebut.

1. Pasien (Deborah Simanjorang yang terdaftar sebagai Tiara Deborah) berumur empat bulan, berat badan 3,2 kilogram datang ke IGD MItra Keluarga Kalideres pada 3 September 2017 pukul 03.40 WIB dalam keadaan tidak sadar dan kondisi tubuh tampak membiru.

Pasien dengan riwayat lahir premature memiliki riwayat penyakit jantung bawaan (PDA) dan keadaan gizi kurang baik.

Dalam pemeriksaan didapatkan napas berat dan banyak dahak, saturasi oksigen sangat rendah, nadi 60 kali per menit, suhu badan 39 derajat celcius.

Pasien segera dilakukan tindakan penyelamatan nyawa (life svaging) berupa penyedotan lendir, dipasang selang ke lambung dan intubasi (pasang selang napas), lalu dilakukan bagging atau pemompaan oksigen dengan menggunakan tangan melalui selang napas, infus, obat suntikan, dan diberikan pengencer dahak (nebulizer). Pemeriksaan laboratorium dan radiologi segera dilakukan.

Kondisi setelah dilakukan intubasi lebih baik, sianosis (kebiruan) berkurang, saturasi oksigen membaik, walaupun kondisi pasien masih sangat kritis. Dokter juga menjelaskan kondisi pasien kepada sang ibu. Kemudian dianjurkan untuk penanganan di ruang khusus ICU.

2. Ibu pasien mengurus di bagian administrasi, dan dijelaskan oleh petugas tentang biaya rawat inap ruang khusus ICU, tetapi ibu pasien menyatakan keberatan mengingat kondisi keuangan.

3. Ibu pasien kembali ke IGD, dokter IGD menanyakan kepesertaan BPJS kepada ibu pasien, dan ibu pasien menyatakan punya kartu BPJS. Dokter pun menawarkan kepada ibu pasien untuk dibantu merujuk ke RS yang bekerjasama dengan BPJS, demi memandang efisiensi dan efektivitas biaya perawatan pasien.

Ibu pasien setuju. Dokter pun membuat surat rujukan dan kemudian pihak RS berusaha menghubungi beberapa RS yang merupakan mitra BPJS. Dalam proses pencarian RS tersebut, baik keluarga pasien maupun pihak rumah sakit kesulitan mendapatkan tempat.

4. Pukul 09.15 WIB, keluarga mendapatkan tempat di salah satu rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Dokter rumah sakit tersebut menghubungi dokter Mitra Keluarga Kalideres untuk menanyakan kondisi Deborah. Sementara berkomunikasi antar dokter, perawat yang menjaga dan memonitoring pasien memberitahukan kepada dokter bahwa kondisi pasien tiba-tiba memburuk.

5. Dokter segera melakukan pertolongan pada pasien. Setelah melakukan resusitasi jantung paru selama 20 menit, segala upaya yang dilakukan tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien.

 

 

 

Polisi Turun Tangan

Polda Metro Jaya akan menyelidiki kasus kematian bayi Debora Simanjorang yang viral di media sosial.

Direktur Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Ade Deriyan mengatakan kendati belum ada pelaporan dari pihak keluarga, pihaknya akan tetap melakukan penyelidikan terhadap kasusu tersebut.   

"Krimsus Polda metro akan selidiki kasus meninggalnya bayi deborah meski tanpa ada laporan," ujar Ade dalam pesan singkat yang diterima Liputan6.com, Minggu (10/9/2017).

Ade menganggap tindakan Rumah Sakit Mitra Keluarga yang diduga mengabaikan keselamatan bayi Debora yang sedang kritis merupakan tindakan melanggar hukum yang tidak dibenarkan.

"Ini tindakan pidana. Karena tidak ada penanganan medis saat pasien dalam kondisi kritis. Itu yang menjadi bahan bagi kami dalam proses penyelidikan," ucap Ade.

Ade mengaku penyelidikan segera dilakukan dalam waktu dekat ini. Sebagai langkah awal, pihaknya akan segera mengumpulkan bukti-bukti dengan meminta keterangan dari orang tua bayi Debora dan memanggil pihak rumah sakit.

"Secepatnya kita lakukan penyelidikan. kita gali keterangan dari orang tua bayi Deborah, dan tetntu dari dokter dan pihak rumah sakit," kata dia.

Dinkes Panggil RS Mitra Keluarga

Sementara, pihak Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga akan segera memanggil pihak RS Mitra Keluarga terkait kasus kematian bayi Deborah.

"Kami lihat perlu pendalaman, karena beberapa hal (keterangan keluarga pasien dan RS) mungkin tidak sesuai," ujar Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto saat dikonfirmasi Liputan6.com, Jakarta, Sabtu (9/9/2017).

Dalam pertemuan tersebut, Dinkes DKI akan melibatkan perwakilan dari Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS), dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

"Sehingga kami bisa meluruskan mana kondisi yang benar, mana yang tidak benar. Karena ini masalah pengertian ya. Pasien memang memiliki BPJS, namun rumah sakit belum kerja sama dengab BPJS," tutur dia.

Dalam hal ini, Dinkes DKI akan memanggil manajemen dan penanggung jawab Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres. Tak terkecuali dokter dan perawat yang menangani, serta bagian administrasi yang melayani keluarga pasien.

Pihak Dinkes DKI juga berencana mendatangi rumah keluarga bayi Deborah. Namun pihaknya tidak memiliki niat untuk mempertemukan keluarga pasien dengan pihak Rumah Sakit Mitra Keluarga.

"Kami akan tanyakan, kami akan berikan pengertian, nggak tahu mana pihak yang salah. Tapi kami tidak akan mengkonfrontir, karena itu tidak menyelesaikan masalah," ucap Koesmedi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya