Liputan6.com, Jakarta - Pasukan Belanda meninggalkan Yogyakarta pada 25 Juni 1948. Pada masa itu, para prajurit kembali menjalani kehidupan seperti biasa, begitu pun Bung Tomo. Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo, mengungkapkan lika liku kehidupannya.
“Lapangan kerja tak ada. Berbondong-bondong orang mencari kerja, termasuk Mas Tom yang setiap hari keluar mencari pekerjaan,” tulis Sulistina, yang Liputan6.com kutip dari buku Bung Tomo, Suamiku, Minggu (12/11/2017).
Sulistina setiap hari menunggu Bung Tomo pulang dengan kabar gembira. Ia berharap suaminya segera mendapat pekerjaan. Akan tetapi, Bung Tomo berkata lain.
Advertisement
“Seharian aku berdiri bersender tembok di kantor Sri Sultan. Baru tengah hari aku diterima beliau, dan dengan menyesal beliau berkata tak ada lowongan untukku!” ujar Bung Tomo, seperti ditulis Sulistina dalam bukunya.
Sulistina sangat prihatin terhadap nasib para pejuang. Banyak mantan pejuang yang tidak berkesempatan memperoleh pekerjaan. Bung Tomo pun juga geram.
“Dengar ya, mulai detik ini aku tak mau meminta-minta jadi pegawai! Tahu tidak, yang menentukan republik ini merdeka bukan karena diplomasi saja, tetapi juga ini,” Bung Tomo mengajungkan jarinya seakan jari itu adalah senjata.
Bung Tomo kemudian pindah rumah dan membuka kursus jurnalistik. Meski sedang dalam kesusahan, Bung Tomo menggratiskan kursus tersebut sehingga muridnya banyak.
“Seakan-akan ia lupa bahwa masa perjuangan telah selesai dan ia harus memikirkan anak istri. Pernah sehari kita hanya makan bubur sumsum sebungkus,” tulis Sulistina.
Saksikan video pilihan berikut:
Menjadi Wakil Direktur
Dari Yogyakarta, Bung Tomo dan keluarga pindah ke Madiun. Mereka tinggal di paviliun Wali Kota Madiun, Munajad. Kehidupan keluarga Bung Tomo menjadi lebih baik. Ia juga mendapat mobil untuk bolak-balik Madiun-Yogyakarta.
Suatu hari, Bung Tomo ditawari usaha kerja sama konsesi hutan, tapi ia menolak. Akan tetapi, tawaran itu datang lagi, Sulistina mendorong Bung Tomo agar menerima tawaran itu.
“Aku membayangkan dengan konsesi hutan itu akan banyak yang dilakukan oleh Mas Tom, sehingga keinginannya menolong orang lain bisa terpenuhi,” jelas Sulistina.
Dalam usaha ini, Bung Tomo memiliki partner orang Korea. Meski sama-sama tak punya modal, orang Korea itu ulet mencari kerja sama di Korea. Bung Tomo dan istri pun diundang ke Korea dan dilayani dengan sangat baik.
“Kemudian kami menyadari bahwa kebaikan itu ada buntutnya. Ya, bagai pepatah kami ini ikan yang sudah terkena pancing. Dan pasti ikannya akan dilahap juga,” tulis Sulistina.
Pekerja-pekerja yang didatangkan dari korea ternyata tidak memiliki kemampuan yang mumpuni. Padahal, gaji mereka lebih besar dari para pekerja Indonesia. Selain itu, ungkap Sulistina, makan pekerja Korea juga ditanggung perusahaan. Bahkan, mereka hanya pekerja biasa dan meminta diajari pekerja Indonesia yang sudah berpengalaman di konsesi hutan.
“Mas Tom mengakui bahwa ini adalah kesalahan orang Indonesia sendiri. Mau-maunya percaya saja apa yang mereka katakan,” tutur Sulistina.
Meski demikian, Sulistina menganggap hal itu sudah telanjur terjadi. Bung Tomo kemudian menjadi Wakil Direktur dalam usaha kerja sama Indonesia-Korea itu.
“Tadinya mereka bilang agar Mas Tom di rumah saja ongkang-ongkang terima gaji. Tetapi Mas Tom tidak mau menerima gaji buta. Ia harus tahu dan belajar dari mereka, tetapi justru ini yang disembunyikan dari mas Tom,” ungkap Sulistina.
Patner kerja sama Bung Tomo pun semakin curang. Hingga akhirnya Bung Tomo tidak melanjutkan kontrak. Ia mengalihkan perusahaan itu menjadi perusahaan kayu lapis. Namun, usaha itu ternyata tidak mudah.
“Mungkin kami memang tidak ditakdirkan menjadi konglomerat,” tulis Sulistina. (Andri Setiawan)
Advertisement