Liputan6.com, Jakarta - Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardhani mengakui, persoalan radikalisme mulai meningkat sejak 10 tahun lalu. Tidak hanya di institusi pemerintah tapi juga swasta.
"Termasuk di bidang pendidikan. Semua membuktikan ancaman radikalisme ini nyata," kata Jaleswari, dalam diskusi 'Menangkal Radikalisme, Menjaga Indonesia' yang digagas Partai Nasdem, Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Menurutnya, selama 10 tahun terakhir ini alarm radikalisme di Indonesia sudah berbunyi. Termasuk ketika Pemilu. Karena itulah, di periode kedua pemerintahan Jokowi akan memprioritaskan pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berlandaskan Pancasila.
Advertisement
"Alarm kita sudah berbunyi. Saat ini pun pembangunan jokowi 5 tahun kedepan adalah SDM yang berlandaskan Pancasila," ujarnya.
Mantan Asops Panglima TNI Mayor Jenderal (purn) Supiadin Aries Saputra menjelaskan, radikalisme sudah ada sejak lama di Indonesia. Dirinya pun mencontohkan bagaimana ketika ada pemberontakan DI TII maupun NII pada masa awal kemerdekaan.
"Tadinya gerakan radikalisme adalah gerakan tradisional. Namun dengan berkembangnya media sosial, maka gerakan radikal juga ikut berkembang," kata Anggota DPR RI Periode 2014-2019 itu.
Menurutnya, sampai dengan saat ini ada sekitar 120 juta pengguna sosial di Indonesia. Dari jumlah itu, sebagian besar atau mayoritas datang dari kaum milenial.
"Media sosial menjadi media untuk kelompok radikal untuk menghancurkan moral generasi milenial. Kita kenal dengan asimetrik warfare, perang anomali, ujung tombaknya proxy war, yakni perang yang tidak menggunakan angkatan perang," ucapnya.
Dirinya mengingatkan, yang paling mungkin menghancurkan bangsa Indonesia justru adalah warga bangsanya sendiri. Kalau dilihat dari indeks pengukuran ketahanan nasional laboratorium Lembaga Ketahanan Nasional diketahui, di bidang ideologi dan sosial budaya nilai atau indeks berada di posisi 2, atau tidak tangguh.
"Yang nilainya tidak tangguh yakni indeks 2 adalah di bidang ideologi. Di bidang sosial budaya juga rendah. Tingkat pendidikan rendah dan ini yang menyebabkan mudahnya penyebaran informasi menyesatkan di Medsos," ungkapnya.