Liputan6.com, Jakarta Hari Bahasa Ibu Internasional jatuh pada hari ini, Rabu 21 Februari. Hal ini mengingatkan kita pada potensi bahasa-bahasa daerah yang menjadi bahasa pertama dalam keluarga. Bahasa ibu menjadi landasan pertama seorang anak memperoleh kemahiran berbahasa, sebelum dia mengenal bahasa kedua dan bahkan bahasa ketiga.
Liliana Muliastuti, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, menyebutkan pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses yang sangat panjang, yakni sejak anak belum mengenal sebuah bahasa sampai fasih berbahasa.
Advertisement
"Setelah bahasa ibu diperoleh maka pada usia tertentu anak bisa mulai mempelajari bahasa lain atau bahasa kedua (B2). Bahasa kedua itu pun akan melengkapi khazanah pengetahuan yang dimilikinya,” ujar Liliana, Selasa (20/2/2018).
Potensi bahasa daerah sebagai bahasa ibu bagi sebagian besar masyarakat Indonesia disadari betul oleh Badan Bahasa, yang sudah melakukan pemetaan bahasa pada 2016. Badan Bahasa telah mengindentifikasi bahwa Indonesia memiliki 646 bahasa daerah. Dari jumlah tersebut, baru 67 yang dicek vitalitas (daya hidup) bahasanya. Namun, mereka memperkirakan Indonesia setidaknya memiliki sekitar 700 bahasa daerah.
Bahasa Betawi sebagai Bahasa Ibu
Bahasa Melayu diproklamirkan menjadi bahasa nasional lantaran sejarahnya sebagai lingua franca. Sebagai bahasa standar, bahasa Melayu disebarkan melalui bahasa pelabuhan serta sudah sejak lama dipakai oleh kelompok-kelompok bangsa Indonesia di Jakarta, untuk menjadi alat berkomunikasi di antara mereka dengan para penduduk asing.
Namun di pertengahan abad ke-19, keturunan macam-macam kelompok bangsa Indonesia di Jakarta telah kehilangan identitasnya dan menjadi suku baru, yang disebut Betawi. Adapun bahasa suku ini adalah bahasa Betawi—yang kadang juga disebut bahasa Melayu dialek Jakarta.
Kay Ikranegara dalam Tata Bahasa Melayu Betawi (1988) menyebutkan, bahasa Betawi bukan merupakan bahasa kalangan atas, bukan pula bahasa standar daerah. Sebab, pada masa itu bahasa yang hidup di sekeliling kota adalah bahasa Sunda.
Bahasa Betawi lantas berkembang luas serta mempengaruhi bahasa Indonesia. Persebarannya mulai dari media massa melalui istilah-istilah yang berhamburan di koran maupun majalah, radio dengan saluran khusus Bens Radio, serta pertunjukan semacam lenong dan musik seperti gambang kromong.
Bahkan, bahasa Betawi menjadi penyumbang kosakata ketiga terbesar dari bahasa daerah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), setelah bahasa Jawa dan Minangkabau. Menurut Badan Bahasa (2017), bahasa Betawi menyumbang sekitar 490 lema dalam KBBI.
Meski demikian, ada perbedaan logat yang disebabkan oleh perbedaan geografis. Secara umum, bahasa orang Betawi di Tanah Abang berbeda dengan bahasa Betawi di Pasar Minggu, beda lagi dengan di Bekasi.
Yahya Andi Saputra, budayawan Betawi, menyebut ada kosakata bahasa Betawi di Bekasi yang bahkan karena berbeda geografi, tidak dimengerti oleh orang-orang Betawi di wilayah Bekasi lainnya.
Advertisement
Tantangan Bahasa Betawi
Secara umum, bahasa Betawi dikategorikan sebagai bahasa yang berstatus aman. Yahya Andi Saputra menyebut, pada 2015 bersama Badan Bahasa, dia telah melakukan lokakarya di Setu Babakan dan Condet di Jakarta, serta Kukusan di Depok, Jawa Barat.
"Pada waktu itu ada sekitar puluhan keluarga yang dikumpulkan. Ketika misalnya disuruh menyebut nama-nama perabotan dalam bahasa Betawi, istilah kekerabatan, hingga umpatan, rata-rata semua masih bisa,” ucapnya.
Namun, dia mengakui tantangan lainnya adalah soal kawin campur di kalangan masyarakat Betawi yang sangat tinggi. "Karena kawin campur ini, banyak generasi muda yang akhirnya tidak mengenal lagi kosakata bahasa Betawi, karena dia sudah berbahasa Jakarta," ujarnya.
Bahasa Jakarta secara umum diartikan sebagai bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang mukim di Jakarta, sementara Betawi lebih luas karena di luar wilayah geografis Jakarta, termasuk orang-orang Betawi yang bermukim di Bogor, Depok, maupun Bekasi.
Yahya mengatakan, pelestarian dan transmisi bahasa Betawi ke generasi penerus ini harus dipikirkan oleh pemangku kepentingan. “Jangan disuruh ke orang Betawinya sendiri,” kata dia menegaskan.