Fredrich Yunadi Sebut Vonis untuk Dirinya Sebagai Hari Kematian Advokat

Ia berdalih bahwa advokat tidak bisa dituntut saat melakukan pembelaan terhadap kliennya.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jun 2018, 21:19 WIB
Diterbitkan 28 Jun 2018, 21:19 WIB
Mantan Pengacara Setya Novanto divonis 7 tahun Penjara
Terdakwa merintangi penyidikan KPK pada kasus korupsi e-KTP, Fredrich Yunadi bersama penasehat hukumnya usai sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (28/6). Atas putusan, terdakwa langsung menyatakan banding. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Vonis tujuh tahun penjara dari Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dianggap Fredrich Yunadi sebagai hari terburuk sepanjang sejarah advokat. Ia mengatakan vonis tersebut sama dengan hari kematian bagi profesi advokat.

Fredrich menilai, majelis hakim serta jaksa penuntut umum pada KPK memberi ancaman bagi seluruh advokat yang mendampingi tersangka ataupun terdakwa tindak pidana korupsi dengan menerapkan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ia berdalih bahwa advokat tidak bisa dituntut saat melakukan pembelaan terhadap kliennya. Sementara Pasal 21 UU Tipikor mengatur tentang siapa pun yang merintangi penyidikan kasus korupsi akan dipidana.

"28 Juni adalah hari kematian advokat karena dengan cara begini siapa pun yang memperjuangkan kliennya akan dijerat Pasal 21. Apalagi hakim menggunakan pertimbangan jaksa yang tidak mendukung program pembasmian korupsi," ujar Fredrich usai persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/6/2018).

Mantan kuasa hukum Setya Novanto itu bahkan menyamakan vonisnya tersebut seperti peristiwa pembantaian pada 30 September 1965 atau dikenal dengan Gerakan 30 September (G30-S/PKI). Fredrich merasa profesi advokat dibantai dengan sesama profesi penegak hukum.

"Peran advokat sudah hancur, kita sudah diinjak habis dari penegak hukum lainnya, ini istilahnya G30-S," ucap Fredrich.

Diketahui, majelis hakim memvonis Fredrich atas tindakannya dengan sengaja merintangi penyidikan korupsi proyek e-KTP dengan hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Sementara dalam tuntutan jaksa penunut umum, Fredrich Yunadi dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 600 juta.

Ia dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana merintangi penyidikan yang telah diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Meski vonis majelis hakim lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa, Fredrich Yunadi langsung menyatakan banding. Dia bahkan tidak berkomunikasi terlebih dahulu dengan tim kuasa hukumnya dalam mengambil langkah banding.

 

Reporter: Yunita Amalia

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya