Liputan6.com, Jakarta - Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang eks napi korupsi maju sebagai calon legislatif (caleg), tengah digugat ke Mahkamah Agung. Penggugat menunggu-nunggu kapan MA mulai menyidangkan perkara tersebut.
Juru Bicara MA, Suhadi mengatakan, berkas gugatan aturan yang melarang eks napi korupsi nyaleg itu masih berada di Kamar Tata Usaha Negara (TUN).
Berdasar tahapan sidang MA, ketika berkas telah berada di Kamar TUN, ketua kamar menentukan majelis hakim agung yang akan memeriksa perkara tersebut. Majelis hakim ini bakal memeriksa perkara dengan tenggat maksimal selama 90 hari untuk seterusnya diputus.
Advertisement
"Manajemennya sekarang sudah di kamar TUN," ucap Suhadi saat dikonfirmasi, Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Namun, dia belum memastikan kapan sidang gugatan larangan eks napi korupsi nyaleg itu dimulai. Menurut dia, otoritas soal mulainya sidang, ada di tangan majelis hakim.
"Itu otoritas majelis, saya kurang paham," ungkap Suhadi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tunggu MK
Seperti diberitakan, ada enam pemohon yang menggugat PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mantan narapidana korupsi, asusila, narkoba berpartisipasi dalam Pileg. Adapun yang menggungat yaitu, M Taufik, Waode Nurhayati, Djekmon Ambisi, Jumanto, Mansyur Abu Nawas, dan Abdul Ghani. Keenam orang itu mengajukan gugatan dengan pihak termohon Ketua KPU Arief Budiman.
Namun, belum ada kepastian tentang sidang gugatan itu.
Kepala Biro Humas MA, Abdullah menjelaskan, pihaknya masih menunggu putusan uji materi Undang-Undang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), baik pasal tentang ambang batas pengajuan Presiden, Parlemen, dan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Meski secara konteks gugatan PKPU ke MA berbeda dengan undang-undang yang sedang diuji di MK, Abdullah mengatakan hal itu sudah menjadi prinsip.
"Sementara ini istilahnya belum bisa diteruskan masih di kepaniteraan masih menunggu putusan MK. Prinsipnya kalau undang-undang masih 1 pasal belum diputuskan berarti undang-undang yang disini masih kurang 1 pasal. Sama seperti Rp 1.000 kurang Rp 1 tetap tidak bisa dikatakan Rp 1.000," ujar Abdullah.
Advertisement