Liputan6.com, Jakarta - Awalnya orang mengira, Tambora adalah gunung purba. Ia sudah lama mati.
Meski penduduk di sekitarnya merasa sesuatu sedang bergemuruh, tak ada yang menyangka malapetaka segera datang. Dan pada 5 April 1815, dentuman keras menggelegar. Manusia yang mendengarnya sempat salah sangka.
Kala itu, Kapal Benares, milik perusahaan Inggris East India Company berlabuh di Makassar. Sang komandan menduga, suara tersebut adalah rentetan ledakan bubuk mesiu dalam jumlah besar yang ditembakkan dari senjata meriam.
Advertisement
Baca Juga
Dengan asumsi ada bajak laut, sang nakhoda memutuskan angkat sauh. Selama tiga hari, Benares menyisir pulau-pulau di dekatnya, mencari jejak para lanun. Namun, tak ada apapun ditemukan.
Sementara itu di Ternate. Warga Inggris yang ada di sana mendengar bunyi tembakan meriam besar. Kapal Teignmouth, yang dikirim untuk mengusutnya, pulang dengan tangan kosong.
Komandan militer di Yogyakarta sontak menyiagakan pasukannya. Ia khawatir musuh sedang menyerang desa tetangga. Di wilayah pesisir, aparat menafsirkan itu adalah sinyal dari kapal yang mengalami masalah di tengah laut. Kapal penyelamat dikirim untuk mencari para penyintas yang ternyata tak ada.Â
Bunyi misterius itu juga sampai ke telinga Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di Jawa. Ia mengasumsikan, itu adalah suara tembakan meriam.
"Suara tersebut terasa sangat dekat, bahkan di sejumlah distrik seakan di depan mata. Umumnya, itu dikaitkan dengan erupsi Merapi, Kelut, atau Bromo," tulis Raffles dalam buku The Year without Summer, karya William K. Klingaman dan Nicholas P. Klingaman, seperti dikutip dari situs Scientific American.
Saat awan abu melayang di atas Jawa, sinar matahari memudar, udara panas dan lembab bikin sesak, segala sesuatu terlihat beku. Hening yang tak wajar. "Mirip pertanda gempa," tulis Raffles.
Namun, beberapa kali kemudian, bunyi ledakan mereda. Hujan abu masih mengguyur, namun tak lagi deras dan pekat. Raffles kembali hanyut dalam tugas-tugas rutinnya.
Ternyata, itu baru permulaan...
Pada 10 April 1815, sekitar pukul 22.00, Gunung Tambora kembali erupsi. Kali itu jauh lebih dahsyat. Tiga kolom lava yang berkobar ditembakkan ke udara.
Seluruh bagian gunung setinggi 4.300 meter itu ditutupi lava pijar, abu yang muncrat, air yang menggelegak, dan batuan panas terlontar liar ke segala arah.
Batu-batu apung panas, seukuran kelereng hingga dua kali lipat kepalan tangan orang dewasa, menghujani Desa Sanggar yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Tambora.
Dalam satu jam, abu dan debu dalam jumlah masif terlempar hingga atmosfer Bumi. Kegelapan menyelubungi puncak gunung, yang sedang berkobar, dari pandangan manusia.
Tatkala awan abu menebal, lava panas yang tumpah ke lereng gunung memanaskan udara di atasnya. Hingga ribuan derajat Celcius. Udara panas dengan cepat naik, meninggalkan ruang hampa yang memungkinkan terciptanya angin puyuh yang kemudian menumbangkan pepohonan, meratakan rumah-rumah, menyapu manusia, ternak, dan kuda.
Hampir setiap rumah di Sanggar binasa. Desa Tambora, yang lebih dekat, lenyap di bawah timbunan batu apung yang masih membara. Lava dalam jumlah besar tumpah ke laut, memicu tsunami setinggi hampir 4,5 meter, yang menerjang apapun yang ada dalam jangkauannya.
Ledakan hebat dari reaksi lahar dengan air laut yang dingin melemparkan abu dalam jumlah yang lebih besar ke atmosfer. Ladang batu serpihan apung tercipta di sepanjang garis pantai yang mengganggu lalu lintas kapal selama beberapa tahun kemudian.
Kapal Inggris Fairlie menjumpainya di Samudra Hindia Selatan pada Oktober 1815, yang jauhnya lebih dari 3.218 km. Para awak sempat mengiranya sebagai rumput laut.
Bunyi rentetan meriam yang lebih dahsyat terdengar saat Tambora erupsi untuk kali keduanya.
Di Fort Marlborough atau Bengkulu, para tetua desa menyimpulkan asal muasalnya adalah dari alam gaib. "Disimpulkan bahwa asalnya adalah tarung antar-jin...," demikian dilaporkan aparat yang ada di sana.
Sementara, di Gresik, warga di sana menduga, ledakan itu adalah 'artileri supernatural' milik Ratu Pantai Selatan atau Nyi Roro Kidul, yang dilepaskan untuk merayakan pernikahan salah satu anaknya.Â
Mereka tak sadar, malapetaka sedang menimpa di kaki Gunung Tambora.
Â
Malapetaka di Kaki Tambora
Sekitar 24 jam setelah erupsi Tambora, sebaran awan abu meliputi area seluas Australia. Suhu udara anjlok. Abu mengubur desa-desa di sekitar Tambora, bahkan hingga Jawa dan Sumatera.
Timbunan abu merusak panen warga. Juga membunuh hewan-hewan liar. Ribuan ikan ditemukan mati mengambang di kolam maupun danau. Burung-burung kaku bergeletakan di tanah.
Menurut para ahli geologi, kekuatan erupsi Tambora mencapai Level VII Volcanic Explosivity Index (VEI), atau 10 kali lipat dari letusan Gunung Krakatau 1883. Itu juga merupakan letusan paling mematikan yang tercatat dalam sejarah.
Ketika aktivitas Tambora mereda, Raffles memerintahkan bawahannya untuk mensurvei dampak kerusakan yang ditimbulkan.
Laporan yang datang kemudian mengungkap gambaran mengerikan.
Sebelum erupsi, lebih dari 12.000 penduduk tinggal di kaki Tambora. Dan kebanyakan dari mereka sama sekali tak punya peluang untuk lolos dari maut. Nyaris semuanya tewas dalam 24 jam pertama erupsi, oleh awan panas dan abu yang membara. Kurang dari 100 orang yang ditemukan bernyawa.
"Pepohonan dan semak di semua sisi utara dan barat semenanjung hancur sama sekali," lapor seorang pejabat Inggris. Di lokasi lain, ternak dan tanaman mati. Penduduk yang selamat dalam kondisi kelaparan yang mengenaskan.
"Satu desa tenggelam. Lokasi di mana ia pernah berada ditutupi air sedalam tiga depa."
Raja Sanggar mengaku, seluruh wilayahnya rusak parah. Panen hancur. Warga yang bertahan mengandalkan kelapa untuk bertahan hidup. Namun, jumlahnya tak memadai untuk mengganjal perut yang lapar.Â
Hujan deras pada 17 April 1815 membuat udara lebih bersih dan dingin -- dan mungkin menyelamatkan banyak nyawa di pulau-pulau yang lebih jauh.
Air hujan menyapu abu yang menempel di tanaman, menyediakan air minum untuk membantu membendung pagebluk demam yang baru saja mewabah.
Namun, untuk mereka yang tinggal di dekat Tambora, itu adalah malapetaka.
Selama bulan berikutnya, ribuan lainnya tewas. Beberapa karena infeksi pernafasan yang parah akibat abu yang tersisa di atmosfer. Lainnya tak mampu bertahan dari diare akibat air minum yang terkontaminasi asam dari abu. Sementara itu, kelaparan kian merajarela.
Letnan Owen Phillips, yang diperintahkan Raffles untuk memantau situasi dan membawa suplai beras untuk para penyintas, tiba di Bima, Nusa Tenggara Barat beberapa pekan setelah erupsi.
Sejumlah jasad manusia masih terbaring di sisi jalan. Lainnya telah dimakamkan dalam kondisi seadanya. Desa-desa kosong melompong, rumah-rumah rata dengan tanah, mereka yang selamat terpencar mencari apapun yang bisa dimakan.
"Di desa terdekat, Dompo, warga mengonsumsi batang pohon pepaya atau pisang. Bahkan Raja Sanggar kehilangan salah satu putrinya yang tewas karena kelaparan," lapor Letnan Phillips.
Sekitar 70.000 - 80.000 orang meninggal karena kelaparan atau penyakit yang disebabkan oleh letusan Tambora. Korban jiwa total hampir mencapai 90.000 manusia. Itu hanya di wilayah yang kini bernama di Indonesia.
Belakangan diketahui, nestapa akibat erupsi dahsyat Tambora melintas samudera dan benua. Memicu korban jauh lebih banyak dan bahkan mengubah laku sejarah dunia...
Advertisement
'Pertanda Kiamat' di Eropa
Abu dan panas sulfur dioksida yang disemburkan Gunung Tambora melubangi atmosfer. Partikelnya yang luar biasa halus kemudian menetap di stratosfer selama bertahun-tahun.
Menjelang musim dingin 1815–1816, selubung abu yang hampir tak terlihat itu menutupi dunia, memantulkan sinar matahari yang mencoba menerobos, mempertahankan suhu dingin, dan mendatangkan malapetaka pada pola cuaca dunia.
Suhu rata-rata global merosot 2 derajat Celcius atau sekitar 3 derajat Fahrenheit. Akibatnya tak terbayangkan. Pada 1816, tak ada musim panas di Eropa.
Mendung menggantung di langit. Tak ada sinar matahari. Benua biru diselimuti suasana suram. Panen gagal, orang-orang lapar.Â
"Bahan makanan berkurang, orang-orang terpaksa makan kucing dan tikus. Warga Eropa dan sisi timur Amerika Utara mengalami kesulitan tak terbayangkan," kata Stephen Self, profesor ilmu bumi dan planet di University of California, Berkeley, seperti dimuat situs Imperial Valley News.
Orang-orang mengira, kiamat akan segera terjadi. Kepanikan tak terkendali. "Seorang gadis membangunkan bibinya dan berteriak, 'dunia akan segera berakhir'. Sang bibi yang terkejut, kena serangan jantung, lalu koma."
Sementara di Ghent, pasukan kavaleri yang melintas saat badai, meniup terompet mereka, tanpa diduga, dua pertiga penduduk turun ke jalan, berlutut. Mereka mengira telah mendengar sangkakala pertanda kiamat," demikian digambarkan London Chronicle.
Demikian pula di Yunan, Daratan Tiongkok, orang-orang terpaksa memakan tanah liat, karena cuaca yang buruk menggagalkan panen padi.
Penyair Li Yuyang dalam puisinya mengisahkan tentang rumah-rumah yang tersapu banjir. Para orangtua terpaksa menjual anak-anak mereka, ditukar dengan sekantung gandum. Suami menyaksikan istri dan buah hatinya mati perlahan akibat kelaparan.
Tambora bahkan mengubah peta sejarah, 18 Juni 1815, cuaca buruk yang diakibatkan Tambora konon ikut membuat Napoleon Bonaparte kalah perang di Waterloo. Itu adalah hari terpedih dalam sejarah gilang-gemilang Sang Kaisar Prancis.
Di sisi lain, kegelapan yang menyelimuti Bumi menginspirasi novel-novel misteri legendaris misalnya, 'Darkness' atau 'Kegelapan' karya Lord Byron, 'The Vampir' atau 'Vampir' karya Dr John Palidori dan novel 'Frankenstein' karya Mary Shelley.
Â
Juga sepeda. Kelaparan dan kurangnya pasokan pangan membuat orang tak mampu menyediakan pakan bagi kuda-kuda tunggangan yang satu-persatu mati karena kurang makan.
Bencana akibat erupsi Tambora menginspirasi pejabat kehutanan Jerman, Karl von Drais menemukan 'kuda-kudaan' -- yang disusun dari dua roda, tanpa pedal, yang jadi cikal-bakal sepeda genjot saat ini.