Kala Letusan Dahsyat Tambora Disangka Meriam Nyi Roro Kidul

Dentuman keras Tambora menerbitkan salah sangka bangsa Inggris dan pribumi yang lugu.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 18 Sep 2016, 20:55 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2016, 20:55 WIB
Frankenstein (4)
Gunung Tambora pernah meletus luar biasa pada abad 19 sehingga atmosfer bumi tidak tertembus cahaya matahari. (Sumber earthscope.org)

Liputan6.com, Jakarta - Hari itu, 5 April 1815, suara ledakan terdengar keras. Asalnya dari letusan pertama Gunung Tambora yang memuntahkan lava dan awan abu dengan ketinggian lebih dari 30 meter.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Thomas Stamfford Raffles kala itu berada di Batavia, 1.287 kilometer jauhnya dari Tambora. Ia mengira suara itu berasal dari ledakan meriam.

Dan, bukan dia seorang yang salah sangka.

Sementara itu di Yogyakarta, komandan pasukan Inggris langsung mengerahkan pasukan. Ia mengira pihak lawan -- Belanda atau Prancis -- sedang melancarkan serangan.

Para pejabat yang berada di wilayah pesisir menduga, itu adalah sinyal dari kapal yang menemui masalah di tengah laut. Mereka pun memberangkatkan kapal penyelamat untuk mencari korban selamat.

Di Makasar, komandan kapal British East India Company, Benares juga melaporkan keberadaan tembakan meriam yang kian mendekat -- yang mungkin berasal dari para perompak.
 
Kecurigaan melanda hati Raffles yang juga seorang ilmuwan, saat suara ledakan dari arah tenggara terus-menerus terjadi hingga pagi berikutnya. Sesaat setelah fajar, hujan abu melanda, menandakan sebuah gunung -- entah di mana berada -- sedang meletus.

Letusan Gunung Tambora (Public Domain)



Bapak pendiri Singapura modern itu sama sekali tak mengira Tambora jadi 'biang keladinya'. Gunung yang sebelumnya tidur panjang selama 1.000 tahun itu sudah lama diyakini mati.

"Suara itu sepertinya sangat dekat...secara umum dikira letusan Merapi, Kelud, atau Bromo," tulis Raffles dalam memoarnya History of Java, seperti dikutip dari situs Scientific American.

Awan abu menyelubungi Jawa, cahaya Matahari memudar, udara panas dan lembab terasa mencekik, segala sesuatu terlihat tak alami. Namun, beberapa hari kemudian, letusan mereda, abu vulkanik juga tak sepekat sebelumnya.

Ternyata, itu baru permulaan. Lima hari kemudian, pada 10 April 1815, malapetaka terjadi. Tambora  meletus dahsyat. Kekuatannya mencapai level 7 Volcanic Explosivity Index (VEI).

Kekuatannya jadi  yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah. Empat kali lipat dari amuk Krakatau pada 1883, dan 10 kali lipat dari erupsi Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991.

Erupsi diiringi halilintar sambung-menyambung, bunyinya menggelegar bagaikan ledakan bom atom, terdengar hingga ratusan kilometer. Langit gelap. Batu dan abu turun deras dari langit, mengubur apapun yang ada di bawahnya.

"Sekitar pukul 19.00 malam tiga bola api besar keluar dari Gunung Tombora. Kemudian tiga bola api itu bergabung di udara dalam satu ledakan dahsyat," demikian keterangan Raja Sanggar pada Letnan Owen Philips yang diutus Raffles, seperti dikutip dari BBC.  

Suara dentuman yang dihasilkan jauh lebih keras dari sebelumnya. Awak kapal Benares mengungkapkan, bunyinya mirip tiga atau empat meriam ditembakkan sekaligus. "Saking kuatnya, kapal sampai terguncang." Setelah itu hujan abu datang dan kegelapan melanda.

Nyi Roro Kidul atau Tarung Para Jin

Di Sumatera, pemimpin lokal yang mendengar suara ledakan keras pada 11 April 1815 cepat-cepat menuju  Fort Marlborough, pemukiman Inggris di Bengkulu. Mereka mengira, konflik sedang pecah.

Pun dengan pemimpin lainnya lain di Sumatera dan sekitarnya. Setelah menerima informasi bahwa tak ada serangan yang terjadi, mereka mengaitkannya dengan kejadian  supranatural.

"Para tetua menyimpulkan itu adalah adu kuat para jin, demikian dilaporkan pejabat di Fort Marlborough.

Ratu Pantai Selatan yakni Nyi Roro Kidul merupakan sosok dewi legendaris Indonesia yang begitu terkenal dengan berbagai mitos-mitosnya yang



Sementara itu di Gresik, Jawa Timur, penduduk setempat sepakat bahwa suara itu adalah 'meriam supranatural' penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul yang ditembakkan untuk merayakan pernikahan salah satu anaknya.

"Dan abu adalah ampasnya," demikian dikutip dari buku The Year Without Summer: 1816 and the Volcano That Darkened the World and Changed History Paperback karya William K. Klingaman.

Tsunami pertama mencapai Jawa Timur sekitar tengah malam pada 10-11 April. Tremor melanda wilayah tengah, 18 jam setelah letusan.

Yang paling menderita dari letusan Tambora adalah para manusia.

Vulkanolog dari Cambridge University, Clive Oppenheimer dalam bukunya  Eruptions that Shook the World memperkirakan, 60.000-120.000 nyawa terenggut, baik secara langsung -- oleh awan panas, tsunami -- maupun tak langsung, akibat kelaparan dan wabah penyakit yang berjangkit berbulan-bulan kemudian.

Kabar pertama meletusnya Tambora mencapai Inggris pada November 1815. Media The Times mempublikasikan secarik surat dari seorang pedagang di Hindia Belanda. "Kita baru mengalami letusan paling luar biasa yang mungkin belum pernah terjadi di manapun di muka Bumi," tulis dia, seperti dimuat situs sains, NewScientist.

Lautan sejauh mata memandang dipenuhi batang pohon, batu yang mengapung, juga jasad manusia gembung, yang menghalangi laju kapal.

Dua hari setelah letusan dahsyat, Sumbawa gelap gulita. "Tanaman padi sama sekali rusak, tak ada yang tersisa. Manusia dalam jumlah besar tewas seketika, lainnya meregangnyawa setiap harinya."

Dampak Global

Erupsi Tambora juga berdampak global. Abu dan panas sulfur dioksida menyembur melubangi atmosfer, suhu rata-rata global merosot 2 derajat Celcius atau sekitar 3 derajat Fahrenheit.

Di belahan dunia lain, efek Tambora juga merenggut ribuan nyawa. Bukan karena letusannya, melainkan akibat epidemi tifus dan kelaparan merata di wilayah Eropa. Rusuh tak terelakkan, rumah-rumah dan toko dibakar dan dijarah.

Badai salju melanda New England Juli tahun itu, panen gagal. Eropa pun mengalami kondisi yang sama parahnya.

Letusan Gunung Tambora (Public Domain)


Demikian pula di Yunan, Daratan Tiongkok, orang-orang terpaksa memakan tanah liat, karena cuaca yang buruk menggagalkan panen padi.

Penyair Li Yuyang dalam puisinya mengisahkan tentang rumah-rumah yang tersapu banjir. Para orangtua terpaksa menjual anak-anak mereka, ditukar dengan sekantung gandum. Suami menyaksikan istri dan buah hatinya mati perlahan akibat kelaparan.

Tambora bahkan mengubah peta sejarah, 18 Juni 1815, cuaca buruk yang diakibatkan Tambora konon ikut membuat Napoleon Bonaparte kalah perang di Waterloo. Hari terpedih dalam sejarah gilang-gemilang Sang Kaisar Prancis.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya