Akibat Erupsi Dahsyat Tambora, Orang Eropa Terpaksa Makan Kucing

Kekuatan letusan Tambora pada 10-12 April 1815 adalah yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah. Efeknya global.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 10 Apr 2015, 13:19 WIB
Diterbitkan 10 Apr 2015, 13:19 WIB
Kaldera Gunung Tambora
Kaldera Gunung Tambora (Wikipedia)

Liputan6.com, Jakarta - Hari ini, 200 tahun yang lalu, sesaat sebelum Matahari terbenam, Gunung Tambora di Sumbawa meletus dahsyat. Kekuatannya mencapai level 7 Volcanic Explosivity Index (VEI).

Kekuatan letusan Tambora pada 10-12 April 1815 adalah yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah. Empat kali lipat dari amuk Krakatau pada 1883, dan 10 kali lipat dari erupsi Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991.

Erupsi diiringi halilintar sambung-menyambung, bunyinya menggelegar bagaikan ledakan bom atom, terdengar hingga ratusan kilometer. Sir Stamford Raffles, pendiri Singapura modern, mengira bunyi memekakan telinga itu berasal dari meriam.

Vulkanolog dari Cambridge University, Clive Oppenheimer dalam bukunya “Eruptions that Shook the World” memperkirakan, 60.000-120.000 nyawa terenggut, baik secara langsung -- oleh awan panas, tsunami -- maupun tak langsung, akibat kelaparan dan wabah penyakit yang berjangkit berbulan-bulan kemudian.

Kabar pertama meletusnya Tambora mencapai Inggris pada November 1815. Media The Times mempublikasikan secarik surat dari seorang pedagang di Hindia Belanda. "Kita baru mengalami letusan paling luar biasa yang mungkin belum pernah terjadi di manapun di muka Bumi," tulis dia, seperti dimuat situs sains, NewScientist.

Lautan sejauh mata memandang dipenuhi batang pohon, batu yang mengapung, juga jasad manusia gembung, yang menghalangi laju kapal.

Dua hari setelah letusan dahsyat, Sumbawa gelap gulita. "Tanaman padi sama sekali rusak, tak ada yang tersisa. Manusia dalam jumlah besar tewas seketika, lainnya meregang nyawa setiap harinya."

Erupsi Tambora juga berdampak global. Abu dan panas sulfur dioksida menyembur melubangi atmosfer, suhu rata-rata global merosot 2 derajat Celcius atau sekitar 3 derajat Fahrenheit.

Di belahan dunia lain, efek Tambora juga merenggut ribuan nyawa. Bukan karena letusannya, melainkan akibat epidemi tifus dan kelaparan merata di wilayah Eropa. Rusuh tak terelakkan, rumah-rumah dan toko dibakar dan dijarah.

Badai salju melanda New England Juli tahun itu, panen gagal. Eropa pun mengalami kondisi yang sama parahnya. "Bahan makanan berkurang, orang-orang terpaksa makan kucing dan tikus. Warga Eropa dan sisi timur Amerika Utara mengalami kesulitan tak terbayangkan," kata Stephen Self,  profesor ilmu bumi dan planet di University of California, Berkeley, seperti dimuat situs Imperial Valley News.

Letusan Gunung Tambora (Public Domain)

Demikian pula di Yunan, Daratan Tiongkok, orang-orang terpaksa memakan tanah liat, karena cuaca yang buruk menggagalkan panen padi.

Penyair Li Yuyang dalam puisinya mengisahkan tentang rumah-rumah yang tersapu banjir. Para orangtua terpaksa menjual anak-anak mereka, ditukar dengan sekantung gandum. Suami menyaksikan istri dan buah hatinya mati perlahan akibat kelaparan.

Tambora bahkan mengubah peta sejarah, 18 Juni 1815, cuaca buruk yang diakibatkan Tambora konon ikut membuat Napoleon Bonaparte kalah perang di Waterloo. Hari terpedih dalam sejarah gilang-gemilang Sang Kaisar Prancis.

Kegelapan yang menyelimuti Bumi menginspirasi novel-novel misteri legendaris misalnya, 'Darkness' atau 'Kegelapan' karya Lord Byron, 'The Vampir' atau 'Vampir' karya Dr John Palidori dan novel 'Frankenstein' karya Mary Shelley.

Pada tahun 2004, para ilmuwan menemukan sisa-sisa peradaban kuno dan kerangka dua orang dewasa yang terkubur abu Tambora di kedalaman 3 meter. Diduga, itu adalah sisa-sisa Kerajaan Tambora yang tragisnya 'diawetkan' oleh dampak letusan dahsyat itu.

Penemuan situs itu membuat Tambora punya kesamaan dengan letusan Gunung Vesuvius di abad ke-79 Masehi. Peradaban di Tambora lantas sebagai "Pompeii di Timur."

Selanjutnya: Matahari Hilang, Orang Mengira Kiamat Datang...

Matahari Hilang, Orang Mengira Kiamat Datang

Namun, tak ada yang menduga, ilmuwan sekalipun, Matahari akan menghilang tahun 1816. Di belahan Bumi utara, tak ada musim panas di tahun berikutnya, 1816. 'The year without summer'.

Orang-orang mengira, kiamat akan segera terjadi. Kepanikan tak terkendali. "Seorang gadis membangunkan bibinya dan berteriak, dunia akan segera berakhir. Sang bibi yang terkejut, jantungan, bahkan sampai koma."

Sementara di Ghent, pasukan kavaleri yang melintas saat badai, meniup terompet mereka, tanpa diduga, dua pertiga penduduk turun ke jalan, berlutut. Mereka mengira telah mendengar sangkakala pertanda kiamat," demikian digambarkan London Chronicle.

Stephen Self, profesor ilmu bumi dan planet di University of California, Berkeley mengatakan, letusan Tambora adalah contoh bencana yang bisa ditimbulkan gunung berapi.

Letusan Gunung Tambora (Public Domain)

Jika letusan seperti Tambora terjadi hari ini, dengan populasi manusia yang lebih padat dan ketergantungan kita pada transportasi udara, akibatnya adalah malapetaka.

"Erupsi semacam itu akan berdampak luar biasa pada lalu lintas udara, juga sirkulasi atmosfer dunia. Itu mengapa, penting artinya bagi kita kapan hal serupa akan terjadi," kata dia.

"Namun, kita tak bisa memperediksinya tanpa mengetahui kekuatan letusan pada masa lalu, dan kapan itu terjadi."

Self menambahkan, mengetahui persis sejarah letusan sebuah gunung berapi sangat penting untuk memprediksi potensi erupsi di masa depan. "Bahkan di negara yang mempelajari gunung dengan baik, seperti Jepang, setidaknya 40 persen catatan erupsi besar di masa lalu raib tak bersisa," kata dia.

Jika ketika mencari data 1.000 tahun, 3.000 hingga 4.000 tahun ke belakang, dokumentasi makin buruk. "Kita tahu, ada erupsi besar yang tak tercatat, yang ironisnya sama sekali tidak kita ketahui." (Ein/Tnt)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya