HEADLINE: Kontroversi Pasal di RUU KUHP, Ancaman Demokrasi Bila Disahkan?

Sejumlah pasal dalam rancangan KUHP mendapat sorotan karena dinilai kontroversial dan merugikan masyarakat.

oleh Putu Merta Surya PutraYusron FahmiRatu Annisaa Suryasumirat diperbarui 24 Sep 2019, 00:01 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2019, 00:01 WIB
Tolak Rancangan KUHP
Masyarakat dari "Aliansi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan KUHP" melakukan demontrasi di depan Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (12/2). Mereka menolak RUU KUHP karena dianggap tidak demokratis. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pembahasan Rancangan KUHP terhenti untuk sementara waktu. Presiden Jokowi meminta agar pengesahan rancangan KUHP ditunda.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyatakan, ada sejumlah pasal yang harus diperbaiki bersama. Setidaknya ada 14 pasal yang menuai kontroversi yang menjadi sorotan. Namun, dia enggan membeberkan pasal aja saja yang dimaksud.

"Saya telah perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR RI, yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahan tidak dilakukan DPR periode ini," ujar Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat 20 September 2019.

Usulan Jokowi langsung mendapat persetujuan DPR. Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyatakan, DPR menyetujui usulan presiden. Hanya, dia menegaskan pengesahan rancangan KUHP bukan dibatalkan, melainkan hanya ditunda.

"Bukan dibatalkan tapi untuk menunda. Pemerintah sudah menyampaikan melalui presiden meminta kepada DPR agar pengesahan Rancangan KUHP di-hold karena ada beberapa pasal yang masih pro dan kontra," kata Bamsoet di Jakarta, Jumat 20 September 2019.

Rancangan KUHP memang masih menyisakan kontroversi. Polemik muncul dari pasal-pasal yang diyakini akan merugikan masyarakat luas. Berdasar penelusuran Liputan6.com, sejumlah pasal kontroversial tersebut antara lain: 

Pasal 219

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp 200 juta).

Pasal 241

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V (Rp 500 juta).

Pasal 278

Setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II (Rp 10 juta).

Pasal 432

Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I (Rp 1 juta)

Pasal 417 Ayat 1

Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II. 

Pasal 419 Ayat 1

Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.

Pasal 470 Ayat 1

Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

pasal 418 ayat 1

Laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan istrinya dengan persetujuan perempuan tersebut karena janji akan dikawini, kemudian mengingkari janji tersebut dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak kategori III.

Pasal 418 ayat 2

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kehamilan dan laki-laki tersebut tidak bersedia mengawini atau ada halangan untuk kawin yang diketahuinya menurut peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV. Kemudian proses hukum hanya bisa dilakukan atas pengaduan yang dijanjikan akan dikawini.

Pasal 604

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Kategori II (Rp10 juta) dan paling banyak Kategori VI.

Pasal 607 Ayat 2

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Kategori IV.

Infografis Pasal-Pasal Kontroversial dalam RUU KUHP. (Liputan6.com/Triyasni)

Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo menyatakan, rancangan KUHP yang digodok pemerintah dan DPR sudah melalui perdebatan panjang dengan sejumlah pihak terkait. Demikian juga dengan pasal-pasalnya yang dinilai kontroversial dan banyak diperdebatkan.

"Rancangan KUHP saat ini sudah banyak perubahan signifikan dibanding sebelumnya. Sudah kajian dengan semua pihak," ujar Harkristuti kepada Liputan6.com, Senin (23/9/2019).  

Harkristuti yang juga tim ahli RUU KUHP ini menyatakan, sejumlah pasal-pasal yang dipersoalkan, sebenarnya sudah ada sebelumnya. Hanya dilakukan penyempurnaan.

"Kenapa maksa hubungan suami-istri bisa kena 10 tahun? Loh, 2004 aturan ini sudah. Itu UU 23 Tahun 2004 tentang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) sudah mengatur hal ini. Orang-orang yang mempersoalkan ini itu tidak tahu hukum. Asbun alias asal bunyi saja," kata dia.

Demikian juga dengan pasal soal gelandangan yang didenda. Di undang-undang yang lama, kata Harkristuti, pasal ini juga sudah ada. "Kita sempurnakan. Jangan kurungan lah, denda saja minimal Rp 50 ribu," ujarnya.

Mantan Dirjen HAM Kemenkumham ini menduga sejumlah pihak yang bereaksi keras memprotes RUU KUHP banyak yang tidak membaca dengan baik pasal-pasal yang ada di aturan tersebut.

"Asbun saja. Yang begini-begini kan enggak sehat. Dikatakan pasal baru padahal itu lama. Janganlah bohongi masyarakat dengan pasal-pasal yang enggak ada," ucap Harkristuti.

Begitu juga dengan pasal penghinaan presiden. Dia menyatakan hal itu sudah ada sebelumnya. Hanya, jika sebelumnya polisi bisa langsung mengusut penghina presiden, di RUU KUHP yang baru presiden harus melapor ke polisi terlebih dahulu.

"Kalau dihina, Anda mengadu ke polisi kan? Begitu juga dengan presiden," jelasnya.

Harkristuti menambahkan, perumusan rancangan KUHP berorientasi untuk kebaikan sosial masyakakat.

"Kalau di Amerika boleh-boleh saja kamu kamu ngatain presiden sesuka hatimu. Mau bawa pacarmu tidur di rumah, boleh-boleh saja. Tapi di sini kan tidak bisa seperti itu," jelasnya.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Banyak Kelemahan

Hanya Dihadiri 3 Anggota DPR, Pembahasan RUU KUHP Ditunda
Hanya Dihadiri 3 Anggota DPR, Pembahasan RUU KUHP Ditunda (Liputan6.com/Taufiqurrohman)

Terpisah, kriminolog UI Muhammad Mustofa menyatakan, rancangan KUHP tidak perlu buru-buru disahkan karena masih banyak pasal-pasal yang harus diperbaiki. 

Dia mencontohkan pasal yang memidanakan gelandangan (pasal 432). Menurutnya, aturan ini bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

"Jadi seharusnya mereka disejahterakan bukan malah dipidana," ujarnya, Senin (23/9/2019).   

Begitu juga dengan pasal penghinaan presiden yang sebenarnya sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Jika ini terus dilanjutkan, itu artinya DPR tidak menghargai putusan MK," katanya.

"Jadi tak usahlah harus buru-buru mengesahkan RUU KUHP. Masih banyak yang harus diperbaiki," ujar Mustofa.

Dia berharap RUU KUHP hendaknya mengutamakan nilai dan norma lokal yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Dia meminta dalam KUHP yang baru, hukum adat dikembalikan ke habitatnya.

"Hukum pidana harus memastikan pengakuan keputusan peradilan adat. Buku 3 (KUHP) lebih merupakan tingkah laku yang bertentangan dengan moralitas masyarakat Indonesia, setiap suku atau etnis mempunyai pemaknaan yang berbeda-beda," dia memungkasi.

Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengamini jika rancangan KUHP saat ini masih memiliki banyak kelemahan. Sebagai undang-undang yang fundamental dan kompleks, bukan perkara mudah menyusun legislasi RUU KUHP secara sempurna. 

Hanya, Bamsoet menyatakan, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi atau menguji kelemahan pasal-pasal yang ada dalam rancangan KUHP. Salah satunya melalui proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Karena kesempurnaan hanya milik Allah dan kelemahan yang kami lakukan dalam menyusun RUU KUHP bisa diselesaikan melalui berbagai pintu, di antaranya melalui MK," ungkapnya.

Politikus Partai Golkar ini kembali mengingatkan alasan pembuatan RKUHP. Di antaranya untuk penyederhanaan undang-undang.

"Kami hanya ingin menjawab keinginan Pak Presiden bahwa undang-undang seharusnya simpel. Untuk itu, KUHP ini adalah jawabannya sebagai buku induk UU hukum pidana maka nanti akan ada beberapa UU yang bisa kita hapuskan, semua menginduk pada KUHP. Sehingga ke depan UU kita lebih simpel dan cepat dalam pengambilan keputusan," ucapnya.

"Kita susun ini, tujuh presiden tidak selesai, 19 Menteri Hukum dan HAM tidak selesai, dan ini kita di ujung apakah kita selesaikan," tandasnya.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU KUHP Mulfahcri Harahap mengatakan, RUU KUHP tidak akan disahkan di rapat paripurna dalam waktu dekat. Sebab, masih banyak waktu untuk mengesahkan RUU KUHP hingga 30 September 2019.

"Mungkin tidak dalam paripurna terdekat ya. Ada tiga kali paripurna lagi sampai tanggal 30 (September)," ujar Mulfahcri.

Politikus PAN ini menjelaskan, sebelum digelar rapat paripurna, akan ada forum lobi antarpemerintah dan DPR. Dalam rapat itu, bisa saja nantinya menghasilnya suatu kesepakatan terkait RKUHP.

"Nanti sebelum itu ada forum lobi dengan pemerintah dan DPR. Nanti kita lihat sejauh mana forum lobi itu menghasilkan sesuatu yang baik untuk kita semua," ungkapnya.

Selain itu, sampai tengat waktu 30 September, DPR akan mendengarkan dan memantau reaksi masyarakat terkait RKUHP.

"Dan tentu sampai dengan tanggal 30 memonitor terus apa yang terjadi di tengah masyarakat. Nanti forum lobi itu bisa menghasilkan sesuatu yang produktif bagi keberlangsungan RUU KUHP yang ramai dibicarakan di publik ini," ucap Mulfachri.

Pasal Multitafsir Picu Persoalan

Aksi Massa Menolak RUU KUHP di CFD
Massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan dan Demokrasi menggelar aksi saat car free day (CFD) di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (15/9/2019). Massa mengatakan RUU KUHP berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi korban kekerasan seksual. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, sejumlah pasal yang ada dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP masih multitafsir. Menurut dia, pasal-pasal yang bermasalah tersebut berpotensi menjadi persoalan apabila diterapkan di masyarakat.

"Ada pasal yang secara substansi bermasalah misalnya membungkam kebebasan sipil, pasal makar, dan pasal menghina presiden," ujar Asfinawati, Senin (23/9/2019).

Asfinawati menyoroti beberapa pasal yang menyasar ruang pribadi dalam pasal-pasal di RKUHP, antara lain terkait perzinahan dan pemilik unggas yang mendapat hukuman. Selain itu, dia mengkritik pasal penghinaan terhadap presiden dan wapres yang dinilai dapat menghalangi kebebasan dalam berpendapat.

"Yang kedua ada persoalan hukum yang hidup di masyarakat. Nah, memang mengakomodir teman-teman adat tetapi dia harus ada di peraturan daerah. Kalau kita perhatikan hukum adat yang tidak masuk tidak diakui, berarti kan ada superioritas negara, ini yang perlu diperhatikan," jelasnya.

Salah satu hal yang dikhawatirkan oleh YLBHI apabila RKUHP disahkan oleh DPR yaitu, akan membuat penjara penuh sebab bannyaknya hukuman. Padahal, penjara atau lembaga pemasyarakatan saat ini telah melebihi kapasitas.

"Bayangan saya bakal banyak orang masuk penjara ketika KUHP baru diterapkan. Harapan penjara tidak penuh, tidak akan terjadi," ujarnya.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani mengatakan, penundaan RUU KUHP, tanda bahwa masih ada masalah dalam undang-undang tersebut.

"Ada pengakuan dari pemerintah bahwa RUU KUHP masih sangat bermasalah dari pemerintah. Namun, ini bukan berarti menyelesaikan masalah," kata Yati, Senin (23/9/2019).

Dia menuturkan, masalah utama yang harus diselesaikan oleh eksekutif dan legislatif dalam rancangan KUHP adalah memastikan semua pasal-pasal yang berpotensi melanggar HAM, prinsip demokrasi, melanggar kebebasan sipil kebebasan pers, kebebasan beragama, berkeyakinan. Dan mengandung impunitas terhadap pelanggaran HAM berat, dan pasal-pasal bermasalah lainnya dihapuskan.

"Jangan sampai langkah ini hanya menjadi cara untuk memoderasi masyarakat untuk tidak melakukan kritik, demonstrasi dan upaya-upaya perlawanan lainnya," ujarnya.

Kesungguhan pemerintah harus diuji dengan memastikan Presiden dapat memastikan semua partai pendukungnya di parlemen mengambil sikap yang sama, dan bagaimana pemerintah memastikan pasal-pasal bermasalah tersebut tidak lagi dicantumkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya