Jadi Buronan KPK, Eks Sekretaris MA Nurhadi Masih Tinggal di Hang Lekir?

telah menetapkan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi sebagai buronan.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 18 Feb 2020, 15:29 WIB
Diterbitkan 18 Feb 2020, 15:29 WIB
Rumah mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi di Hang Lekir, Jakarta, Selasa (18/2/2020)
Rumah mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi di Hang Lekir, Jakarta, Selasa (18/2/2020). (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi sebagai buronan. Nurhadi dinyatakan sebagai buron terkait kasus suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA pada 2011-2016.

Liputan6.com mencoba menelusuri tempat tinggal Nurhadi di kawasan Hang Lekir, Jakarta Selatan. Hingga pukul 14.00 WIB, kawasan Hang Lekir sendiri terus dipadati pengendara yang memarkir mobilnya di bahu jalan.

Rumah Nurhadi megah seperti jejeran kediaman tetangga lainnya di lokasi tersebut. Bangunannya memanjang.

Posisinya berada persis di Jalan Hang Lekir VIII dan Hang Lekir V. Kediaman tersebut memiliki dua nomor rumah.

Nurhadi memang tidak diketahui keberadaannya. Namun, terdengar suara dari dalam rumah tersebut. Tempat sampah pun terisi kotoran rumah tangga.

Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurachman usai menjadi saksi pada sidang lanjutan dugaan suap terkait pengurusan sejumlah perkara dengan terdakwa Eddy Sindoro di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (21/1). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Tidak terlihat adanya penjagaan oleh pihak keamanan. Meski, kepolisian turut membantu KPK mencari keberadaan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, terkait suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA pada 2011-2016.

"Ya sudah ada surat ke Mabes Polri ya," tutur Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono di Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin 17 Februari 2020.

Argo tidak merinci detail surat dari KPK tersebut. Yang pasti, polisi bergerak profesional sebagaimana upaya pencarian buronan lainnya.

"Nanti kita juga membantu mencari," jelas Argo.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Terus Mangkir

Rumah mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi di Hang Lekir, Jakarta, Selasa (18/2/2020)
Rumah mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi di Hang Lekir, Jakarta, Selasa (18/2/2020). (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan surat Daftar Pencarian Orang (DPO) dan surat perintah penangkapan untuk Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi terkait suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA pada tahun 2011-2016.

Selain Nurhadi, KPK menerbitkan surat DPO dan perintah penangkapan terhadap dua tersangka lainnya yakni Rezky Herbiyono dan Hiendra Soenjoto.

"KPK terbitkan DPO dan surat perintah penangkapan untuk Nurhadi dan kawan-kawan," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (13/2/2020) malam. 

Ali mengatakan, dalam proses penerbitan DPO, KPK telah mengirimkan surat kepada Kapolri pada Selasa 11 Februari 2020 untuk meminta bantuan pencarian dan penangkapan terhadap para tersangka tersebut.

Penerbitan surat DPO dilakukan setelah sebelumnya KPK telah memanggil para tersangka secara patut. Namun ketiganya tidak hadir memenuhi panggilan tersebut.

"Sesuai ketentuan pasal 112 ayat (2) KUHAP, tekait dengan hal tersebut, selain mencari, KPK juga menerbitkan surat perintah penangkapan," terang Ali.

Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurachman memenuhi panggilan pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/11). Nurhadi diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap terkait peninjauan kembali di PN Jakarta Pusat. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Pasal 112 ayat 2 berbunyi setiap orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

Ali menegaskan, KPK akan bertindak tegas sesuai hukum yang berlaku terhadap pihak-pihak yang tidak koperatif. Tak hanya itu, KPK juga mengingatkan ancaman Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang menghalang-halangi proses hukum dengan ancaman pidana minimal penjara 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.

"Kami ingatkan kembali agar para saksi yang dipanggil KPK bersikap kooperatif dan pada semua pihak agar tidak coba-coba menghambat kerja penegak hukum," kata Ali.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya