Liputan6.com, Jakarta - Mantan Bendahara Umum (Bendum) Muhammad Nazaruddin bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Minggu, 14 Juni 2020.
Nazaruddin tidak bebas murni, melainkan melalui program cuti menjelang bebas (CMB). Nazaruddin mendapat CMB selama dua bulan. Sejatinya, Nazaruddin bebas pada 13 Agustus 2020.
Semasa menjalani masa hukuman, Nazaruddin telah menerima remisi sebanyak 49 bulan. Remisi diberikan kepada Nazaruddin sejak 2014.
Advertisement
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Pas) menyebut, pemberian remisi diberikan lantaran Ditjen Pas menerima surat rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2014.
"Dalam Surat Keterangan dari KPK Nomor: R-2250/55/06/2014, Muhammad Nazaruddin disebut sudah menunjukkan kerja sama yang baik dalam mengungkap perkara tindak pidana korupsi," ujar Kabag Humas dan Protokol Ditjen Pas Rika Apriyanti dalam keterangannya, Kamis (18/6/2020).
Menurut Rika, surat rekomendasi tersebut dinyatakan Ditjen Pas sebagai penyematan status JC kepada Nazaruddin. Namun, pernyataan Ditjen Pas ini disanggah oleh KPK.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyebut KPK tidak pernah menerbitkan surat ketetapan Nazaruddin sebagai JC. Menurut Ali, status JC harusnya disematkan kepada terdakwa dan sesuai dengan ketetapan dari majeli hakim Pengadilan Tipikor.
Sementara, surat rekomendasi yang diberikan KPK pada 2014 bukan berarti menetapkan Nazaruddin sebagai JC. Sebab, saat itu hukuman Nazaruddin telah berkekuatan hukum tetap, alias inkracht.
"Kami sampaikan kembali bahwa KPK tidak pernah menerbitkan surat ketetapan JC untuk tersangka MNZ (Nazaruddin). Benar kami telah menerbitkan dua surat keterangan bekerjasama yang bersangkutan tahun 2014 dan 2017 karena telah bekerjasama pada pengungkapkan perkara. Dan perlu diingat, saat itu dua perkara MNZ telah inkracht," kata Ali.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Buronan KPK untuk Kasus Suap Wisma Atlet
Nama Nazaruddin bukan kali ini saja menjadi perbincangan. Pada 2011 lalu, mantan bendahara umum Partai Demokrat ini telah menyita perhatian publik. Sebab, Nazaruddin yang berstatus sebagai tersangka kasus suap pembangunan Wisma Atlet Jakabaring ini menjadi buronan.
KPK pada 30 Juni 2011 menetapkan Nazaruddin sebagai tersangka. Kemudian, tak berselang satu minggu usai dijerat tersangka, atau tepatnya pada 4 Juli 2011, KPK mengirim surat kepada Polri untuk memasukan nama Nazaruddin ke dalam daftar pencarian orang (DPO).
Penyematan status DPO lantaran Nazaruddin kerap mangkir dari panggilan pemeriksaan. Rupanya, saat itu dia melarikan diri ke Kolombia.
Sebelum lari ke Kolombia, Nazaruddin diketahui sempat berada di Vietnam, Singapura, hingga Argentina. Bahkan di negara Tango itu, Nazaruddin sempat diwawancarai melalui video skype. Dalam video itu, ia menyebut sejumlah orang yang turut terlibat kasus korupsi.
Kepala Bareskrim Polri kala itu, Komjen Sutarman mengatakan, Nazaruddin terus berpindah-pindah lokasi persembunyian. Hal tersebut menjadi salah satu yang menyulitkan tim membawa Nazaruddin pulang kembali ke Indonesia.
"Dia berpindah-pidah. Jadi, pada saat dia skype (dengan Iwan Piliang), kita sudah temukan tempatnya. Tapi, ternyata orangnya sudah bergerak," kata Sutarman di Polda Metro Jaya, Sabtu 6 Agustus 2011.
Sutarman menduga, kemungkinan besar Nazaruddin menggunakan buku paspor asli, namun dengan identitas palsu. Ia mengaku belum tahu nama siapa dan negara mana yang dipakai Nazaruddin dalam paspor.
Ketika meminta bantuan pemerintah setempat, lanjut Sutarman, negara tujuan tak dapat membuktikan keaslian paspor yang dipakai Nazaruddin.
"Itu menjadi kewajiban negara yang mengeluarkan identitas palsu itu. Jadi, walaupun dia menggunakan nama orang lain, masuk ke negara itu dianggap legal. Itu menambah kesulitan," kata dia.
Sutarman menambahkan, pihaknya sudah menempatkan anggota di beberapa negara.
"Kita juga sedang melacak dan mencari negara yang mengeluarkan identitas palsu (Nazaruddin)," ujarnya.
Upaya penjemputan paksa pun mulai disusun Polri, imigrasi, dan KPK. Komjen Sutarman mempercayakan misi ini kepada Brigjen Anas Yusuf, selaku Ketua Tim Penjemput Nazaruddin. Keberadaan Nazaruddin terlacak setelah diketahui melakukan hubungan komunikasi di wilayah Dominika (Commonwealth).
Advertisement
Memburu Nazaruddin ke Dominika
Setelah itu, tim dari Mabes Polri langsung terbang menuju Dominika untuk melacak dan memburu Nazaruddin lebih lanjut. Tim pemburu mantan Bendum Demokrat ini meninggalkan Jakarta menuju Dominika dengan pesawat komersial, pada 27 Juli 2011.
Tiba di Dominika, tim langsung bergabung dengan tim advance yang dipimpin Kombes Sugeng, SLO dari KBRI Washington DC. Tim kemudian melakukan koordinasi dan mengumpulkan data-data.
Dari data yang dikumpulkan, terdeteksi dua nomor telepon yang digunakan Nazaruddin saat di Dominika dalam melakukan komunikasi. Tim juga melakukan jejak rekam, dengan mengamati rekaman CCTV di Port Autority Dominika.
Dari CCTV itulah, tim semakin jelas bahwa Nazaruddin memang datang ke Dominika. Setelah ditelusuri, Nazaruddin berangkat dengan berbekal paspor atas nama Syarifuddin. Ia melarikan diri ditemani istri, Neneng Sriwahyuni serta dua temannya, Nazir Rahmat dan Eng Kiam Lim.
Nazaruddin akhirnya ditangkap oleh aparat keamanan Kolombia di kota Cartagena pada 8 Agustus 2011. Setelah itu, tim melakukan koordinasi kembali untuk mencari cara membawa Nazaruddin secepatnya ke Indonesia.
Cara ekstradisi dianggap bisa memakan waktu yang lama. Akhirnya, Nazaruddin bisa dipulangkan dengan cara eksklusi atau pengusiran.
Kemudian pada 30 November 2011, Nazaruddin menghadapi dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK. Dia didakwa menerima suap dari proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan.
Jaksa menyebut Nazaruddin menerima suap sebesar Rp 4,6 miliar dari Marketing Manager PT Duta Graha Indah (DGI), M El Idris. Seiring berjalannya persidangan, pada 20 April 2012, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan pidana 4 tahun 10 bulan dan denda Rp 200 juta kepada Nazaruddin.
Di persidangan, Nazaruddin terbukti menerima suap sebesar Rp 4,6 miliar berupa lima lembar cek yang diserahkan Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah (DGI) Mohammad El Idris kepada dua pejabat bagian keuangan Grup Permai, Yulianis dan Oktarina Fury. Cek tersebut disimpan di dalam brankas perusahaan.
Nazar juga dinilai memiliki andil membuat PT DGI menang lelang proyek senilai Rp 191 miliar di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Mahkamah Agung kemudian memperberat hukuman Nazaruddin, dari 4 tahun 10 bulan menjadi 7 tahun penjara. MA juga menambah hukuman denda untuk Nazaruddin dari Rp 200 juta menjadi Rp 300 juta.
Kasus hukum yang menimpa Nazaruddin kemudian terus berjalan. Pada 10 Desember 2015, Nazaruddin dijerat pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam perkara ini Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis pidana 6 tahun penjara kepadanya. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu juga dijatuhi hukuman denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan.
"Mengadili menyatakan terdakwa Muhammad Nazaruddin terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer, kedua primer dan dakwaan ketiga," kata Majelis Hakim Ketua Ibnu Basuki saat amar putusan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 15 Juni 2016 lalu.
Majelis menilai, eks kolega Anas Urbaningrum itu terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Nazaruddin dinilai terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sejatinya Bebas Murni pada 2024
Ada pertimbangan yang memberatkan bagi Nazaruddin yakni perbuatan Nazaruddin tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Sedangkan yang meringankannya karena berlaku sopan selama di persidangan, telah menjadi terpidana di kasus sebelumnya, mempunyai tanggungan keluarga, dan telah menjadi justice collaborator.
Vonis ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Jaksa sebelumnya menuntut suami Neneng Sri Wahyuni itu dengan pidana tujuh tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Selain itu, harta kekayaan Nazaruddin senilai lebih kurang Rp 600 miliar juga diturut dirampas untuk negara.
Divonis dua perkara berbeda dengan akumulasi 13 tahun, sejatinya Nazaruddin bebas murni pada 2024. Namun, lantaran mendapatkan remisi 49 bulan sejak tahun 2014, Nazaruddin bebas murni pada 13 Agustus 2020.
Meski demikian, Nazaruddin menjalani program cuti menjelang bebas (CMB). Dia diberikan program CMB selama dua bulan, sehingga dia sudah bebas pada 14 Juni 2020 kemarin.
Sebelum bebas pada 14 Juni 2020, Nazaruddin terlebih dahulu dihadapkan pada Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Ditjen Pas soal laik atau tidaknya menerima program CMB.
TPP Ditjen Pas kemudian menyatakan Nazaruddin laik mendapat CMB dengan pengawasan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung, Jawa Barat.
Kabag Humas Ditjen Pas Rika Apriyanti sempat mengatakan, pada 7 April 2020, Kalapas Sukamiskin Thurman Hutapea mengusulkan agar Nazaruddin menjalani program CMB.
"Bahwa Nazaruddin akan selesai menjalani pidana pada 13 Agustus 2020. Sehingga pada 7 April 2020 diusulkan oleh Kepala Lapas Kelas I Sukamiskin untuk mendapatkan CMB," ujar Rika dalam keterangannya, Rabu, 17 Juni 2020.
Bebasnya Nazaruddin menuai kritik, baik dari KPK sendiri maupun masyarakat. KPK menyatakan beberapa kali menolak memberikan rekomendasi sebagai persyaratan asimilasi kerja sosial dan pembebasan bersyarat yang diajukan Ditjen Pas, Nazarudin maupun penasihat hukumnya yaitu pada Februari 2018, bulan Oktober 2018, dan bulan Oktober 2019.
"Oleh karenanya, KPK berharap pihak Ditjen Pemasyarakatan untuk lebih selektif dalam memberikan hak binaan terhadap napi koruptor mengingat dampak dahsyat dari korupsi yang merusak tatanan kehidupan masyarakat," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, Rabu, 17 Juni kemarin.
Kritik juga dilayangkan Indonesia Corruption Watch. ICW mengecam pembebasan Nazaruddin yang tak sesuai waktu. ICW meminta Kemenkumham menganulir keputusan pembebasan Nazar yang lebih awal dari seharusnya.
"ICW menuntut agar Menteri Hukum dan HAM segera menganulir keputusan cuti menjelang bebas (CMB) atas terpidana Muhammad Nazaruddin," ujar peniliti ICW Kurnia Ramadhana saat dikonfirmasi, Kamis (18/6/2020).
Advertisement