Liputan6.com, Jakarta Kasubdit 3 TPPU Direktorat Tipideksus Bareskrim Polri Kombes Pol Jamalludin mewanti kepada negara pemesan vaksin atau pun alat kesehatan yang berhubungan dengan Covid-19, bisa lebih cermat agar tidak masuk dalam modus kejahatan Business Email Compromisse (BEC).
"Jadi Ini terkait kasus Covid-19, kasus pengadaan vaksin ada, ventilator juga, kita tangani ada perusahaan dari Italia, Belanda, Jerman itu pesan barang ke China ke Korea ada ventilator, vaksin, dan alat tes swab," kata Jamal seperti dikutip dalam siaran podcast di channel Youtube resmi PPATK, Jumat (30/4/2021).
Perusahaan luar negeri yang masuk dalam modus kejahatan ini, kata dia, ditaksir memiliki nilai kerugian hingga Rp 200 miliar. Laporan diterima Polri dari interpol, langsung bergerak cepat menyelamatkan angka tersebut hingga mencapai separuh nilainya.
Advertisement
"Total jaringan ini kita ungkap Rp 200 miliar. Aset yang kita freeze kita sita hampir separuhnya. Itu sudah kita maksimal," ungkap Jamal.
Jamal mengaku, penyidikan timnya yang cepat mendapat apresiasi pihak asing. Namun Jamal mengaku, semua dapat cepat ditangani karena analisis cepat timnya yang turut dibantu kerja dari PPATK.
"Karena semua aset itu ada di Indonesia, jadi ketika masuk ke rekening Indonesia ada yang digunakan untuk beli valas diambil secara tunai menggunakan modus beragam, ada yang dibelikan aset mobil, tanah, transfer ke rekan lain ada yang mengendap di rekening (kita amankan)," kata dia.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pelaku Orang Indonesia dan Asing
Jamal membenerkan, dalam kasus ini, pelaku terdiri dari orang Indonesia yang bekerjasama dengan orang asing. Mereka melakukan email hacking itu dengan orang Nigeria.
"Kita tangkap dia penghubung antara oran Nigeria di luar danIindonesia, homebase di Jakarta dan oprasinya dari Jakarta," jelas Jamal.
Menurut Jamal, korban perusahaan di luar negeri bisa terkecoh ketika ada email yang hampir sama diterima pihak mereka. Diketahui, email yang mereka terima sama dengan perusahaan produsen alat kesehatan yang dipesan.
"Mulai dari nama perusahaannya emailnya nyaris sama lalu pelaku juga bikin nama perusahaan mirip perusahaan produsen itu tapi posisinya di Indonesia dalam bentuk CV atau PT," beber Jamal.
Sebagai informasi, perusahaan tersebut dibuat menggunakan dokumen fiktif, KTP fiktif, juga alamat perusahaan yang tidak jelas. Namun mereka menggunakan nama yang disamakan dengan korban, sehingga orang yang mau melakukan tranfer akan lihat nama yang sama dan terkecoh.
Advertisement