DPR Usulkan Perubahan RUU PKS jadi RUU TPKS, Beberapa Pasal Hilang Disorot

Draf baru tersebut dihadirkan dengan beberapa perubahan, dari judul yang diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) hingga perubahan ketentuan-ketentuan di dalamnya.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 04 Sep 2021, 11:07 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2021, 08:20 WIB
Kaum Hawa Desak DPR Segera Sahkan RUU PKS
Massa Kolaborasi Nasional melakukan aksi di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Massa mendesak DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) pada periode 2014-2024. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta Draft baru Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Badan Legislatif DPR RI menuai protes.

Draf baru tersebut dihadirkan dengan beberapa perubahan, dari judul yang diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) hingga perubahan ketentuan-ketentuan di dalamnya.

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) menilai perubahan judul ini memiliki dampak serius terhadap materi muatan RUU secara keseluruhan.

“Dengan terminologi ‘penghapusan’ RUU PKS memuat elemen-elemen penting penanganan kekerasan seksual secara komprehensif yang bertujuan menghapus kekerasan seksual, sementara RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI, sesuai dengan namanya, menitikberatkan pada penindakan tindak pidana sehingga mengabaikan unsur kepentingan korban seperti pemulihan, perlindungan, dan akses terhadap keadilan secara umum,” kata perwakilan Kompaks Naila dalam keterangannya, Sabtu (4/9/2021).

Kompaks menilai proses pembahasan RUU PKS adalah sebuah progres yang baik, tapi perubahan judul dan penghapusan elemen-elemen RUU PKS adalah kemunduran bagi pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual.

Kompaks menyebut beberapa ketentuan substantif dan prinsip yang hilang dalam naskah baru RUU PKS dari Baleg DPR RI, di antaranya:

1. Hilangnya jaminan hak, pemulihan, dan perlindungan korban kekerasan seksual

RUU PKS hadir dalam rangka menjawab kebutuhan korban akan jaminan perlindungan dan pemulihan yang selama ini absen dari berbagai peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, proses peradilan pidana masih berorientasi pada pemenuhan hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana. Oleh karena itu, elemen hak korban yang memuat ketentuan perlindungan dan pemulihan penting serta harus termuat di dalam RUU yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual.

Pada draft RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi BALEG DPR RI ketentuan hak korban hanya disebutkan pada bagian ketentuan umum yakni pasal 1 angka 12 yang berbunyi:

“Hak korban adalah hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh korban, dengan tujuan mengubah kondisi korban yang lebih baik, bermartabat, dan sejahtera yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan korban yang multidimensi, berkelanjutan, dan partisipatif”.

Tidak ada pengaturan lebih lanjut terkait pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Hal ini dapat menghilangkan jaminan pemenuhan hak korban selama proses peradilan pidana.

2. Penghapusan ketentuan tindak pidana perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual

Naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI hanya memuat 4 bentuk kekerasan seksual yakni: 1) Pelecehan seksual (fisik dan non fisik); 2) Pemaksaan kontrasepsi; 3) Pemaksaan hubungan seksual; dan 4) Eksploitasi seksual.

Sementara pada naskah RUU PKS, masyarakat sipil merumuskan 9 bentuk kekerasan seksual (pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual) yang didasarkan pada temuan kasus kekerasan seksual yang dikumpulkan oleh forum pengada layanan dan Komnas Perempuan. Naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menghilangkan pengaturan tentang tindak pidana perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.

3. Penghalusan definisi perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual

“Pemaksaan hubungan seksual” yang dimaksud dalam upaya penghalusan bahasa/eufemisme kata “perkosaan” merupakan suatu sesat pikir (logical fallacy). Hal tersebut sebagaimana dimuat dalam draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI Pasal 4.

 

Kekerasan Seksual Bentuk Baru

4. Kosongnya Pengaturan Kekerasan Seksual Berbasis Online (KBGO)

KBGO merupakan jenis kekerasan seksual yang muncul relatif baru seiring dengan perkembangan teknologi. Berdasarkan publikasi SAFEnet, terdapat 620 laporan kasus KBGO yang dilaporkan kepada SAFEnet selama tahun 2020. Jumlah laporan tersebut merupakan hasil peningkatan sebesar sepuluh kali lipat dibandingkan tahun 2019.2 Oleh karena itu, kosongnya pengaturan KBGO dalam draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI merupakan langkah tidak strategis yang tidak mempertimbangkan realitas kasus KBGO di masyarakat.

5. Kosongnya Pengaturan untuk Penanganan Korban Kekerasan Seksual dengan Disabilitas

Naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI tidak mengakomodir kepentingan dan kebutuhan khusus korban dengan disabilitas. Padahal secara faktual, korban kekerasan seksual dengan disabilitas memiliki kebutuhan yang khusus dan berbeda-beda tergantung pada jenis disabilitas yang dimiliki, termasuk namun tidak terbatas pada kebutuhan aksesibilitas informasi melalui Juru Bahasa Isyarat selama berjalannya proses hukum dan pendampingan/konseling psikologis yang harus disesuaikan dengan kebutuhan korban dengan disabilitas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya