Liputan6.com, Jakarta Rancangan Undang-Undang RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tak masuk dalam agenda rapat paripurna masa sidang tahun 2021. Artinya, RUU ini batal menjadi inisiatif DPR dan kemungkinan baru akan ada kelanjutan di tahun 2022.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, batal disahkannya RUU TPKS menjadi usul inisiatif DPR lantaran ada kesalahan teknis.
"Masalah teknisnya itu adalah ketika kita Rapim dan Bamus, UU belum selesai dibahas di tingkat I. Enggak ada masalah di situ (pimpinan tidak sepakat), sama sekali. Justru kita karena dia belum masuk ya, enggak bisa kita rapimkan," jelas Dasco.
Advertisement
Dia mengklaim tak ada masalah lain selain masalah teknis. Ia menepis kabar pimpinan DPR belum sepakat untuk membawa RUU tersebut ke paripurna.
Baca Juga
Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan absennya RUU TPKS di rapat paripurna lantaran tidak cukup waktu untuk memasukkannya ke paripurna.
"Ini hanya masalah waktu, karena tidak ada waktu yang pas atau cukup untuk kemudian dirundingkan secara mekanisme yang ada," ujar Puan di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (16/12/2021).
Puan menyebut DPR ingin RUU TPKS disahkan sesuai tahapan dengan mekanisme yang benar. "Sehingga pelaksanaan dari undang-undangnya yang berlaku secara baik dan benar dalam proses tahapannya," kata Puan.
Politikus PDI Perjuangan itu memastikan RUU TPKS akan dibawa ke rapat paripurna selanjutnya. Ia menyebut tak ada masalah tertentu yang membuat RUU TPKS batal diparipurnakan.
"Insyaallah pada awal masa sidang yang akan datang akan memutuskan. Ini nggak ada masalah apa-apa. Kami mendukung, DPR mendukung agar ini disahkan untuk menjadi suatu undang-undang yang kemudian menjaga, menyelamatkan hal-hal yang sekarang ini banyak terjadi," paparnya.
Kendala teknis bukanlah satu-satunya kendala RUU TPKS ini gagal dibawa ke rapat paripura. Dua dari sembilan fraksi di DPR masih minta untuk menunda. Mereka adlaah fraksi Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
"Golkar sama sekali tidak menolak. Dari awal tidak menolak, Golkar justru mendorong bahwa RUU ini mendesak dan penting. Namun, ini belum clear semua kok tiba-tiba, buru-buru disahkan," kata anggota Baleg dari fraksi Golkar Firman Soebagyo kepada Liputan6.com, Kamis (16/12/2021).
Salah satu fokus Golkar agar pendapat tokoh agama didengarkan DPR sebelum RUU itu disahkan menjadi RUU usulan DPR.
"Masih ada tokoh agama yang belum sempat kita dengarkan, itulah maka Golkar minta NU, Muhammadiyah dan lainnya kita dengarkan dulu. Karena masalah kekerasan seksual ini menyinggung berbagai elemen," katanya.
"Harus didengarkan para pakar semua," Firman menegaskan.
Selain itu, menurut Firman terdapat pasal yang belum selesai dibahas, seperti hukuman bagi perusahaan yang ada kasus kekerasan seksual. Misalnya pencabutan izin perusahaan, dan hukuman hubungan seksual sesama jenis itu dihukum atau tidak.
"Kemudian hubungan seksual di luar nikah ini hukum agama seperti apa," sambungnya.
Sementara anggota Baleg dari Fraksi PKS Al Muzzammil Yusuf membeberkan alasan partainya, untuk menunda dibawa ke Paripurna. Salah satunya dianggap RUU ini berdiri sendiri tanpa adanya aturan hukum yang melarang perzinaan dan larangan LGBT.
Menurut dia, ada kesan RUU TPKS ini berisi normal sexual consent atau berpotensi melegalkan zina.
"Sexual consent yakni sejauh tidak ada kekerasan maka hubungan seksual dibolehkan. Hal itu tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, norma agama, dan budaya yang dianut bangsa Indonesia. Maka Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menolak RUU TPKS, sebelum didahului adanya pengesahan larangan perzinaan dan LGBT," kata Muzzammil.
Pihaknya pun mengklaim RUU TPKS ini masih menggunakan tolak ukur hanya ada kekerasan sehingga tidak komprehensif untuk menjangkau tindak pidana perzinaan dan penyimpangan seksual.
"Akibatnya, perbuatan seksual yang dilakukan di luar perkawinan yang sah, dilakukan tanpa paksaan atas dasar suka sama suka, dilakukan tanpa kekerasan, termasuk segala bentuk penyimpangan seksual, tidak dijangkau oleh pengaturan dalam RUU ini," kata dia.
Menurutnya, fenomena seks bebas di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. "Dengan demikian, diperlukan undang-undang yang mengatur soal larangan perzinaan dan penyimpangan seksual berikut sanksi hukumnya," kata dia.
Bukan hanya itu saja, dia berharap penyusunan materi RUU TPKS harus disesuaikan dengan RKUHP, terutama berkaitan dengan ketentuan tentang tindak pidana kesusilaan.
"Namun, sampai saat ini pembahasan RKUHP tersebut belum berjalan, sehingga Fraksi FPKS menilai penting untuk memasukan tindak pidana kesusilaan yang diatur dalam RKUHP ke dalam RUU TPKS," kata dia.
Â
Komitmen DPR Dipertanyakan
Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti melihat alasan kedua partai tersebut ngaco.
"Dua itu ngaco, PKS menolak dan Golkar menunda. Tapi yang lain posisinya sama, hanya masalah prosedural aja yang terlewat dan saya merasa ini tak akan dibatalkan, hanya tertunda saja," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (16/12/2021).
Bivitri menyadari RUU TPKS ini tidak instan untuk menghentikan kejahatan atau kekerasan seksual, karena pelaku selalu berada dimana saja.
"Tapi kalau kita memiliki peluang yang lebih baik dalam melawan hal itu, tentu iya. Untuk menghukum pelaku dan peduli terhadap korban dan jenis-jenis kejahatannya untuk dilakukan penindakan semakin beragam. Secara sistem, aparat penegak hukum bisa lebih dapat menangani hal tersebut. Jadi RUU ini awal yang bagus," jelas dia.
"Memang tidak akan dalam waktu singkat kekerasan seks ini berakhir, tapi minimal kita punya infrastrukturnya untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual," sambung Bvitri.
Dia juga melihat, kehadiran RUU TPKS ini suatu langkah bagus, bahkan pemerintah sudah ada satgas untuk membahas RUU ini untuk segera disahkan setelah diusulkan sebagai RUU inisiatif DPR.
Senada, Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Khotimun Sutanti berharap pimpinan DPR menunjukan komitmen yang sesungguhnya terhadap RUU TPKS ini sebagaimana yang sering diopinikan.
"Jadi berharap Januari 2022 ini memang ada komitmen DPR diwujudkan dan diselesaikan proses proseduralnya dan masuk di paripurna," kata Khotimun kepada Liputan6.com, Kamis (16/12/2021).
Dia menyayangkan sikap Golkar dan PKS yang memilih untuk membuat lama RUU TPKS ini menjadi RUU inisiatif. Padahal sebagai wakil rakyat, seharusnya memahami kekerasan seksual sering terhambat penanganannya karena persoalan sistem hukum.
"Jadi kita berharapnya seperti Golkar dan PKS bisa lebih mempertimbangkan situasi korban untuk saat ini. Jadi memang saya kurang sepakat pendapat bahwa sudah ada KUHP kalau enggak salah dari Golkar menyampaikan itu," jelas Khotimun.
"Ini berbeda. KUHP itu kan undang-undang umum, dan undang-undang Pidana Kekerasan Seksual termasuk khusus. Itu sebetulnya sudah jadi pembicaraan cukup lama," sambungnya.
Dia menyadari, bahwa RUU TPKS ini masih banyak disempurnakan. Namun, saat ini yang terpenting adalah menjadi RUU inisiatif sehingga dibahas pemerintah untuk bisa lebih sempurna.
"Sebetulnya ini bukan sebagai solusi akhir (menghentikan kekerasan seksual), ini adalah solusi yang sangat penting, yang darurat untuk ada payung hukum," jelas Khotimun.
Dia pun juga melihat pemerintah sudah berkomitmen, meskipun juga harus begerak cepat dalam mengatasi kekerasan seksual. Selain itu, Khotimun juga berharap masyarakat harus bisa menempatkan diri dalam keberpihakan terhadap korban.
Khotimun melihat, masih banyak masyarakat yang melihat korban kekerasan seksual justru mendapat stigma buruk. "Bagaimana kita mendukung ketika ada korban, bukan untuk kita stigma," jelas dia.
Â
Sebenarnya Agenda Sederhana
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyesalkan RUU TPKS ini tidak jadi diparipurnakan.
"Padahal kan ini agenda yang sederhana aja, menyetujui bahwa DPR akan menetapkan RUU TPKS ini menjadi RUU inisatif untuk bisa dibahas kemudian bersama pemerintah," kata Andy kepada Liputan6.com, Kamis (16/12/2021).
Dia mengingatkan, kasus kekerasan seksual itu tidak bisa diproses secara hukum karena dari aspek subtansinya sering kali tak dikenali. Misalnya masih banyak yang salah mengartikan terkait perkosaan, pencabulan, persetubuhan dan pelecehan seksual.
"Karena kadang-kadang merasa aduh kasihan ya kalau kita sebut dia korban perkosaan, kita tulisnya pelecehan. Nah, kalau jadi bahas hukum, masing-masing punya konsekuensinya," jelas Andy.
Dia pun menyadari masih banyak yang harus disempurnakan dalam RUU TPKS ini. Namun, kehadirannya bisa mendorong banyak korban untuk melaporkan.
"Jangan sampai kita merasa ini sudah keluar undang-undangnya kok masih banyak melapor? Artinya kita membantu korban untuk berani melaporkan kasusnya. Harus kita pahami sekarang ini, fenomena gunung es ya. Lebih banyak korban yang tidak melaporkan kasusnya," kata Andy.
Selain itu, dalam RUU TPKS ini juga membuat terobosan soal alat bukti seperti penggunaan rekaman dan lainnya.
"Jadi penguatan-penguatan infrastruktur untuk membantu pencarian bukti itu sebetulnya pengaturannya mulai ada di RUU TPKS. Jadi ada beberapa penguatannya, juga tentang penegasan hak-hak korban untuk pemulihan atau pendampingan atau restitusi," jelas Andy.
Â
Advertisement
Jangan Digantungkan
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah meminta pimpinan DPR tidak menggantung nasib Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
"Saat ini ada ratusan ribu korban kekerasan seksual di luar sana dan sebagian bahkan ada di gedung ini. Benar benar berharap atas kebijaksanaan pimpinan dan kita semua agar dalam forum yang terhormat ini kita bisa bersama sama. Mengesahkan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR," kata Luluk dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (16/12/2021).
Dia menegaskan, jumlah korban kekerasan seksual terus bertambah dan tidak pandang usia.
"Tidak pandang latar belakang pendidikan, pekerjaan bahkan di lembaga lembaga yang kita anggap di sana diajarkan begitu banyak kebijakan dan kebaikan juga terjadi kekerasan seksual," ujar dia.
Luluk mengingatkan pimpinan DPR bahwa kekerasan seksual akan menjadi trauma yang menghantui korban sepanjang hayatnya.
"Pimpinan, Bapak Ibu, trauma kekerasan seksual akan dibawa sepanjang hayat hidup para korban. untuk bisa memahami luka kepedihan dan kegelapan yang dirasakan para korban, tak perlu kita menjadi korban dan tak perlu menunggu anak-anak kita dan orang-orang yang kita cintai harus menjadi korban. Enough is enough ketua," tegas politikus PKB ini.
"Saya mohon dengan kebijaksanaan juga dengan rasa kemanusiaan yang harus kita angkat lebih tinggi dari segenap kepentingan-kepentingan politik apalagi kepentingan politik jangka pendek maka RUU TPKS hendaknya bisa diputuskan bersama sama pimpinan menjadi RUU inisiatif DPR hari ini juga," lanjut dia.
Berbagai pihak, kata Luluk, telah menilai DPR gagal memperjuangkan RUU TPKS. Bahkan dinilai tidak memiliki sense of crisis atau rasa kepekaan adanya darurat kekerasan seksual.
"Enough is enough. cukup adalah cukup dan saya kira kita semua tidak ingin menjadi bagian yang tidak memiliki sense of crisis tersebut. Terima kasih Pimpinan dan sekali lagi mohon untuk disahkan bersama hari ini," kata dia.