Liputan6.com, Jakarta - Profesionalitas, kredibilitas, dan integritas Pemilu 2024 berpotensi dipengaruhi oleh beban berat petugas penyelenggara pemilu.
Menurut Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, irisan tahapan pemilihan umum dan pilkada pada 2024 memang membuat petugas penyelenggara pemilu memiliki beban berat.
Baca Juga
"Penyelenggara akan sulit bisa bekerja dengan baik dan maksimal bila bebannya bukan hanya besar, melainkan juga rumit dan kompleks," ujar Titi Anggraini, seperti dilansir Antara.
Advertisement
Dia menilai, penyelenggaraan pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) di tahun yang sama akan membuat atensi pemilu nasional lebih mendominasi. Itu menjadi tantangan pada 2024.
Titi berpendapat, perjalanan menuju 2024, nyaris tidak ada ruang untuk melakukan reformasi sistem politik, sistem kepartaian, dan sistem pemilu. Maka, problem politik dan elektoral Pemilu 2019 potensial bakal berulang.
Wanita yang pernah menjabat Direktur Eksekutif Perludem ini menyampaikan bahwa kompleksitas teknis pemilu memengaruhi kualitas dan kemurnian suara pemilih. Masalahnya, tingginya surat suara tidak sah (invalid votes) mencederai daulat rakyat. Pada Pemilu Anggota DPR RI 2019, misalnya, terdapat 17,5 juta suara tidak sah.
Tantangan lain yang perlu mendapat perhatian pemangku kepentingan pemilu, lanjut Titi, adalah gangguan terhadap hak pilih berupa praktik jual beli suara (vote buying) serta penyebaran misinformasi dan disinformasi yang bisa memengaruhi publik sehingga membuat keputusan yang salah pada pemilu dan pilkada.
Disebutkan pula bahwa pilkada yang dilaksanakan pada tahun yang sama memicu pragmatisme partai akibat konsolidasi internal yang tidak optimal.
Ongkos Politik
"Karena ingin mengembalikan ongkos politik pemilu serta akibat soliditas internal yang belum sepenuhnya pulih pasca-pemilu, bisa memicu pragmatisme partai yang berdampak pada tumbuh suburnya praktik mahar politik. Eksesnya dapat berupa meningkatnya tren calon tunggal," kata Titi.
Di lain pihak, kata dia, terdapat pula tantangan terbuka dari elite, seperti serangan terhadap prinsip konstitusionalisme (pembatasan kekuasaan) yang merupakan artikulasi semangat reformasi dan komitmen dalam berdemokrasi. Misalnya, penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan, dan presiden tiga periode.
Selain itu, proses legislasi yang meninggalkan publik atau tanpa partisipasi publik yang bermakna. Titi lantas menyebut sejumlah undang-undang, seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, UU Mahkamah Konstitusi, UU Mineral dan Batu Bara (Minerba), dan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
Tantangan lain yang berasal dari elite politik adalah terjadi pemusatan kekuasaan dengan kontrol yang lemah dari kekuatan penyeimbang sebagai konsekuensi ambang batas pencalonan presiden dan politik akomodatif Presiden. Misalnya, pencabutan RUU Pemilu dari Prolegnas dan UU Cipta Kerja.
Hal lain yang menjadi sorotan Titi yang pernah terpilih sebagai Duta Demokrasi International Institute for Electoral Assistance (International IDEA) adalah kriminalisasi aktivis masyarakat sipil oleh pejabat publik.
Sumber: Antara
Advertisement