Liputan6.com, Jakarta - Mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Oegroseno mempersoalkan penyidikan terhadap Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria dalam kasus obstruction of justice (OOJ) atau perintangan penyidikan terkait kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Oegroseno menilai bahwa terdakwa Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria memiliki kinerja yang baik dalam menjalankan tugas di Biro Pengamanan Internal (Paminal) pada Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.
Hal itu pula yang menjadi alasan Oegroseno mau menjadi saksi a de charge atau saksi meringankan dalam sidang kasus OOJ atau kasus perintangan penyidikan terkait kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Advertisement
Sebagai mantan Kepala Divisi (Kadiv) Propam Polri, Oegroseno sangat memahami tugas pokok dan fungsi Paminal dalam institusi Polri.
Oegroseno di persidangan juga menjawab pertanyaan dari penasihat hukum terdakwa, Sahala Panjaitan mengenai objek pemeriksaan di Propam. Dia menjelaskan objek pemeriksaan di propam adalah oknum polisi yang diduga melakukan pelanggaran.
"Mulai dari yang belum jelas biasanya ditangani oleh Paminal, dan bila mengenai kode etik biasanya dilimpahkan ke biro profesi. Sedangkan terkait disiplin akan dilimpahkan ke pihak provos," ujar Oegroseno dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (20/1/2023).
"Paminal itu biasanya kemampuan-kemampuan orang intelijen banyak di Paminal. Paminal tidak dikenal orang, seperti sillent operation. Menyelidiki tanpa menyentuh objek," imbuh Oegroseno.
Sahala Panjaitan kemudian mempertanyakan mengenai jika ada seorang polisi yang diperiksa di Paminal (Hendra Kurniawan) dan hasilnya sudah terbukti melakukan pelanggaran namun orang tersebut ditunjuk menjadi pemeriksa Hendra di kasus OOJ, apakah diperbolehkan secara peraturan? Oegroseno menjelaskan bahwa tidak boleh terjadi hal seperti itu.
"Saya pernah melakukan pemeriksaan anggota polisi dugaan yang mengarah ke pidana, langsung saya buatkan nota dinas mohon dinonaktifkan. Apalagi sudah pernah diperiksa propam sebelumnya, ini kan ada conflict of interest. Kalau menurut saya apa yang dilakukan sudah cacat hukum," tegas Oegroseno.
"Justru itu, kalau ada isu seperti itu menurut saya Paminal yang sekarang turun, kemudian melakukan langkah-langkah siapa yang melakukan tindakan tadi. Ini masalah menarik supaya ke depan nanti hal seperti ini tidak terjadi lagi," sambung mantan wakapolri
Sebelumnya Hendra dan Agus juga menghadirkan dua ahli dalam persidangan kali ini. Mereka adalah ahli Hukum Tata Negara (HTN) Margarito Kamis dan ahli psikologi sekaligus Dekan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila (UP) Silverius Y Soeharso.
Atas pertanyaan penasihat hukum terdakwa Sahala Panjaitan, ahli psikologi Soeharso menjelaskan dalam organisasi bersifat hierarki apabila seorang bawahan menerima perintah yang tidak melawan hukum dari atasan langsung dan bawahan tersebut mengetahui atasannya tadi juga sudah melaporkan ke pimpinan tertinggi organisasi maka bawahan tersebut secara psikologi pasti akan melaksanakan perintah.
Sahala Panjaitan juga menanyakan kepada Margarito terkait perbedaan kekuatan perintah lisan dan tertulis oleh pejabat yang berwenang.
Menurut ahli, perintah lisan dan tertulis sama saja kekuatannya sepanjang yang memberi perintah adalah orang yang berwenang. Dan terkait surat perintah yang ditunjukkan pengacara ke ahli, Margarito dengan tegas menyatakan surat tersebut sah.
"Tidak bisa, tidak ada dalilnya itu! Tindakan ini menegaskan aturan. Surat (Perintah) itu terbit untuk menyelidiki peristiwa yang terjadi. Tetapi tidak mungkin orang-orang itu menyelidiki sesuatu yang tidak ada kan? Tidak mungkin. Mesti ada sesuatu yang konkrit, mesti ada peristiwa," jelas Margarito
Menuruti Perintah Sambo
Dalam kasus ini, Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria didakwa telah melakukan perintangan penyidikan pengusutan kematian Brigadir J bersama Ferdy Sambo, Arif Rachman, Baiquni Wibowo, Chuck Putranto, dan Irfan Widyanto.
Tujuh terdakwa dalam kasus ini dijerat Pasal 49 jo Pasal 33 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Keenam anggota polisi tersebut dikatakan jaksa menuruti perintah Ferdy Sambo yang kala itu menjabat sebagai Kepala Divisi (Kadiv) Propam Polri untuk menghapus CCTV di tempat kejadian perkara (TKP) lokasi Brigadir J tewas.
Para terdakwa juga dijerat dengan Pasal 48 jo Pasal 32 Ayat (1) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain itu, enam anggota polisi yang kala itu merupakan anak buah Ferdy Sambo juga dijerat dengan Pasal 221 Ayat (1) ke-2 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Advertisement