Liputan6.com, Jakarta - Teddy Minahasa akhirnya lolos dari hukuman mati. Majelis hakim PN Jakbar menjatuhkan vonis penjara seumur hidup terhadap terdakwa kasus penilapan barang bukti sabu-sabu itu.
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri setuju narkoba memang permasalahan serius.
"Pengedar, jangankan seumur hidup, saya setuju hukuman mati. Apalagi jika pelakunya adalah aparat penegak hukum," ujar Reza yang pernah jadi saksi ahli di persidangan Teddy, dalam keterangannya, Kamis (11/5/2023).
Advertisement
Ia menghormati putusan hakim PN Jakbar. Meski ada sejumlah lubang (loopholes) yang dilihatnya dalam putusan hakim, terutama mengandalkan keterangan saksi.
"Saksi yang sekaligus merupakan terdakwa. Yakni Dody Prawiranegara (DP). Jelas, dengan status ganda tersebut, DP akan mengedepankan keterangan yang menguntungkan dirinya," jelas Reza.
Sebagaimana pernah ia sampaikan beberapa waktu lalu, keterangan saksi adalah barang yang paling potensial merusak proses pengungkapan kebenaran dan proses persidangan. Karena itu, jika mantan Kapolda Sumatera Barat itu mengajukan banding, ia berharap putusan hakim pengadilan tinggi nantinya akan lebih bersandar pada pembuktian.
"Sebagaimana sorotan saya terhadap coretan tangan JPU di naskah tuntutannya, hakim mengamini tuntutan jaksa bahwa TM tidak menyuruh melakukan. TM dinilai hakim turut serta bersama Dody," ulas Reza.
Reza kembali menekankan perlunya penjelasan dari Polri terkait barang bukti yang memberatkan Teddy. Salah satunya adalah tawas.
"Tawas, yang katanya dipakai sebagai pengganti sabu, itu sekarang di mana?" tanya Reza.
Kemudian otentik sabu di Jakarta dengan sabu di Bukittinggi.
"Kalau beda, berarti bukan hasil penyisihan. Lantas, dari mana sabu itu?" lanjutnya.
Mantan Kapolsek Bukitttinggi, Dody Prawiranegara diketahui telah menjalani pemeriksaan urine. "Apa hasilnya, positif atau negatif?" tanya dia pula.
Menyitir perkataan Direktur dan Wakil Direktur Resnarkoba Polda Metro Jaya bahwa mereka sebatas melaksanakan perintah pimpinan.
"Dari sisi pidana, bukankah itu mengarah ke wrongful conviction atau kriminalisasi terhadap TM?" kritik Reza.
Khawatir Ada Perang Bintang
Dari sisi organisasi kepolisian, menurut Reza patut dikhawatirkan sebagai perang bintang yang destruktif (dysfunctional).
Ia pun mengemukakan sebuah riset di kepolisian. Responden riset ini adalah ratusan anggota polisi. Hasil riset menunjukkan sub-sub grup di internal kepolisian sudah mencapai level berbahaya sehingga patut dilarang.
"Itu menjadi pengakuan bahwa klik-klik di institusi kepolisian memang ada. Tinggal lagi perlu dibedakan mana perang bintang yang fungsional dan mana yang disfungsional," beber dia.
Reza menjelaskan, rivalitas fungsional membuat organisasi menjadi dinamis progresif dan personel menjadi berpola pikir transformatif.
Sedangkan perang bintang yang disfungsional akan membuat organisasi statis bahkan regresif. Parahnya lagi. personel polisi menjadi agresif bahkan kanibal. Ia menyebut aksi saling sabotase menjadi salah satu bentuknya.
"Saya sebenarnya masih menilai putusan hakim terlalu didasarkan pada pengakuan, bukan pembuktian. Padahal, sekali lagi, pengakuan berpotensi besar mengganggu pengungkapan kebenaran dan menghambat proses persidangan," tuturnya.
Pada prinsipnya, Reza mengaku cenderung beda tafsiran terkait dengan 'mengakui perbuatannya' sebagai hal yang disebut hakim meringankan Dody.
Selama persidangan, Dody mengaku diperintah Teddy dan takut untuk menolaknya.
"Pada sisi itu, saya masih belum teryakinkan. Alasannya, pertama, hitung-hitungan sabu yang saya punya menunjukkan bahwa sabu di Jakarta bukan merupakan sabu yang ditukar dengan tawas yang berasal dari Bukittinggi," ujar Reza.
Hal ini berkaitan dengan analisa dia sebelumnya, jika sabu memang ditukar dengan tawas, tapi tidak jelas lokasi keberadan tawas tersebut saat ini.
Selain itu juga tidak tersedia informasi bahwa sabu di Jakarta dan sabu di Bukittinggi adalah identik.
Secara matematik, Reza meyakini 5 kilogram (kg) sabu di Jakarta bukan berasal dari Bukittinggi. Sebab, tidak diperlukan penukaran dengan tawas untuk memperoleh 5 kg sabu tersebut.
Kedua, Reza mencermati pengakuan Dody yang dua kali menolak perintah Teddy, tapi tidak ada risiko buruk yang dia alami.
"Jadi, ketakutan yang DP sebut itu tampaknya mengada-ada. Dalam bahasa psikologi forensik, superior order defence yang diangkat DP terpatahkan," terangnya.
Sehingga, menurut Reza, dapat disimpulkan karena Dody menolak maka putus keterkaitannya dengan instruksi Teddy.
"Sekiranya instruksi itu dianggap ada," imbuhnya.
Ketiga, Dody terindikasi punya kepentingan untuk memperoleh uang guna mendongkrak karirnya di Polri. Dan keterlibatannya dalam peredaran narkoba merupakan caranya untuk memperoleh uang itu.
"Keempat, pertimbangan hakim bahwa 'DP tidak ikut serta menikmati hasil kejahatan' bukan karena keputusan atau sikap Dody sendiri. Tapi karena dia terlanjur diringkus PMJ. Andai dia tidak ditangkap polisi, mungkin dia akan menikmati hasil kejahatan," tengarai Reza.
Ihwal tes urine Dody yang disampaikan oleh Polda Metro Jaya ke publik, hingga kini tak jelas.
Alih-alih sependapat dengan hakim, Reza justru menangkap kesan kuat bahwa Dody Prawiranegara tidak mengakui perbuatannya.
"Karena dia tidak mengakui perbuatannya, maka hukuman terhadap DP patut diperberat," tandas Reza, mengakhiri.
Advertisement