Temuan 52 Juta Data Pemilu Invalid, Ketua DPD RI Minta KPU Tunda Penetapan DPT

Senator asal Jawa Timur itu meminta agar KPU dan pihak terkait untuk menunda penetapan DPT yang akan dirilis 21 Juni 2023 mendatang.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Jun 2023, 18:01 WIB
Diterbitkan 17 Jun 2023, 10:36 WIB
lanyalla
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (Ist)

Liputan6.com, Surabaya - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perkumpulan Warga Negara untuk Pemilu Jurdil menemukan puluhan juta Data Pemilih Sementara (DPS) yang sedang disusun oleh KPU dalam kondisi diduga bermasalah. Dalam laporannya kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), LSM Perkumpulan tersebut mengaku menemukan 52 juta DPS bermasalah yang perlu diperbaiki oleh KPU.

Data tersebut tentu saja sangat mencengangkan. Sejumlah pihak ikut menyoroti temuan tersebut. Salah satunya datang dari Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.

Senator asal Jawa Timur itu meminta agar KPU dan pihak terkait untuk menunda penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akan dirilis 21 Juni 2023 mendatang.

"Kami sangat concern dengan itu (data pemilih). Saya ingatkan kepada KPU dan semua pihak terkait untuk memverifikasi temuan tersebut. Jangan main-main dengan data pemilu, karena ini berkaitan dengan kedaulatan rakyat. Berkaitan dengan kualitas demokrasi di tanah air kita. Saya akan panggil pihak terkait melalui Komite I DPD RI. Dan tunda dulu itu pengumuman DPT," ingat LaNyalla, Sabtu (17/6/2023).

Diingatkan LaNyalla, temuan tersebut bukan hanya sekadar angka-angka belaka. Lebih jauh daripada itu, LaNyalla menilai temuan tersebut berkaitan dengan indeks demokrasi Indonesia. Apalagi, berdasarkan data yang dilansir Masyarakat Transparansi Internasional menyatakan, Indeks Demokrasi Indonesia juga mengalami penurunan.

"Padahal, ketika Reformasi digulirkan, salah satu tujuannya adalah meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Tetapi faktanya, di dalam Pilpres dan Pilkada masih ditemukan banyak kecurangan yang diduga terstruktur, sistematis dan masif," ujar LaNyalla.

Menurut LaNyalla, apa yang terjadi saat ini imbas atau dampak dari kita meninggalkan rumusan bernegara yang disusun para pendiri bangsa. Rumusan bernegara yang terdapat di dalam Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945, yang telah diubah total dalam amandemen di era Reformasi saat itu.

Bahkan perubahan itu mencapai lebih dari 95 persen. LaNyalla melanjutkan, Pancasila tidak lagi tercermin dalam isi pasal-pasal Konstitusi hasil perubahan itu. Yang tercermin justru nilai-nilai lain, yaitu ideologi Liberalisme dan Individualisme.

"Inilah hasil dari kita menerapkan ideologi Liberalisme dan Individualisme. Kita telah rasakan sejak Reformasi digulirkan. Maka kita perlu membaca ulang sistem bernegara kita sebagaimana dikehendaki oleh para pendiri bangsa kita," tutur LaNyalla.

Sebagai Negara Kepulauan, LaNyalla menyebut Indonesia memiliki jarak bentang dari Sabang sampai Merauke sama dengan jarak dari London sampai Kazakhstan. Sedangkan bentangan dari Miangas sampai Pulau Rote sama dengan jarak dari Moskow sampai Kairo.

Maka, keterwakilan di parlemen melalui penjelmaan rakyat di Lembaga Tertinggi Negara yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah sistem yang paling tepat, sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa.

Menurut LaNyalla, kecurangan-kecurangan seperti ini akan terus terjadi jika bangsa ini masih dan terus menggunakan cara pemilihan presiden langsung ala liberal Barat.

"Maka dari itu kembalikan Indonesia ke UUD 45 naskah asli. Hanya sistem Demokrasi Pancasila dengan Lembaga Tertinggi yaitu MPR yang mampu menampung semua elemen bangsa sebagai bagian dari penjelmaan rakyat. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan memiliki saluran dan memiliki ruang keterlibatan di dalam lembaga negara, untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini, karena di MPR," katanya.

LaNyalla menyebut, sistem bernegara rumusan para pendiri bangsa adalah sistem tersendiri yang paling cocok bagi Indonesia. Dalam risalah catatan persidangan BPUPK dan PPKI, para pendiri bangsa sudah sepakat, bahwa bangsa ini tidak akan bisa menjalankan sistem demokrasi liberal Barat murni, atau sistem komunisme Timur. Karena Indonesia memiliki konfigurasi sosial, budaya, ekonomi dan geografis yang amat kompleks.

 

Data Tak Wajar

KPU Gelar Simulasi Pemilu 2024
Petugas menunjukkan surat suara saat simulasi Pemilu 2024 di Kantor KPU RI, Jakarta, Selasa (22/3/2022). Simulasi digelar untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait proses pemungutan dan penghitungan suara pemilu serentak yang akan dilaksanakan tahun 2024. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebagaimana diketahui, LSM Perkumpulan Warga Negara untuk Pemilu Jurdil diduga menemukan puluhan juta DPS yang sedang disusun oleh KPU dalam kondisi bermasalah.

Daftar pemilih sementara yang aneh itu disebut diperoleh dari KPU yang disampaikan kepada partai politik. KPU menetapkan DPS Pemilu Serentak 2024 sebanyak 205.853.518 pemilih.

"Ada sekitar 52 juta data yang kita temukan sebagai data yang aneh. Apa sih data aneh tersebut? Data pemilih sementara yang diberikan oleh KPU itu hanya mencantumkan ID KPU, nama, jenis kelamin, usia, alamat, RT/RW, TPS dan desa," kata Juru Bicara Perkumpulan Warga Negara Untuk Pemilu Jurdil, Dendi Susianto.

Data 'tak wajar' itu yakni adanya pemilih yang masih belum memenuhi syarat usia memilih hingga ditemukan pemilih yang memiliki identitas ganda dengan lokasi TPS yang sama.

Berikut data pemilih aneh yang ditemukan Perkumpulan Warga Untuk Pemilu Jurdil:

Umur di bawah 12 tahun: 35.785

Umur di atas 100 tahun: 13.606

Nama kurang dari 2 huruf: 14.000

Nama mengandung tanda tanya: 35

RW-nya 0: 13.344.569

RT-nya 0: 616.874

RT dan RW-nya 0: 35.905.638

Identitas sama (nama, KPU ID, RT, RW, TPS semua sama): 2.120.135

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya