Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda memastikan, Revisi Undang-Undang Ibu Kota Nusantara (UU IKN) berupaya untuk akselarasi pembangunan. Dia menampik adanya hal berbau politis sehingga payung hukum tersebut harus direvisi.
“Ini untuk percepatan pembangunan infrastruktur di IKN dengan Revisi terhadap UU IKN ini,” kata Rifqi melalui keterangan suara diterima, Selasa (22/8/2023).
Untuk memastikan soal infrastruktur, Rifqi menyebut hari ini komisinya melakukan tinjauan langsung ke IKN. Tujuannya adalah untuk melihat progres pembangunan yang diharapkan sebagian perangkat negara sudah bisa berpindah ke IKN pada 17 Agustus 2024 mendatang.
Advertisement
“Hari ini komisi 2 DPR RI datang ke IKN melihat langsung bagaimana progresnya, kita tahu progresnya masih belum besar untuk kemudian bisa dioperasionalisasikan untuk tahun 2024,” ujar Rifqi.
“Namun dengan seluruh energi yang kita miliki, kita ingin membuktikan bahwa IKN terutama istana kepresidenan, kementerian dan lembaga negara bisa dioperasionalkan pada 17 agustus 2024,” harap dia menandasi.
Diketahui, revisi UU IKN sudah disampaikan oleh pemerintah melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa kepada Komisi II DPR RI, Senin (21/8/2023) kemarin.
Risiko Jika UU IKN Tidak Direvisi
Suharso mengatakan, ada risiko apabila UU IKN tidak direvisi. Pertama, akan terjadi benturan dengan UU sektoral. Sehingga bakal mempengaruhi pengambilan keputusan.
"Terjadinya berbenturan dengan UU sektoral, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan," ujar Suharso.
Kedua, masih akan terjadi tarik menarik dan lepas kewenangan di internal pemerintah. Hal ini akan mempersulit Otorita IKN sehingga perlu diberikan kewenangan lebih.
"Yang kedua kemungkinan masih terjadi tarik menarik dan lepas kewenangan di internal pemerintah, yang mempersulit otorita," ujar Suharso.
Terakhir, kegiatan operasional Otorita IKN tidak leluasa dan tidak efisien dengan menggunakan undang-undang yang berlaku.
"Publik berpotensi menghadapi kesulitan dalam memperoleh pelayanan perizinan maupun pelayanan publik," jelas Suharso.
Advertisement
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)