Liputan6.com, Jakarta - Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, gerakan golput, baik yang mengajak abstain atau mencoblos semua calon di Pilkada 2024, tidak boleh dikriminalisasi.
āDari sisi hukum pemilunya, gerakan golput itu, baik yang mengajak abstain atau mencoblos semua calon, adalah ekspresi politik yang tidak boleh dikriminalisasi,ā kata Titi dalam webinar yang diikuti secara daring dari Jakarta, Senin (16/9/2024) seperti dilansir Antara.
Baca Juga
Titi menjelaskan, memilih atau tidak memilih merupakan kehendak bebas dari setiap warga negara, sepanjang itu dilandasi oleh kesadaran dan pemahaman penuh.
Advertisement
āPemidanaan gerakan golput hanya bisa dilakukan apabila disertai politik uang atau dengan menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih,ā ujar dia.
Menurut Titi, gerakan golput memang menjadi tantangan partai politik, pasangan calon, dan penyelenggara pemilu. Hal itu perlu direspons secara substantif melalui diskursus gagasan dan program secara kritis.
Di samping itu, kata dia, perlu pula dipastikan bahwa pemilihan kepala daerah bukan hanya agenda periodik, tetapi juga murni diselenggarakan berdasarkan asas prinsip pemilu yang bebas dan adil.
āJadi, alih-alih mengancam pemidanaan pada gerakan-gerakan kritis warga, lebih baik kita semua bekerja keras menghadirkan narasi yang betul-betul berorientasi pada politik gagasan dan program, serta meyakinkan publik bahwa memang ini bukan pilkada akal-akalan,ā ucap Titi.
Apresiasi MK
Di sisi lain, Titi mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XXII/2024 yang membolehkan kampanye di perguruan tinggi. Menurut dia, KPU bisa menggandeng kampus untuk mengoptimalisasi debat publik antar pasangan calon kepala daerah.
Ia menilai, putusan tersebut semestinya menjadi instrumen untuk memperkuat politik gagasan dan menghadirkan dialektika yang lebih substansial dalam Pilkada 2024.
Advertisement
Refleksi Buat Semua
āSehingga kita tidak terjebak pada pemaksaan-pemaksaan warga untuk menggunakan hak pilih, sementara warganya sendiri tidak teryakinkan bahwa ini adalah pilkada yang betul-betul genuine (asli), autentik, bebas, dan adil. Ini refleksi buat kita semua,ā ujarnya.