Puskapol UI Dorong Penerapan Sistem Proporsional Campuran di Pemilu, Ini Alasannya

Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Delia Wildianti, mendorong penerapan sistem pemilu dengan sistem proporsional campuran.

oleh Tim News Diperbarui 05 Mar 2025, 16:31 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2025, 16:31 WIB
pemilu-ilustrasi-131024c.jpg
Ilustrasi pemilih surat suara.... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Delia Wildianti, mendorong penerapan sistem pemilu dengan sistem proporsional campuran. Menurutnya, sistem proporsional terbuka yang saat ini digunakan masih memiliki banyak kelemahan.

Hal itu disampaikannya saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi II DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2024).

"Dalam praktiknya ternyata sistem proporsional terbuka itu membuat kelemahan institusionalisasi partai karena caleg bertarung secara individu secara personal dengan calon-calon lain jadi partai menjadi tiket saja untuk running election seperti itu," kata Delia.

Tak hanya itu, proposional terbuka juga tidak mendukung dalam segi kesetaraan gender. Peluang terpilihnya perempuan dalam pemilu sangat kecil jika menggunakan proposional terbuka.

"Sistem proporsional terbuka adalah satu sistem yang tidak mendukung kesetaraan gender atau kurang kuat dalam mendorong kesetaraan gender karena di dalam sistem proporsional terbuka harus bertarung secara bebas padahal kita tahu perempuan masuk ke dalam proses politik itu belakangan jadi start-nya saja tidak setara tapi harus bertarung bebas," jelas dia.

"Dalam beberapa studi yang kami pelajari di beberapa negara memang sistem proporsional terbuka tidak kompatibel mendorong keterwakilan perempuan," sambungnya.

Oleh sebab itu, Puskapol UI mendorong adanya penggunaan sistem proposional campuran.

"Jadi kalau Puskapol dari studi yang kami lakukan kita bisa coba exercise untuk opsi alternatif perubahan sistem proporsional terbuka menjadi sistem pemilih campuran," imbuh Delia.

Promosi 1

Usulkan Caleg Perempuan Harus Nomor Urut 1 di 30 Persen Dapil

Ilustrasi pemilu, pilkada, pilpres
Ilustrasi pemilu, pilkada, pilpres. (Photo by Element5 Digital on Unsplash)... Selengkapnya

Di sisi lain, Delia Wildianti turut mengusulkan agar calon legislatif (caleg) perempuan diusulkan harus berada di urutan nomor satu. Dia menilai hal tersebut, dimaksudkan agar tingkat keterpilihan caleg perempuan semakin banyak.

"Kita bisa mendorong sebetulnya berkaitan dengan ketentuan posisi nomor urut 1 di 30 persen daerah pemilihan untuk perempuan," kata Delia.

Delia mengatakan, formula itu dimaksudkan untuk mengakselerasi kesetaraan gender di legislatif. Sebab, berdasarkan kajian, 70 persen caleg terpilih karena berada di urutan pertama.

"Karena studi kami di Puskapol mayoritas hampir 70 persen yang terpilih itu adalah nomor urut 1. Meksipun di sistem proporsional terbuka, itu setiap orang bisa dipilih, nomor urut 10 pun bisa terpilih. Tetapi nyatanya studi kami menunjukkan Lebih dari 50 persen yang terpilih adalah nomor urut 1," jelas dia.

 

Kuota 30 Persen

Dia menjelaskan, saat ini sejatinya sudah ada sistem afirmasi keterwakilan perempuan yang mengacu pada kuota minimal 30 persen dalam daftar calon. Namun, penerapan sistem zipper atau penyusunan daftar caleg secara selang-seling antara laki-laki dan perempuan belum berjalan maksimal.

"Sekarang kan zipper sistemnya tidak murni yah. Diantara 3 ada 1 perempuan. Kalau zipper sistem murni itu di antara 2 calon ada 1 perempuan," imbuh Delia.

Diketahui, Sistem pemilu di Indonesia selama ini menggunakan model proporsional terbuka, yang memungkinkan banyak partai mendapatkan kursi di parlemen. Namun, sistem ini dianggap menghasilkan fragmentasi politik yang tinggi, membuat jalannya pemerintahan presidensial sering kali terganggu oleh koalisi yang tidak solid.

Seiring dengan meningkatnya kompleksitas politik Indonesia, muncul wacana untuk menerapkan sistem pemilu campuran. Para ahli menilai bahwa sistem ini dapat menjadi solusi untuk menyederhanakan partai politik, memperkuat stabilitas pemerintahan, dan memastikan adanya partai mayoritas minimal di parlemen.

 

Apa Itu Pemilu Campuran?

Pemilu campuran merupakan sistem pemilu yang menggabungkan dua elemen penting, yaitu sistem proporsional dan sistem mayoritarian. Di Indonesia, sistem ini disarankan untuk meningkatkan kualitas pemilu dan representasi politik. Dengan mengadopsi sistem ini, diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah yang muncul dari sistem pemilu yang selama ini diterapkan.

Sistem pemilu campuran tidak memiliki satu model yang seragam. Proporsi antara sistem proporsional dan mayoritarian dapat bervariasi, misalnya 70-30, 60-40, atau bahkan 50-50, tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Hal ini memberikan fleksibilitas dalam penyesuaian sistem sesuai dengan kebutuhan politik dan sosial di Indonesia.

Beberapa varian dari sistem pemilu campuran yang dipertimbangkan antara lain adalah Sistem Proporsional Anggota Campuran (MMP) dan Sistem Mayoritas Anggota Campuran (MMM). MMP menghasilkan hasil pemilu yang proporsional secara keseluruhan, dengan beberapa kursi diisi berdasarkan suara partai dan sisanya berdasarkan suara individu di daerah pemilihan. Di sisi lain, MMM menghasilkan hasil yang semi-proporsional, dengan mempertahankan tingkat disproporsionalitas dari komponen mayoritarian.

 

Reporter: Alma Fikhasari

Sumber: Merdeka.com

Infografis 24 Partai Politik Calon Peserta Pemilu 2024 Lolos ke Tahap Verifikasi Administrasi
Infografis 24 Partai Politik Calon Peserta Pemilu 2024 Lolos ke Tahap Verifikasi Administrasi (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya