15 Menit yang Mengubah Sejarah pada 18 Agustus 1945

Kalau frasa itu tetap ada, mereka menyatakan lebih memilih berada di luar Republik Indonesia.

oleh Liputan6 diperbarui 18 Agu 2013, 10:24 WIB
Diterbitkan 18 Agu 2013, 10:24 WIB
bung-hatta-130818b.jpg
Beberapa jam setelah Proklamsi Kemerdekaan 17 Agustus, Bung Hatta didatangi seorang perwira Angkatan Laut Jepang.

Perwira itu menyampaikan pesan beberapa pemimpin Protestan dan Katolik di Indonesia Timur yang keberatan dengan  pencantuman frasa “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"  di naskah Piagam Jakarta yang diplot sebagai pembukaan konstitusi republik yang baru lahir ini. 

Buat mereka, pencantuman frasa itu merupakan diskriminasi. Kalau frasa itu tetap ada, mereka menyatakan lebih memilih berada di luar Republik Indonesia. Bung Hatta tak mau meremehkan peringatan itu.

Keesokan paginya, 18 Agustus 1945, ia mengajak sejumlah tokoh Islam di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk berembuk. Dalam rapat-rapat PPKI, golongan Islam yang mengusulkan pencantuman tujuh kata itu.

Para tokoh Islam yang diundang adalah Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan. Wahid Hasjim berhalangan hadir. Bung Hatta sendiri adalah Wakil Ketua PPKI, sementara Bung Karno adalah ketuanya.

Teuku Hasan dan Kasman langsung setuju. Mereka membantu Bung Hatta membujuk Ki Bagoes. Akhirnya, hanya dalam 15 menit, tercapai kesepakatan untuk menghapus frasa tersebut.

Dalam otobiografinya, Memoir, Bung Hatta mengenang: "Apabila suatu masalah serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dalam diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa."

"Pada waktu itu kami dapat menginsafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak akan lenyap dengan menghilangkan perkataan “Ke Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dan menggantinya dengan “Ke Tuhanan Yang Maha Esa,” lanjut salah seorang Proklamator itu.

Kini, kita pun hanya mengenal sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" di Pancasila. Tujuh kata yang seharusnya mendampingi telah hilang berkat, terutama, upaya Hatta.

Puluhan tahun kemudian, masih ada kelompok Islam yang menginginkan ketujuh kata itu masuk kembali lewat mekanisme amandemen UUD 1945. Tapi upaya itu gagal. (Yus)






Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya