Majelis Hakim Sidang Pembunuhan Dicky Dirombak, LBH Sambut Baik

Awalnya komposisi Hakim adalah Hakim Tunggal, kini menjadi Majelis Hakim dengan Ketua Hakim Soehartono, anggota Hakim Suwanto, dan Achmad D.

oleh Edward Panggabean diperbarui 24 Sep 2013, 13:58 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2013, 13:58 WIB
dihukum-seadilnya130301b.jpg
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyambut baik perombakan majelis hakim persidangan pembunuhan terhadap 4 terdakwa di bawah umur, FP (16), BF (17), F (13) dan APS (14).

Mereka merupakan terdakwa kasus pengeroyokan dan pembunuhan Dicky Maulana (20) di bawah jembatan Cipulir, Ciledug Raya, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Minggu 30 Juni 2013 silam.

Tim Advokasi 4 terdakwa dari LBH Jakarta menyambut baik perombakan hakim sidang tersebut. Awalnya komposisi Hakim adalah Hakim Tunggal, kini menjadi Majelis Hakim dengan Ketua Hakim Soehartono, anggota Hakim Suwanto, dan Achmad Dimyati.

"LBH Jakarta menyambut perombakan ini sebagai tanda keseriusan institusi Peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan," kata Johanes Gea, mewakili tim advokasi 4 terdakwa, kepada Liputan6.com, Jakarta, Selasa (24/9/2013).

Ia mengungkap, pada sidang sebelumnya Jaksa Penuntut Umum dan anggota Kepolisian yang menangkap para terdakwa mendekati dan merayu mereka agar mengatakan hal-hal yang sama persis dengan apa yang ada di BAP dengan janji manis akan dibantu.

"Di persidangan, terungkap juga dalam pemeriksaan saksi ini bahwa para terdakwa yang masih anak-anak ini tidak didampingi oleh Penasihat Hukum dalam proses pemeriksaan untuk menghasilkan BAP," beber dia.

Hal itu dinyatakan secara tegas oleh aparat Kepolisian yang diperiksa sebagai Saksi. Padahal, bantuan hukum tidak hanya dimandatkan oleh Pasal 56 KUHAP, tapi juga Pasal 51 UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

"Ditemukan juga bahwa Para Terdakwa disatukan penahanannya dengan orang dewasa. Hal yang dilarang dalam Pasal 45 UU No 3 Tahun 1997," ungkap Johanes.

Interogasi Diplomatis

Penyidik, sambungnya, mengaku menginterogasi para terdakwa secara diplomatis. Namun hal itu dibantah oleh para terdakwa.

LBH memandang pemeriksaan kliennya diketahui tidak dilakukan di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) sebagaimana diharuskan dalam Pasal 6 Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit PPA di Lingkungan Kepolisian dan Pasal 66 ayat 7 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

"Peraturan yang dibuat oleh atasan tertinggi mereka sendiri. Kalau sudah begitu, undang-undang mana lagi yang akan dijadikan acuan Penyidik dalam pelaksanaan tugasnya?" heran Johannes.

Dari rentetan fakta yang terungkap di persidangan ini semakin menguatkan keyakinan LBH Jakarta bahwa penyidik telah menyalahgunakan kewenangan yang begitu besar dengan melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Padahal Pasal 7 ayat 3 KUHAP nyata-nyata menyebutkan, dalam menjalankan tugas, penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Persidangan perkara pidana No 1131/PID.AN/2013/PN.JKT.SEL ini akan dilakukan secara maraton, artinya persidangan akan digelar setiap hari mengingat jangka waktu penahanan di tingkatan pengadilan yang akan habis pada 2 Oktober 2013 mendatang.

"Mari kita sama-sama berharap kebenaran dan keadilan hadir dalam persidangan yang mulia ini," pungkas Johannes.

Dalam kasus ini, polisi menjerat 6 terdakwa. Selain 4 terdakwa anak-anak di bawah umur, 2 terdakwa lainnya sudah dewasa yakni Andro Supriyanto alias Andro dan Nurdin Prianto alias Benges. Keenam terdakwa itu merupakan pengamen yang kerap berada di Cipulir. Mereka didakwa atas kasus dugaan pengeroyokan dan pembunuhan terhadap korban Dicky Maulana (20).

Andro dan Benges telah disidang dan diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum, dalam persidangan perdana di PN Jaksel, Kamis 19 September lalu. (Mut/Yus)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya