Meski digugat secara perdata, film Soekarno: Indonesia Merdeka yang disutradarai Hanung Bramantyo akan tetap diputar sesuai tanggal yang ditentukan yakni 11 Desember 2013.
Gugatan tersebut dilayangkan Rachmawati Soekarno Putri karena cerita yang diangkat PT Tripar Multivision Plus (PT MVP) dinilai tidak sesuai dengan fakta sejarah. Selain itu, pemainnya juga dianggap tidak mewakili tokoh-tokoh yang diperankan.
Kuasa Hukum PT MVP, Rivai Kusumanegara, mengatakan gugatan yang diajukan Rachmawati terasa janggal. Pasalnya ada kewajiban dan syarat yang harus dipenuhi pihak tergugat dalam hal ini PT MVP. Menurutnya, bila mengacu Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema MA) Nomor 3 Tahun 2000 dan 4 Tahun 2001 ada yang diwajibkan dipenuhinya sejumlah syarat. Seperti adanya penetapan ketua Pengadilan Tinggi yang mengizinkan diterbitkannya putusan provisi. Serta disetorkannya uang jaminan pada kas pengadilan dari pihak terhomon.
"Bilamana film tersebut batal ditayangkan, MPV akan mengalami kerugian," kata Rivai melalui keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Jakarta, Jumat (6/12/2013).
Terlebih, ia menjelaskan dalam kasus perdata Rachmawati mengajukan gugatan ganti rugi sebesar Rp 100 miliar kepada MVP, sehingga seandainya nanti pihak MVP dikalahkan akan cukup dihukum membayar ganti kerugian sejumlah uang.
"Jadi, tidak ada kolerasinya dengan ditayangkan tidaknya film Soekarno: Indonesia Merdeka produksi MVP," papar Rivai.
Karena itu, Rivai memohon kepada Majelis Hakim agar permintaan provisi Rachmawati ditolak. Terlebih persidangan pun baru digelar perdana Rabu 4 November lalu. Para pihak pun belum menyampaikan bukti-buktinya, selain itu tidak dihadiri Hanung Bramantyo selaku termohon.
Ia menambahkan Rachmawati telah mengundurkan diri dari kerjasama produksi film tersebut pada 8 Juni 2013, sehingga tidak ada lagi persoalan atas produksi film yang disutradari Hanung tersebut. Bahkan, Rachmawati menyatakan akan memproduksi sendiri film hari-hari terakhir Soekarno yang mengangkat peristiwa pasca-G30S hingga akhir hayat tersebut.
Bahkan di ujung pertemuan ada win-win solution di mana masing-masing pihak berpisah baik-baik dan saling melanjutkan sekuel filmnya masing-masing.
"Bila sekarang dalam gugatannya Ibu Rachmawati meminta agar film Soekarno produksi MVP dihentikan, apakah itu fair? Silakan publik yang menilainya," tandas Rivai.
Meski demikian, pihak termohon tetap menghormati upaya hukum yang diajukan Rachmawati selaku pemohon karena itu merupakan hak setiap warga negara.
"Sesuai Pasal 1, 2 dan 8 Perjanjian telah menegaskan, hak cipta dan hak kepemilikan film berada pada pihak MVP," jelas Rivai. (Adi/Yus)
Gugatan tersebut dilayangkan Rachmawati Soekarno Putri karena cerita yang diangkat PT Tripar Multivision Plus (PT MVP) dinilai tidak sesuai dengan fakta sejarah. Selain itu, pemainnya juga dianggap tidak mewakili tokoh-tokoh yang diperankan.
Kuasa Hukum PT MVP, Rivai Kusumanegara, mengatakan gugatan yang diajukan Rachmawati terasa janggal. Pasalnya ada kewajiban dan syarat yang harus dipenuhi pihak tergugat dalam hal ini PT MVP. Menurutnya, bila mengacu Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema MA) Nomor 3 Tahun 2000 dan 4 Tahun 2001 ada yang diwajibkan dipenuhinya sejumlah syarat. Seperti adanya penetapan ketua Pengadilan Tinggi yang mengizinkan diterbitkannya putusan provisi. Serta disetorkannya uang jaminan pada kas pengadilan dari pihak terhomon.
"Bilamana film tersebut batal ditayangkan, MPV akan mengalami kerugian," kata Rivai melalui keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Jakarta, Jumat (6/12/2013).
Terlebih, ia menjelaskan dalam kasus perdata Rachmawati mengajukan gugatan ganti rugi sebesar Rp 100 miliar kepada MVP, sehingga seandainya nanti pihak MVP dikalahkan akan cukup dihukum membayar ganti kerugian sejumlah uang.
"Jadi, tidak ada kolerasinya dengan ditayangkan tidaknya film Soekarno: Indonesia Merdeka produksi MVP," papar Rivai.
Karena itu, Rivai memohon kepada Majelis Hakim agar permintaan provisi Rachmawati ditolak. Terlebih persidangan pun baru digelar perdana Rabu 4 November lalu. Para pihak pun belum menyampaikan bukti-buktinya, selain itu tidak dihadiri Hanung Bramantyo selaku termohon.
Ia menambahkan Rachmawati telah mengundurkan diri dari kerjasama produksi film tersebut pada 8 Juni 2013, sehingga tidak ada lagi persoalan atas produksi film yang disutradari Hanung tersebut. Bahkan, Rachmawati menyatakan akan memproduksi sendiri film hari-hari terakhir Soekarno yang mengangkat peristiwa pasca-G30S hingga akhir hayat tersebut.
Bahkan di ujung pertemuan ada win-win solution di mana masing-masing pihak berpisah baik-baik dan saling melanjutkan sekuel filmnya masing-masing.
"Bila sekarang dalam gugatannya Ibu Rachmawati meminta agar film Soekarno produksi MVP dihentikan, apakah itu fair? Silakan publik yang menilainya," tandas Rivai.
Meski demikian, pihak termohon tetap menghormati upaya hukum yang diajukan Rachmawati selaku pemohon karena itu merupakan hak setiap warga negara.
"Sesuai Pasal 1, 2 dan 8 Perjanjian telah menegaskan, hak cipta dan hak kepemilikan film berada pada pihak MVP," jelas Rivai. (Adi/Yus)