Liputan6.com, Yogyakarta - Belasan kasus kekerasan terhadap siswa di lingkungan sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta, terjadi setiap tahun. Hal ini tampak dari kasus yang tidak bisa ditangani pihak sekolah, sehingga harus diselesaikan di meja Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY.
Tercatat pada 2014 terdapat 14 kasus yang ditangani dinas tersebut. Bahkan, meningkat menjadi 16 kasus pada akhir tahun lalu.
"Untuk tahun ini belum ada laporan yang sampai ke meja dinas," ucap Kepala Disdikpora DIY Baskara Aji kepada Liputan6.com, Jumat (13/5/2016).
Ia memaparkan, kekerasan terhadap siswa di lingkungan sekolah meliputi dugaan kekerasan saat masa orientasi siswa atau Ospek, dugaan siswa meninggal karena Ospek, ijazah ditahan, tidak bisa mengikuti ujian karena belum bayar sekolah, dan sebagainya.
Baca Juga
Kasus-kasus kekerasan terhadap pelajar tersebut terjadi di wilayah Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Sedangkan Gunungkidul dan Kulonprogo, menurut Baskara, relatif terkendali lantaran sekolah sudah bisa mengatasi persoalan tersebut.
Aji menjelaskan dinas menelisik dan menyelidiki laporan yang masuk supaya tidak menimbulkan kecurigaan. Misalnya, laporan siswa meninggal karena Ospek. Dan setelah ditelusuri memang siswa tersebut sakit.
Ia menyebutkan jenis kekerasan yang melanda siswa ada dua macam, yakni fisik dan psikis. Siswa di sekolah kebanyakan mengalami kekerasan psikis, terutama saat mereka berada di pendidikan dasar. Bullying pada tingkat fisik biasanya terjadi saat siswa berada di SMP atau SMA.
Rantai Komunikasi Terputus
Menurut Aji, penyebab maraknya kekerasan terhadap siswa karena rantai komunikasi guru dan orangtua terputus. Banyak orangtua yang memasrahkan pendidikan anaknya ke sekolah dengan alasan sibuk bekerja, sehingga tidak sempat memperhatikan sang anak.
Saat ini, kata dia, telah dilakukan sosialisasi kepada kepala sekolah dan guru untuk mengurangi kasus kekerasan terhadap siswa di sekolah sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 82 Tahun 2015 yang mengatur cara mengurangi kekerasan di dunia pendidikan. Data secara nasional menyebutkan 84 persen siswa mengalami tindak kekerasan di sekolah.
Inti sosialisasi adalah menjadikan sekolah tanpa kekerasan dan pelaksanaan pembelajaran bukan berorientasi pada hukuman, melainkan memberi pujian kepada siswa. "Kami evaluasi setiap akhir tahun," ucap Aji.
Advertisement