Liputan6.com, Palembang - Kebakaran hutan dan lahan atau (karhutla) yang terjadi secara besar-besaran di Sumatera Selatan (Sumsel) tahun 2015, kini terus diantisipasi. Beberapa peneliti bahkan sedang mengadakan riset mengantisipasi karhutla, terutama di lahan gambut dengan penerapan Sistem Pertanian Terpadu.
Ahli Ekologi Tanaman Sumsel Dr Erizal Sadikin mengatakan Sistem Pertanian Terpadu atau Bio Cyclo Farming merupakan salah satu langkah agar kawasan gambut bisa dikelola oleh masyarakat.
"Dengan mengelola kawasan tersebut dalam bentuk Sistem Pertanian Terpadu, kemungkinan terjadinya karhutla bisa ditekan. Karena mereka tidak mungkin membiarkan kawasan pertaniannya terbakar," ucap dia kepada Liputan6.com, di sela kegiatan Sosialisasi Green Knowledge Product di sebuah hotel di Kota Palembang, Sabtu, 18 Maret 2017.
Advertisement
Biasanya, imbuh Erizal, kawasan yang terbakar itu juga disumbangkan dari lahan gambut yang tidak terurus dan ditinggalkan oleh warganya, karena hanya digunakan secara musiman. Alhasil, kebakaran di lahan gambut tidak terdeteksi.
Baca Juga
Namun, untuk menerapkan Bio Cyclo Farming ini membutuhkan biaya yang lebih besar daripada di lahan mineral. Dari data yang dihimpun, penerapan Bio Cyclo Farming dilahan mineral bisa menghabiskan sekitar Rp 15 juta hingga Rp 30 juta.
"Kawasan lahan gambut itu terkendala infrastruktur dan jarak yang jauh, jadi lebih besar biayanya. Di Pulau Jawa sudah diterapkan, namun kita masih dalam progres pengumpulan riset,” ujar dia.
Sistem Pertanian Terpadu bisa memadukan komoditas yang berhubungan dengan tanaman kehutanan, perikanan dan peternakan. Di mana, limbah peternakan juga bisa digunakan secara terintegrasi di lahan yang terbatas. Jenis ternak yang bisa hidup, yaitu kambing, kerbau, sapi, ayam, dan itik.
Beberapa tanaman yang cocok ditanam di lahan gambut seperti kaktus, nanas, lidah buaya dan jelutung. Sedangkan jenis ikan yang bisa hidup di kawasan ini seperti ikan gabus, ikan betok dan lainnya.
"Visi rasio keuntungannya bisa mencapai 1:1,6, namun perlu peranan bantuan dana dari pihak luar," sebut Erizal.
Adapun Irkhamiawan Ma'ruf, peneliti perikanan di Plasma Nutfah Lestari (Plantari) mengatakan, untuk mengetahui karakteristik ikan apa yang bisa bertahap di lahan gambut bisa dilihat dari ekosistem ikan di areal tersebut.
"Harus diteliti dulu kualitas air, tingkat keasaman, kadar oksigen terlarut yang cocok dengan jenis ikan apa, sehingga mereka bisa beradaptasi disana," ia membeberkan.
Jenis ikan gabus dan betok memang bisa bertahan hidup di perairan kanal blocking gambut. Namun jika pH air di bawah angka 3, belum ada satu pun jenis ikan yang bisa bertahan hidup.
Namun, jika ingin mencoba bibit ikan jenis lain, harus ada kajian terlebih dahulu.
"Jangan sampai ikan yang baru ditebar di lahan tersebut mengalahkan ikan lokal," kata dia.
Plankton yang hidup dengan memakan bahan organik yang membusuk di lahan gambut juga bisa menjadi santapan ikan. Terlebih jika ada peternakan di kawasan tersebut, jumlah plankton yang dimakan ikan akan bertambah banyak.
Suplai Oksigen Dunia
Lahan gambut ternyata mampu menghasilkan kadar oksigen dalam skala yang besar. Bahkan hutan gambut di Indonesia termasuk penyuplai oksigen terbesar di dunia yang berasal dari daerah tropis.
Diungkapkan Prof Dr Rujito Agus Suwignyo, akademisi Universitas Sriwijaya (Unsri), gambut bisa menyerap air 13 kali lipat dari beratnya, sehingga dapat mengikat karbon di dalam udara. Dan tumbuhan di hutan gambut juga menyumbang kadar oksigen yang sangat besar.
"Jika gambut rusak, maka karbonnya akan lepas dan bisa mengakibatkan pemanasan global seperti efek rumah kaca," sebut dia.
Jika lahan gambut sudah kering, akan sangat sulit dikembalikan fungsinya seperti sediakala. Sebab, butuh waktu lebih lama untuk melakukan restorasi gambut.
Peralihan kawasan gambut menjadi nongambut juga mempengaruhi berkurangnya suplai oksigen di dunia. Terlebih program transmigrasi secara besar-besaran yang terjadi di Sumsel, dekade 70-an. Ketika itu kawasan transmigrasi dipilih di lahan gambut.
"Kalau bisa dimanfaatkan, lahan gambut yang jadi tempat transmigran warga tidak menjadi soal," ujar dia.
Adapun asap dari karhutla menyebar ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Namun, penyuplai oksigen di dua negara tersebut juga berasal dari Indonesia.
"Mereka ribut karena Indonesia menyumbang asap, tapi mereka tidak pernah berterima kasih telah mendapatkan suplai oksigen dari kita," Rujito Agus Suwignyo memungkasi.