Kisah Pria Penjaga Tepi Sungai Kampar dari Abrasi Tanpa Digaji

Pria asal Banyuwangi menjaga Sungai Kampar di Riau dari abrasi ombak bono tanpa digaji selama bertahun-tahun.

oleh M Syukur diperbarui 22 Agu 2017, 06:31 WIB
Diterbitkan 22 Agu 2017, 06:31 WIB
Bakti Pria Asal Banyuwangi Jaga Bibir Sungai Kampar dari Abrasi
Pria asal Banyuwangi menjaga Sungai Kampar di Riau dari abrasi ombak Bono tanpa digaji selama bertahun-tahun. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, ‎Pekanbaru -‎ Tidak semua orang bisa tinggal di kawasan terpencil tanpa aliran listrik. Apalagi, jauh dari istri dan anak-anak untuk mengurus rumah dari kayu serta menjaga pinggiran Sungai Kampar, Riau agar tidak tergerus abrasi akibat ombak.

Ya, beginilah aktivitas yang dijalani Suwarno selama tujuh tahun belakang. Pria 72 tahun lebih memilih tinggal di Kampung Jawa, Kelurahan Teluk Meranti, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Hanya dihuni tak kurang dari 20 kepala keluarga, pria asal Banyuwangi ini memilih meninggalkan anak beserta istrinya di Pekanbaru untuk menjaga bibir Sungai Kampar sepanjang 300 meter di kampung itu. Lokasi ini selalu diterjang ombak bono akibat pertemuan arus sungai dengan air pasang laut.

"Saya tanam sejak tujuh tahun lalu, saya tancapkan bibitnya dan sekarang sudah besar semua, bisa dilihat," kata pria disapa Pak De Warno ini ditemui di rumah papanya di lokasi tersebut.

Kegigihannya merawat pohon waru membuahkan hasil. Sebelum ditanami, ombak bono selalu menggerus tepian sungai hingga 15 meter sampai sekarang.

Berkat pohon yang ditanamnya, Ombak Bono yang biasanya mencapai ketinggian 5 meter hanya lewat tanpa menggerus tanah. Tidak ada upah apapun yang diterima dari hasil kerjanya yang semata karena tak ingin sungai makin lebar.

"Sejak ada pohon ini, ombak hanya lewat saja, meski menggenangi rumah saya," ucap Pak De Warno.

Pria asal Banyuwangi menjaga Sungai Kampar di Riau dari abrasi ombak Bono tanpa digaji selama bertahun-tahun. (Liputan6.com/M Syukur)

Selama tinggal di kampung itu, Warno bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mulai dari nanas, pisang, beternak sapi, berkebun singkong, menanam nangka, serta cempedak.

Dia pun juga membibitkan pohon sawit yang dijual ke salah satu perusahaan di lokasi tersebut. Dermaga yang dibangunnya memakai kayu juga buah kerja kerasnya, tanpa mendapat perhatian perusahaan sekitar meski karyawan selalu memakai dermaganya itu.

"Sejak saya dirikan, tak ada bantuan meski sering lewat mereka di sini. Di sana, itu dulu adalah tepian sungai, sekarang tidak berkurang lagi tanahnya," ucap Pak De Warno sambil menujuk ujung dermaga yang dulunya merupakan tepian sungai.

Meski sudah bercocok tanam, sesekali Pak De Warno keluar dari kampung itu untuk mencari beras dan kebutuhan sehari. Tidak ada sampan yang dimilikinya untuk pergi ke seberang.

"Ya numpang, berdiri di dermaga yang saya buat, lalu lambaikan tangan ke nelayan yang melintas," ucapnya.

Dia sendiri sudah sering diajak anak dan istrinya untuk meninggalkan kampung itu. Hanya saja selalu ditolak karena ingin menjaga tepian sungai tidak termakan arus dan ombak bono yang selalu datang di bulan-bulan tertentu.

"Istri saya nggak bisa hidup di sini, nggak tahan katanya. Anak saya juga sering, tapi saya nggak mau. Nanti siapa yang jaga pohon dan tanah ini supaya tidak gempa (abrasi)," kata Suwarno.

Sekedar informasi, ombak bono merupakan ombak unik khas Teluk Meranti. Ombak berjumlah tujuh gulungan ini tercipta akibat pertemuan pasang laut dengan arus sungai. Ketinggiannya bisa mencapai 5-7 meter, sehingga menjadi incaran para peselancar.

Saksikan video menarik di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya