Liputan6.com, Riau - Setiap tahun pada tanggal 16 bulan 5 penanggalan Imlek, kota Bagansiapiapi di kabupaten Rokan Hilir, Riau, menyelenggarakan sebuah ritual bernama bakar tongkang. Tradisi yang telah berlangsung lebih dari seabad ini merupakan bentuk penghormatan kepada Dewa Laut Kie Ong Ya sekaligus simbol pembaruan kehidupan bagi masyarakat Tionghoa setempat.
Mengutip dari berbagai sumber, ritual bakar tongkang ini bermula dari kisah perjalanan 18 keluarga Tionghoa asal Fujian, Tiongkok. Keluarga ini terdampar di perairan Riau pada abad ke-19.
Konon, mereka tersesat di laut sebelum akhirnya menemukan daratan setelah mengikuti Cahaya yang diyakini sebagai petunjuk dari Dewa Kie Ong Ya. Sebagai rasa syukur, para pendatang ini membangun klenteng dan memulai tradisi tahunan berupa pembakaran replika kapal.
Advertisement
Baca Juga
Kegiatan utama diawali dengan upacara sembahyang besar di klenteng Ing Hok Kiong. Ribuan umat berkumpul membawa persembahan berupa buah, kue keranjang, dan dupa.
Sebuah replika tongkang (perahu kayu) berukuran panjang 8 meter dan lebar 2,5 meter disiapkan dengan hiasan warna-warni. Setelah prosesi doa, replika kapal diarak keliling kota dalam pawai meriah.
Arak-arakan diiringi barisan liong dan barongsai, tabuhan gendang, serta dentuman mercon. Puncak acara terjadi saat sore, ketika tongkang dibakar di tepi pantai sebagai simbol pengusiran nasib buruk dan harapan akan kehidupan baru yang lebih baik.
Â
Pembaruan
Api yang membakar tongkang melambangkan pembaruan. Masyarakat percaya bahwa segala kesulitan dan energi negatif akan ikut terbakar bersama perahu tersebut.
Festival Bakar Tongkang telah masuk dalam kalender pariwisata nasional. Setiap tahun, acara ini mampu menarik 15.000-20.000 pengunjung.
Bahkan banyak yang termasuk wisatawan dari Malaysia, Singapura, dan Tiongkok. Pemerintah setempat memanfaatkan momen ini dengan menyelenggarakan berbagai acara pendukung seperti bazar kuliner dan pertunjukan seni.
Meski sempat vakum selama beberapa tahun pada masa pemerintahan orde baru, ritual ini kembali hidup sejak tahun 2000-an. Perayaan yang sempat tidak digelar selama puluhan tahun tersebut akhirnya diselenggarakan kembali.
Penulis: Ade Yofi Faidzun
Advertisement
