3 Kisah Haru Pengorbanan Kakak Menggantikan Orangtua

Duka ditinggal orangtua harus segera terhapus karena kenyataan di depan mata. Dia dan adik-adiknya harus tetap hidup dan tersenyum memandang masa depan.

diperbarui 18 Jan 2019, 15:02 WIB
Diterbitkan 18 Jan 2019, 15:02 WIB
Banner Infografis Izhak
Banner Infografis Izhak

Karangasem - Tidak semua keluarga memiliki anggota keluarga lengkap. Bahkan, ada anak-anak yang harus kehilangan orangtua atau sosok orangtua dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Tentu bukan perkara mudah hidup tanpa perhatian dan kasih sayang orangtua, apalagi untuk mencukupi kebutuhan hidup. Namun, hidup harus terus berjalan.

Di sinilah sosok kakak langsung mengambil alih peran orangtua dalam menghidupi adik-adiknya. Sejumlah kisah telah tertulis mengenai pengorbanan kakak untuk menjaga roda kehidupan keluarga terus berputar.

Tidak hanya harus banting tulang mencari nafkah, bahkan impian masa kecil terpaksa dibuyarkan untuk tetap melihat senyum-senyum manis sang adik, tanpa rasa lapar dan kedinginan.

Liputan6.com merangkum kisah kakak-kakak yang menjadi pahlawan keluarga ini.

Arya, Rela Bawa Adik untuk Tetap Bersekolah

Top 3: Perjuangan Bocah Arya Mengasuh Adiknya Tanpa Orangtua
Nyoman Arya ternyata salah satu siswa berprestasi. Ia masuk peringkat kedua di kelasnya.‎

Pada tahun 2016 lalu, sebuah kisah mengharukan datang dari remaja berusia 14 tahun bernama Nyoman Arya. Saat itu, Arya duduk di kelas 2 SMP. Remaja di Bali ini harus mengurus sendiri kedua adiknya, Ketut Sana (12) dan Wayan Sudirta (4,5).

Setiap hari, Arya harus mengajak si bungsu, Wayan Sudirta, pergi ke sekolahnya. Tak jarang Arya mengajak adiknya tersebut ke dalam kelas. Sementara, adiknya yang nomor dua masih bersekolah di SD Ban kelas 5.

"Kalau sekolah diajak di dalam kelas. Dia tidak nakal. Duduk saja di samping saya. Tidak dimarahin sama guru, diizinkan malah. Karena kata guru di rumah enggak ada yang jaga," kata Arya saat ditemui Liputan6.com di rumahnya, di Dusun Darmaji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, Selasa sore, 6 September 2016.

Ketut Madya yang masih memiliki hubungan keluarga dengan bocah malang itu menjelaskan, ayah‎ Arya telah meninggal dunia sejak lima tahun lalu. "Meninggalnya karena sesak nafas. Kalau ibunya baru dua bulan lalu menikah lagi. Waktu habis menikah tiga hari, ibunya datang ke sini mengunjungi Arya dan adik-adiknya," kata Madya.

Namun, kebahagiaan Arya ditemui ibu hanya sekejap. Selepas ibunya menikah lagi, Arya dan kedua adiknya tak boleh ikut dengan keluarga barunya itu.

"Ibunya waktu itu cuma nengokin saja, karena kalau nikah sama orang lain, anaknya tidak boleh ikut," kata Madya.

Sejak saat itu, Arya harus menghidupi dua adiknya. Untuk mencari nafkah, ia menjadi kuli pemanjat pohon kelapa.‎ Dari satu pohon yang dipanjatnya, Arya mendapat upah Rp 5 ribu. Dalam sehari, minimal Arya memanjat 10 pohon kelapa.

"Kalau lagi banyak permintaan, bisa 20 pohon dipanjat. Habis itu biasanya dia main bola atau membantu saya menyabit rumput," ujar Madya.

Arya kini tinggal di rumah terbuat dari bambu. Kamar mandi dan dapur terpisah. Atapnya terbuat dari ilalang. Tak ada penerang di malam hari karena listrik tidak tersambung ke rumah yang berada di tengah Bukit Puncak Sari itu.

"Rumah ini bangunan sudah lama. Ini bantuan dari pusat. Tidak ada aliran listrik. Kalau malam Arya dan adiknya tidur di rumah saya," ucap Madya.

Tiap hari, Arya harus berjalan kaki sejauh dua kilometer untuk bisa sampai di sekolahnya. Ia harus melewati tanah merah berdebu tebal dan berkelok-kelok setiap hari.

Tiap hari pula, Arya melewati jalan curam lantaran di sisinya merupakan jurang untuk menempuh pendidikannya. Sehari-hari, lauk pauk Arya dan kedua adiknya seringkali hanya mi instan.

"Kalau makan ya sehari tiga kali, nasi sama mi. Dimakan bareng sama adik-adik," tutur Arya.

Meski hidup dengan keterbatasan, Arya, masih menyimpan cita-cita tinggi. Kelak jika besar nanti, bocah yang kini duduk di bangku kelas 2 SMP itu ingin menjadi seorang polisi. 

 

Izhak Tinggalkan ITB demi Urus 9 Adik

Izhak dan adiknya yang paling bungsu Muhammad Chaerul (Fauzan/Liputan6.com)
Izhak dan adiknya yang paling bungsu Muhammad Chaerul (Fauzan/Liputan6.com)

Muhammad Izhak namanya. Dia anak sulung dari 10 bersaudara. Pada 2017, pemuda yang saat itu berusia 22 tahun itu terpaksa mengorbankan kuliahnya demi menghidupi sembilan orang adiknya setelah kedua orangtuanya meninggal.

Sekitar tiga tahun lalu, Ishak mendapatkan beasiswa Beasiswa Pendidikan untuk Mahasiswa Miskin (Bidikmisi) untuk berkuliah Institut Teknologi Bandung (ITB), Jurusan Teknik Kimia.

Namun, hanya empat semester ia menuntut ilmu di ITB sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang kampung di Dusun Tojangan, Desa Pasiang, Kecamatan Matakali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

"Dia pulang kampung demi merawat adik-adiknya, karena kedua orangtuanya meninggal," kata April Myathi, salah seorang anggota Gerakan Peduli Sosial Polewali Mandar, kepada Liputan6.com, Jumat, 15 Desember 2017.

Pertengahan Februari 2017 lalu ibu Muhammad Izhak meninggal dunia karena menderita tumor derektum, sementara ayahnya tiga minggu lalu mengembuskan nafas terakhir karena penyakit tuberculosis (TBC) yang dideritanya.

"Keputusannya untuk berhenti kuliah diambil sejak ibunya meninggal, karena sejak saat itu bapaknya juga sudah sakit-sakitan dan akhirnya meninggal juga tiga minggu lalu," jelas April.

Setiap pagi, kata April, Muhammad Izhak sudah sibuk mempersiapkan kebutuhan seluruh adik-adiknya yang hendak pergi ke sekolah, mulai dari memandikan mereka sampai menyiapkan sarapan.

"Adiknya itu ada yang masih kelas 2 SMP, kelas 1 SMP, kelas 6 SD, bahkan ada yang masih TK, dan yang paling kecil itu masih usia 19 bulan, saya tidak hapal semua. Yang jelas pagi-pagi dia urus semua adiknya sebelum berangkat sekolah, termasuk urus makannya mereka," April memaparkan.

Untuk menghidupi sembilan adiknya, mantan mahasiswa ITB itu sehari-hari hanya membuat gula aren lalu menjualnya ke pasar. Selain itu, dia juga sibuk merawat dua ekor sapi peninggalan ayahnya.

"Per empat hari dia bisa bikin 20 sampai 30 bungkus gula merah (gula aren), per bungkusnya itu dijual Rp 6 ribu. Ada juga sapi dia rawat peninggalan dari bapaknya," April menambahkan.

Kini, kehidupan Izhak sudah berubah. Banyaknya bantuan yang masuk membuat dia bisa kembali menata cita-citanya.

Dia sudah menempati rumah baru di tanah peninggalan ayahnya. Dia juga sudah kembali melanjutkan pendidikan di Universitas Terbuka Majene Jurusan Manajemen.

Kisah Kekuatan Gadis Cilik Andini Merawat Dua Bayi di Dusun Telayap

Andini dan Dua Adik Perempuannya
Andini, 14 tahun, menyusui adik perempuannya berusia 4 bulan dengan susu formula

Kisah serupa juga terjadi di Dusun Telayap, Riau. Andini, gadis kecil 14 tahun harus menjaga dua adiknya Purwanti yang masih berusia 1 tahun 8 bulan dan Siaratul Jannah yang berusia 4 bulan.

Mereka bertiga tinggal di sebuah rumah papan sederhana yang hanya menyisakan dua pintu dan satu jendela. Andini menanggung beban berat, lebih berat dari usianya saat ini, 14 tahun. Gadis berhijab itu harus menjadi ibu, sekaligus bapak bagi kedua adiknya.

Status itu ia sandang usai sepekan silam, ketika ibunya, Ijaz (40), meninggal setelah mencoba melawan sakit Tubercolosis (TBC) akut. Sementara bapak anak-anak malang itu pergi, entah ke mana.

Mereka tinggal di Dusun Telayap, Desa Pangkalan Tampoi, Kecamatan Kerumutan, Kabupaten Pelalawan, Riau. Tanpa orangtua, tanpa pengawasan dan kasih sayang. Andini-lah yang kini menjadi pembimbing dan pemberi kasih sayang untuk adik-adiknya nan malang.

Ekonomi semakin terimpit, ditambah waktu luang semakin sempit, gadis kecil itu terpaksa melepas seragam sekolah. Saat ia duduk di kelas VII SMP setempat.

Dedi Azwandi, pegiat sosial setempat, tak kuasa menahan lara ketika menceritakan kondisi Andini. Dengan suara terbata-bata, ia mengaku telah berusaha mengajak ketiga anak perempuan itu ke Kota Pangkalan Kerinci, ibu kota Pelalawan. Jarak rumah Andini dan Pangkalan Kerinci ditempuh selama 4 jam perjalanan.

"Andini bilang terlalu banyak kenangan di rumah itu untuk ditinggalkan," kata Dedi kepada RIAUONLINE.CO.ID, Kamis, 10 Januari 2019.

Dedi, juga Wakil Ketua Yayasan Mualaf Center Riau, mengatakan di Pangkalan Kerinci nantinya, Andini akan diasuh oleh keluarga yang siap menjaga mereka.

Saat ini, tutur Dedi, sejumlah pihak telah menyalurkan bantuan kepada keluarga itu. Andini juga dijamin sekolah oleh Badan Amil Zakat Sedekah Nasional (Baznas) hingga mencicipi pendidikan tinggi.

Namun, Andini lagi-lagi belum bersedia meninggalkan rumah peninggalanya ibunya. "Dia semangat sekolahnya, tapi lebih memilih menjaga adiknya. Kita sedang berusaha mencari solusi terbaik dan membujuk Andini agar bersedia pindah," ujarnya.

Setelah kondisi Andini terekspos, sejumlah bantuan berdatangan. Bahkan, Andini mendapatkan jaminan pendidikan hingga jenjang sarjana.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya